Login
Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am
» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am
» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am
» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm
» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm
» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm
» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm
» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm
» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm
Most active topics
Social bookmarking
Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of on your social bookmarking website
Pencarian
Most Viewed Topics
Statistics
Total 40 user terdaftarUser terdaftar terakhir adalah tutunkasep
Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user |
User Yang Sedang Online
Total 17 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 17 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 97 pada Tue Oct 22, 2024 12:34 pm
Penantian Panjang Penganut Konghucu
Penantian Panjang Penganut Konghucu
Nun di Kampung Pulo, Desa Ci-teureup, Kabupaten Bogor, Tan Im Yang merawat ketenangan itu di sebuah rumah peribadatan. Sebagai rohaniwan Konghucu (Jiao Se), Im Yang, yang kini berusia 58 tahun, mempunyai aneka pengalaman sebagai pemeluk Konghucu di negeri ini, dan sehari-hari dia mengurus tempat peribadatan Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) di Desa Citeureup.
Dari rumahnya yang sederhana di Kam-pung Pulo, Citeureup, Tempo di-ajak- naik sepeda motornya, melewati jalan-jalan kecil. Hanya dalam hitungan menit, kami sampai di bangunan warna putih tingkat dua, di kawasan perumah-an Semen Cibinong. "Ini tempat peribadatan murni penganut agama Konghucu, tidak ada ornamen-ornamen yang aneh-aneh," katanya.
Memang tempat peribadatan itu tak memiliki ornamen khusus, seperti yang banyak tampak di kelenteng atau viha-ra, tempat persembahyangan kaum Tiong-hoa. "Tempat ini lebih mirip de-ngan gereja," kata Jiao Se Im Yang. Hanya di pin-tu kayu terdapat ukiran sederhana- na-ga berkelahi dengan burung hong dan papan yang menggelantung bertulisan "Ibadah/Kebaktian, Anak-anak Ming-gu Pukul 08.00-09.30, Umum Pukul- 16.30-18.00, Penyuluhan Agama Tgl 1 & 15 Imlek."
Menurut Im Yang, "Walaupun secara de jure penganut Konghucu dihambat, dalam menjalankan ibadah, pemerintah tak bisa masuk ke wilayah pribadi kami". Im Yang adalah generasi kelima. Ayahnya Tan Eng Swan adalah seorang rohaniwan Konghucu. Kakek buyutnya, Tan Kun Cai, sudah ada di Citeureup sejak hampir 500 tahun yang lalu. "Kakek- kami generasi kedua, Tan Kim Yu kawin dengan penduduk lokal Nyi Irah. Kami ini orang Indonesia, cuma kebetulan aga-ma yang kami anut menggunakan ak-sa-ra Cina. Sama saja dengan orang Islam- di sini yang menggunakan aksara Arab," katanya.
Jiao Se Im Yang masih ingat, hambat-an orang-orang Konghucu mulai terja-di sejak Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang saat itu dipegang Lak-samana Sudomo, melarang kongres ke-9 penganut Konghucu di Solo. "Pada-hal izin dari Gubernur Jawa Tengah dan urusan lain sudah beres. Itu awal tekanan terhadap pemeluk agama Kongh-ucu," ujarnya.
Penyebabnya adalah Instruksi Presi-den Nomor 14 Tahun 1967 tentang Tata Cara Ibadah Cina serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470 Tahun 1978, yang intinya menyatakan, peme-rintah hanya mengakui lima aga-ma: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.- Ditambah lagi rekomendasi- ba-dan intelijen militer yang meminta- aga-ma, adat-istiadat Cina, dan umat Kong-hucu tidak boleh melakukan ibadah di tempat umum.
Akibatnya, penganut Konghucu, yang- dalam sensus tahun 1976 sudah men-capai sejuta lebih, terpinggirkan. Pada-hal sebelumnya Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dan UU Nomor 5 Tahun- 1969 mengakui Konghucu sebagai aga-ma resmi negara, seperti lima agama tersebut.- Bahkan belakangan Departemen- Agama, yang semula memasukkannya- ke Direktorat Jenderal Hindu, Bu-ddha/Kong-hucu, menghilangkan kata ter-akhir- cuma menjadi dua agama.
Penolakan terhadap Konghucu berkait dengan trauma politik pada 1965. Kalang-an keturunan Cina, mayoritas penganut Konghucu, dianggap punya keterkaitan dengan RRC, poros Partai Komunis Indo-nesia (PKI). Im Yang-saat G30S mele-tus sudah lulus sekolah menengah perta-ma-menolak tuduhan itu. "Kami ikut turun bersama Abdul Gafur, Arif Budi-man, Cosmas Batubara, meminta PKI di-bubarkan," katanya. Menurut bekas Ke-tua Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin), Chandra Setiawan, kaitan- itu tak relevan. "Buktinya, di Cina dalam revolusi kebudayaan, orang Konghucu di-bantai," katanya.
Akibat diskriminasi itu, para peng-anut Konghucu mengalami kerepot-an sa-at mengurus surat perkawinan, akta kelahiran, pembuatan KTP ataupun paspor. "KTP penganut Konghucu yang tak mau dipaksakan ke agama lain cu-ma diberi tanda strip," kata Im Yang. Kasus yang sempat mencuat ke permu-ka-an hingga ke pengadilan adalah per-kawinan Budy Wijaya dan Lany Sugito pada 1995. Ketika hendak mencatatkan perkawinan mereka di kantor catatan si-pil Surabaya, pasangan Konghucu itu di-tolak. Perkawinan Budy dan Lany yang dilakukan di kelenteng dianggap per-kawinan liar.
Pasangan itu menggugat ke pengadil-an. Bobot sidang itu bertambah ketika Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ul-ama waktu itu, Kiai Abdurrahman Wahid, menjadi saksi ahli, dan menyatakan per-kawinan itu sah. Kasasi gugatan B-udy dan Lany diterima. Namun catatan si-pil Surabaya menolak melaksanakan ke-putusan kasasi itu, dengan alasan b-e-lum menjadi keputusan tetap. "Beberapa pasangan Konghucu lain yang mau mendaftarkan diri ke catatan sipil juga ditolak dengan alasan putusan kasasi Bu-dy dan Lany belum menjadi yurispru-densi," kata Direktur Eksekutif Yaya-san Pengkajian Hukum Indonesia Wah-yu Effendi.
Bagaimana dengan nasib keluarga- Im Yang? "Akta saya sampai sekarang- ma-sih anak mama," kata Kristan, anak Im Yang yang kini berusia 24 t-ahun.- Pada-hal Tan Im Yang kawin seca-ra res-mi dengan prosesi keagamaan yang di-anut-nya, dan dihadiri kerabat, sauda-ra, serta warga di sekitar tempat tinggalnya.- Hanya karena Im Yang ber-agama Konghucu, anaknya tak tercatat atas namanya. "Dulu namanya anak di luar nikah, ka-yaknya sadistis banget. Akhirnya diubah, mungkin pemerintah pikir kurang etis. Masa, anak di luar nikah, jadinya anak ibu," ujarnya.
l l l
SAAT Abdurrahman Wahid menja-bat presiden, ia mencabut Instruksi Pre-si-den 14/1967 itu. Penerusnya Presiden Megawati Sukarnoputri menetapkan ha-ri ra-ya penganut Konghu-cu, Imlek, se-bagai libur nasional, tanggal merah. Sejak zaman kedua presiden tersebut Imlek dirayakan secara ter-buka, meriah, lengkap dengan pertun-jukan barongsai. Na-mun pelaksanaan di lapangan biro-krasi, menurut Im Yang, masih menemui hambatan. "Di birokrasi hak-hak sipil warga Konghucu masih tetap belum ada perubahan. Perubahan-nya baru di kalangan lintas agama," ka-ta Ketua Gene-rasi Muda Konghucu, Kristan.
Beruntung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat perayaan Imlek pertengahan Februari lalu di Jakarta, me-negaskan agar sikap diskriminatif ter-hadap warga Konghucu disingkirkan. "Kita tidak ingin lagi bersikap diskrimi-natif, kita telah berubah. Walaupun saya masih sering mendengar adanya keluh-an, biasanya berkaitan dengan pelayan-an, administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah agama, dan mencatatkan perkawinan," kata-nya.
Pernyataan Presiden ditindaklanjuti- oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma'ruf dengan mengeluarkan surat bernomor 470/336/SJ, yang memerintah-kan agar gubernur, bupati, dan wali ko-ta se-In-donesia memberikan pelayan-an admi-nistrasi kependudukan kepada peng-anut Kong-hucu dengan menambah keterang-an agama Konghucu pada doku-men ke-pendudukan yang digunakan- selama ini. "Dengan adanya surat tersebut, seha-rusnya tidak ada alasan lagi bagi kantor catatan sipil untuk menolak- mencatatkan pernikahan agama Konghucu- atau mencantumkan agama itu pada kar-tu tanda penduduk pemeluknya," ujar-nya. Menurut Ma'ruf, untuk melaksanakan perintahnya itu kepala daerah tidak perlu menunggu petunjuk teknisnya.
Menurut pengurus Majelis Konghu-cu Solo, Go Djien Tjwan, birokrasi peme-rintahan di Kota Solo terkesan ragu-ra-gu mencatat agama Konghucu dalam data administrasi kependudukan. Ini terjadi pada Mursyid Jiwatman dan Titin Sumarni, yang selalu gagal meng-urus perkawinannya sejak tahun 2000 hing-ga akhir pekan lalu. "Padahal Pre-siden sudah berjanji menghapus sega-la bentuk diskriminasi atas pemeluk Kong-hu-cu, tetapi hingga kini belum dilaksanakan," katanya kepada Imron Rosyid- dari Tempo.
Berbeda dengan Solo, kantor catatan sipil Tegal, Jawa Tengah, Sabtu dua pekan lalu mencatat sejarah, minimal untuk penganut agama Konghucu. Kantor tersebut telah mencatat pernikahan dari pasangan Handeyjanto Sosilo, 60 tahun, dan Mary, 50 tahun. Pencatatan pernikahan dilakukan di Kelenteng Tek Hay Kiong, Tegal.
Sebelum petugas dari kantor catatan sipil mencatat, terlebih dulu dilaksa-na-kan upacara pernikahan sesuai dengan agama Konghucu. Upacara pernikah-an dipimpin Wen Shi Kiem Giok Nio, dan dihadiri sekitar 30 orang. Sanusi, pe-tugas kantor catatan sipil setempat, mengecek berbagai kelengkapan seba-gai persyaratan pernikahan menurut UU No 1 Tahun 1974.
Setelah semua lengkap, dilanjutkan- dengan penandatanganan akta perka-winan oleh kedua pasangan dan dua orang saksi, yakni Dedi Yuniarto dan Sriyati. Akta perkawinan pertama ka-li bagi pemeluk agama Konghucu. Ha-ndeyjanto Sosilo, lelaki yang sudah- me-miliki dua anak ini, mengaku se-la-ma ini dirinya telah menikah pada 1982. "Saat itu pencatatan pernikahan menggunakan agama Hindu," ujarnya. Ketua- Majelis Agama Konghucu Indonesia Ko-ta Tegal, Lie Ing Liong, mengucapkan- te-rima kasih kepada pemerintah atas peng-hapusan diskriminasi kepada peme-luk Konghucu. "Kami telah diberi keper-cayaan mencatatkan pernikahan di in-stansi pemerintahan," katanya kepada Rofiuddin dari Tempo.
BERSAMA Im Yang, Tempo mengunjungi kelenteng yang berornamen khas bernama Hok Tek Bio yang juga terletak di Desa Citeureup. "Yang berakhiran bio berarti kelenteng Konghucu, walau-pun di dalamnya ada patung-patung yang biasa dihormati warga Tionghoa be-ragama Buddha dan Tao," katanya.
Dari luar tampak kelenteng berbentuk bangunan khas Cina itu sedang di-renovasi. Di dalam pagar masuk gerbang kelenteng, tampak dua patung be-sar bersenjata tombak kapak menjaga kiri-kanannya. Di tengah ada dupa besar. Di dalamnya terbagi tiga, dengan masing-masing ada altar persembahan. Beberapa patung kecil tampak di meja altar dengan gambar Konghucu di bela-kangnya dengan beberapa batang lilin besar berwarna merah. Di altar itu juga tampak sepiring buah apel, pir, dan jeruk medan.
Begitu pintu terkuak, terlihatlah ham-paran lantai keramik putih dan meja ping-pong. Ada sofa merah dan sebuah lukisan binatang berbadan hijau, berkepala kuning. Tempat peribadatan ber-ada di lantai dua. Hanya ada gambar Kong-hucu seukuran 60x90 cm dalam sebuah kotak terbuka, diapit dua gambar- naga dan burung hong, serta aksara Ci-na dalam tulisan raksasa. "Yang sebelah kanan tulisan itu adalah lima elemen, di sebelah kiri mengenai delapan kebajikan," kata Im Yang.
Di depan gambar Konghucu, altar ke-cil tempat menancapkan hio atawa du-pa. "Kami tidak menyembah Konghucu, tapi kami memuliakan beliau sebagai nabi pembawa risalah untuk kami," kata Im Yang. Ahmad Taufik
Dari rumahnya yang sederhana di Kam-pung Pulo, Citeureup, Tempo di-ajak- naik sepeda motornya, melewati jalan-jalan kecil. Hanya dalam hitungan menit, kami sampai di bangunan warna putih tingkat dua, di kawasan perumah-an Semen Cibinong. "Ini tempat peribadatan murni penganut agama Konghucu, tidak ada ornamen-ornamen yang aneh-aneh," katanya.
Memang tempat peribadatan itu tak memiliki ornamen khusus, seperti yang banyak tampak di kelenteng atau viha-ra, tempat persembahyangan kaum Tiong-hoa. "Tempat ini lebih mirip de-ngan gereja," kata Jiao Se Im Yang. Hanya di pin-tu kayu terdapat ukiran sederhana- na-ga berkelahi dengan burung hong dan papan yang menggelantung bertulisan "Ibadah/Kebaktian, Anak-anak Ming-gu Pukul 08.00-09.30, Umum Pukul- 16.30-18.00, Penyuluhan Agama Tgl 1 & 15 Imlek."
Menurut Im Yang, "Walaupun secara de jure penganut Konghucu dihambat, dalam menjalankan ibadah, pemerintah tak bisa masuk ke wilayah pribadi kami". Im Yang adalah generasi kelima. Ayahnya Tan Eng Swan adalah seorang rohaniwan Konghucu. Kakek buyutnya, Tan Kun Cai, sudah ada di Citeureup sejak hampir 500 tahun yang lalu. "Kakek- kami generasi kedua, Tan Kim Yu kawin dengan penduduk lokal Nyi Irah. Kami ini orang Indonesia, cuma kebetulan aga-ma yang kami anut menggunakan ak-sa-ra Cina. Sama saja dengan orang Islam- di sini yang menggunakan aksara Arab," katanya.
Jiao Se Im Yang masih ingat, hambat-an orang-orang Konghucu mulai terja-di sejak Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang saat itu dipegang Lak-samana Sudomo, melarang kongres ke-9 penganut Konghucu di Solo. "Pada-hal izin dari Gubernur Jawa Tengah dan urusan lain sudah beres. Itu awal tekanan terhadap pemeluk agama Kongh-ucu," ujarnya.
Penyebabnya adalah Instruksi Presi-den Nomor 14 Tahun 1967 tentang Tata Cara Ibadah Cina serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470 Tahun 1978, yang intinya menyatakan, peme-rintah hanya mengakui lima aga-ma: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.- Ditambah lagi rekomendasi- ba-dan intelijen militer yang meminta- aga-ma, adat-istiadat Cina, dan umat Kong-hucu tidak boleh melakukan ibadah di tempat umum.
Akibatnya, penganut Konghucu, yang- dalam sensus tahun 1976 sudah men-capai sejuta lebih, terpinggirkan. Pada-hal sebelumnya Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dan UU Nomor 5 Tahun- 1969 mengakui Konghucu sebagai aga-ma resmi negara, seperti lima agama tersebut.- Bahkan belakangan Departemen- Agama, yang semula memasukkannya- ke Direktorat Jenderal Hindu, Bu-ddha/Kong-hucu, menghilangkan kata ter-akhir- cuma menjadi dua agama.
Penolakan terhadap Konghucu berkait dengan trauma politik pada 1965. Kalang-an keturunan Cina, mayoritas penganut Konghucu, dianggap punya keterkaitan dengan RRC, poros Partai Komunis Indo-nesia (PKI). Im Yang-saat G30S mele-tus sudah lulus sekolah menengah perta-ma-menolak tuduhan itu. "Kami ikut turun bersama Abdul Gafur, Arif Budi-man, Cosmas Batubara, meminta PKI di-bubarkan," katanya. Menurut bekas Ke-tua Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin), Chandra Setiawan, kaitan- itu tak relevan. "Buktinya, di Cina dalam revolusi kebudayaan, orang Konghucu di-bantai," katanya.
Akibat diskriminasi itu, para peng-anut Konghucu mengalami kerepot-an sa-at mengurus surat perkawinan, akta kelahiran, pembuatan KTP ataupun paspor. "KTP penganut Konghucu yang tak mau dipaksakan ke agama lain cu-ma diberi tanda strip," kata Im Yang. Kasus yang sempat mencuat ke permu-ka-an hingga ke pengadilan adalah per-kawinan Budy Wijaya dan Lany Sugito pada 1995. Ketika hendak mencatatkan perkawinan mereka di kantor catatan si-pil Surabaya, pasangan Konghucu itu di-tolak. Perkawinan Budy dan Lany yang dilakukan di kelenteng dianggap per-kawinan liar.
Pasangan itu menggugat ke pengadil-an. Bobot sidang itu bertambah ketika Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ul-ama waktu itu, Kiai Abdurrahman Wahid, menjadi saksi ahli, dan menyatakan per-kawinan itu sah. Kasasi gugatan B-udy dan Lany diterima. Namun catatan si-pil Surabaya menolak melaksanakan ke-putusan kasasi itu, dengan alasan b-e-lum menjadi keputusan tetap. "Beberapa pasangan Konghucu lain yang mau mendaftarkan diri ke catatan sipil juga ditolak dengan alasan putusan kasasi Bu-dy dan Lany belum menjadi yurispru-densi," kata Direktur Eksekutif Yaya-san Pengkajian Hukum Indonesia Wah-yu Effendi.
Bagaimana dengan nasib keluarga- Im Yang? "Akta saya sampai sekarang- ma-sih anak mama," kata Kristan, anak Im Yang yang kini berusia 24 t-ahun.- Pada-hal Tan Im Yang kawin seca-ra res-mi dengan prosesi keagamaan yang di-anut-nya, dan dihadiri kerabat, sauda-ra, serta warga di sekitar tempat tinggalnya.- Hanya karena Im Yang ber-agama Konghucu, anaknya tak tercatat atas namanya. "Dulu namanya anak di luar nikah, ka-yaknya sadistis banget. Akhirnya diubah, mungkin pemerintah pikir kurang etis. Masa, anak di luar nikah, jadinya anak ibu," ujarnya.
l l l
SAAT Abdurrahman Wahid menja-bat presiden, ia mencabut Instruksi Pre-si-den 14/1967 itu. Penerusnya Presiden Megawati Sukarnoputri menetapkan ha-ri ra-ya penganut Konghu-cu, Imlek, se-bagai libur nasional, tanggal merah. Sejak zaman kedua presiden tersebut Imlek dirayakan secara ter-buka, meriah, lengkap dengan pertun-jukan barongsai. Na-mun pelaksanaan di lapangan biro-krasi, menurut Im Yang, masih menemui hambatan. "Di birokrasi hak-hak sipil warga Konghucu masih tetap belum ada perubahan. Perubahan-nya baru di kalangan lintas agama," ka-ta Ketua Gene-rasi Muda Konghucu, Kristan.
Beruntung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat perayaan Imlek pertengahan Februari lalu di Jakarta, me-negaskan agar sikap diskriminatif ter-hadap warga Konghucu disingkirkan. "Kita tidak ingin lagi bersikap diskrimi-natif, kita telah berubah. Walaupun saya masih sering mendengar adanya keluh-an, biasanya berkaitan dengan pelayan-an, administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah agama, dan mencatatkan perkawinan," kata-nya.
Pernyataan Presiden ditindaklanjuti- oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma'ruf dengan mengeluarkan surat bernomor 470/336/SJ, yang memerintah-kan agar gubernur, bupati, dan wali ko-ta se-In-donesia memberikan pelayan-an admi-nistrasi kependudukan kepada peng-anut Kong-hucu dengan menambah keterang-an agama Konghucu pada doku-men ke-pendudukan yang digunakan- selama ini. "Dengan adanya surat tersebut, seha-rusnya tidak ada alasan lagi bagi kantor catatan sipil untuk menolak- mencatatkan pernikahan agama Konghucu- atau mencantumkan agama itu pada kar-tu tanda penduduk pemeluknya," ujar-nya. Menurut Ma'ruf, untuk melaksanakan perintahnya itu kepala daerah tidak perlu menunggu petunjuk teknisnya.
Menurut pengurus Majelis Konghu-cu Solo, Go Djien Tjwan, birokrasi peme-rintahan di Kota Solo terkesan ragu-ra-gu mencatat agama Konghucu dalam data administrasi kependudukan. Ini terjadi pada Mursyid Jiwatman dan Titin Sumarni, yang selalu gagal meng-urus perkawinannya sejak tahun 2000 hing-ga akhir pekan lalu. "Padahal Pre-siden sudah berjanji menghapus sega-la bentuk diskriminasi atas pemeluk Kong-hu-cu, tetapi hingga kini belum dilaksanakan," katanya kepada Imron Rosyid- dari Tempo.
Berbeda dengan Solo, kantor catatan sipil Tegal, Jawa Tengah, Sabtu dua pekan lalu mencatat sejarah, minimal untuk penganut agama Konghucu. Kantor tersebut telah mencatat pernikahan dari pasangan Handeyjanto Sosilo, 60 tahun, dan Mary, 50 tahun. Pencatatan pernikahan dilakukan di Kelenteng Tek Hay Kiong, Tegal.
Sebelum petugas dari kantor catatan sipil mencatat, terlebih dulu dilaksa-na-kan upacara pernikahan sesuai dengan agama Konghucu. Upacara pernikah-an dipimpin Wen Shi Kiem Giok Nio, dan dihadiri sekitar 30 orang. Sanusi, pe-tugas kantor catatan sipil setempat, mengecek berbagai kelengkapan seba-gai persyaratan pernikahan menurut UU No 1 Tahun 1974.
Setelah semua lengkap, dilanjutkan- dengan penandatanganan akta perka-winan oleh kedua pasangan dan dua orang saksi, yakni Dedi Yuniarto dan Sriyati. Akta perkawinan pertama ka-li bagi pemeluk agama Konghucu. Ha-ndeyjanto Sosilo, lelaki yang sudah- me-miliki dua anak ini, mengaku se-la-ma ini dirinya telah menikah pada 1982. "Saat itu pencatatan pernikahan menggunakan agama Hindu," ujarnya. Ketua- Majelis Agama Konghucu Indonesia Ko-ta Tegal, Lie Ing Liong, mengucapkan- te-rima kasih kepada pemerintah atas peng-hapusan diskriminasi kepada peme-luk Konghucu. "Kami telah diberi keper-cayaan mencatatkan pernikahan di in-stansi pemerintahan," katanya kepada Rofiuddin dari Tempo.
BERSAMA Im Yang, Tempo mengunjungi kelenteng yang berornamen khas bernama Hok Tek Bio yang juga terletak di Desa Citeureup. "Yang berakhiran bio berarti kelenteng Konghucu, walau-pun di dalamnya ada patung-patung yang biasa dihormati warga Tionghoa be-ragama Buddha dan Tao," katanya.
Dari luar tampak kelenteng berbentuk bangunan khas Cina itu sedang di-renovasi. Di dalam pagar masuk gerbang kelenteng, tampak dua patung be-sar bersenjata tombak kapak menjaga kiri-kanannya. Di tengah ada dupa besar. Di dalamnya terbagi tiga, dengan masing-masing ada altar persembahan. Beberapa patung kecil tampak di meja altar dengan gambar Konghucu di bela-kangnya dengan beberapa batang lilin besar berwarna merah. Di altar itu juga tampak sepiring buah apel, pir, dan jeruk medan.
Begitu pintu terkuak, terlihatlah ham-paran lantai keramik putih dan meja ping-pong. Ada sofa merah dan sebuah lukisan binatang berbadan hijau, berkepala kuning. Tempat peribadatan ber-ada di lantai dua. Hanya ada gambar Kong-hucu seukuran 60x90 cm dalam sebuah kotak terbuka, diapit dua gambar- naga dan burung hong, serta aksara Ci-na dalam tulisan raksasa. "Yang sebelah kanan tulisan itu adalah lima elemen, di sebelah kiri mengenai delapan kebajikan," kata Im Yang.
Di depan gambar Konghucu, altar ke-cil tempat menancapkan hio atawa du-pa. "Kami tidak menyembah Konghucu, tapi kami memuliakan beliau sebagai nabi pembawa risalah untuk kami," kata Im Yang. Ahmad Taufik
A.Taufik- Tamu
Similar topics
» Konghucu (551 SM - 479 SM) tokoh berpengaruh
» Diskriminasi Terhadap Konghucu
» Pengertian Agama Konghucu
» Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia
» Diskriminasi Terhadap Konghucu
» Pengertian Agama Konghucu
» Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik