Login
Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am
» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am
» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am
» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm
» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm
» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm
» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm
» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm
» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm
Most active topics
Social bookmarking
Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of on your social bookmarking website
Pencarian
Most Viewed Topics
Statistics
Total 40 user terdaftarUser terdaftar terakhir adalah tutunkasep
Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user |
User Yang Sedang Online
Total 21 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 21 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 97 pada Tue Oct 22, 2024 12:34 pm
Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
2 posters
:: Debat Islam :: Murtadin
Halaman 1 dari 2
Halaman 1 dari 2 • 1, 2
Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Kepada Siapa Kami Mendedikasikan Buku Ini?
Kami mendedikasikan buku ini untuk ribuan orang tidak bersalah yang dibunuh atas nama Islam – pria dan wanita yang mati pada 11 September 2001, korban bom Bali, Madrid dan London, dan serangan di India dan Pakistan – juga pria dan wanita yang tak terhitung jumlahnya yang terbunuh di Irak dan dalam serangan-serangan lainnya di seluruh dunia. Sejak 11 September 2001, para teroris Islam telah melakukan lebih dari 10.000 serangan teror yang mematikan.
Kami juga mendedikasikan buku ini untuk anak-anak sekolah tidak berdosa yang telah dibantai secara biadab di Rusia dan untuk suster Leonella, seorang biarawati Katolik berusia lanjut yang telah menghabiskan masa hidupnya untuk mengasihi orang-orang Muslim namun hanya untuk mendapatkan sebuah peluru di punggungnya, yang mengakhiri hidupnya. Buku ini juga ditulis sehingga para korban rezim Islam yang mengalami kematian karena dilempari dengan batu, dipotong lengannya karena mencuri, dan mereka yang hidup dalam ketakutan akan kematian karena mereka meninggalkan Islam, supaya mereka tidak dilupakan. Tujuan kami adalah, saat membaca kumpulan kisah hidup ini, dunia akan jelas mendengar jeritan mereka untuk mendapat keadilan dan tangisan mereka untuk mendapatkan pembebasan.
“Jika ada agama yang mengijinkan penganiayaan orang-orang yang berbeda kepercayaannya, jika ada agama yang tetap membiarkan wanita berada dalam perbudakan, jika ada agama yang tetap membiarkan orang dalam ketidakpedulian, maka saya tidak dapat memeluk agama tersebut”.
-Tasmila Nasrin: Dokter dan Pengarang
“Tidak ada kebenaran di dunia ini selain monoteisme dan mengikuti ajaran Islam, dan tidak ada jalan keselamatan bagi umat manusia selain pemerintahan Islam atas umat manusia”.
-Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad
“Bahkan jika kita sepakat bahwa kebanyakan mayoritas Muslim adalah kaum “moderat” dan katakanlah hanya ada kira-kira 20 % orang Muslim yang “literalis”, itu berarti ada sekitar 250 juta orang Muslim di dunia saat ini yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi musuh dunia non-Muslim yang kafir”
-Raymond Ibraham
“...Pada 11 September 2001, saya melihat wajah Islam yang sesungguhnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena begitu banyaknya orang kafir yang dibantai dengan mudahnya. Saya sangat syok melihat rakyat kami yang sangat haus membunuh orang-orang kafir tidak berdosa. Saya melihat banyak orang bersyukur kepada Allah atas pembunuhan massal ini. Bangsa kami yang Islami ini mengatakan bahwa Allah telah mengabulkan keinginan kami, dan bahwa ini adalah permulaan penghancuran negara-negara kafir. Bagi saya, ini adalah tidak berperikemanusiaan belaka. Lalu, Imam memohon kepada Allah untuk menolong Taliban memerangi tentara Amerika. Saya sangat marah. Itulah sebabnya saya kemudian berhenti sembahyang”.
-Khaled Waleed, Arab Saudi
Kami mendedikasikan buku ini untuk ribuan orang tidak bersalah yang dibunuh atas nama Islam – pria dan wanita yang mati pada 11 September 2001, korban bom Bali, Madrid dan London, dan serangan di India dan Pakistan – juga pria dan wanita yang tak terhitung jumlahnya yang terbunuh di Irak dan dalam serangan-serangan lainnya di seluruh dunia. Sejak 11 September 2001, para teroris Islam telah melakukan lebih dari 10.000 serangan teror yang mematikan.
Kami juga mendedikasikan buku ini untuk anak-anak sekolah tidak berdosa yang telah dibantai secara biadab di Rusia dan untuk suster Leonella, seorang biarawati Katolik berusia lanjut yang telah menghabiskan masa hidupnya untuk mengasihi orang-orang Muslim namun hanya untuk mendapatkan sebuah peluru di punggungnya, yang mengakhiri hidupnya. Buku ini juga ditulis sehingga para korban rezim Islam yang mengalami kematian karena dilempari dengan batu, dipotong lengannya karena mencuri, dan mereka yang hidup dalam ketakutan akan kematian karena mereka meninggalkan Islam, supaya mereka tidak dilupakan. Tujuan kami adalah, saat membaca kumpulan kisah hidup ini, dunia akan jelas mendengar jeritan mereka untuk mendapat keadilan dan tangisan mereka untuk mendapatkan pembebasan.
“Jika ada agama yang mengijinkan penganiayaan orang-orang yang berbeda kepercayaannya, jika ada agama yang tetap membiarkan wanita berada dalam perbudakan, jika ada agama yang tetap membiarkan orang dalam ketidakpedulian, maka saya tidak dapat memeluk agama tersebut”.
-Tasmila Nasrin: Dokter dan Pengarang
“Tidak ada kebenaran di dunia ini selain monoteisme dan mengikuti ajaran Islam, dan tidak ada jalan keselamatan bagi umat manusia selain pemerintahan Islam atas umat manusia”.
-Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad
“Bahkan jika kita sepakat bahwa kebanyakan mayoritas Muslim adalah kaum “moderat” dan katakanlah hanya ada kira-kira 20 % orang Muslim yang “literalis”, itu berarti ada sekitar 250 juta orang Muslim di dunia saat ini yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi musuh dunia non-Muslim yang kafir”
-Raymond Ibraham
“...Pada 11 September 2001, saya melihat wajah Islam yang sesungguhnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena begitu banyaknya orang kafir yang dibantai dengan mudahnya. Saya sangat syok melihat rakyat kami yang sangat haus membunuh orang-orang kafir tidak berdosa. Saya melihat banyak orang bersyukur kepada Allah atas pembunuhan massal ini. Bangsa kami yang Islami ini mengatakan bahwa Allah telah mengabulkan keinginan kami, dan bahwa ini adalah permulaan penghancuran negara-negara kafir. Bagi saya, ini adalah tidak berperikemanusiaan belaka. Lalu, Imam memohon kepada Allah untuk menolong Taliban memerangi tentara Amerika. Saya sangat marah. Itulah sebabnya saya kemudian berhenti sembahyang”.
-Khaled Waleed, Arab Saudi
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Kata Pengantar
Sebelum mulai, adalah penting mengkaji ulang sejumlah fakta-fakta dasar dan istilah-istilah mengenai Islam dan struktur otoritasnya. Kitab Suci pertama dan yang terutama mengenai Islam tentu saja Qur’an. Qur’an dapat dianggap sebagai Alkitabnya Islam dan ini adalah kitab suci utama dari Islam. Qur’an seluruhnya diberikan oleh Muhammad, pendiri dan “Nabi” Islam. Makna kata “Qur’an” dalam bahasa Arab adalah “pembacaan” atau “pengajian”. Kitab ini terdiri dari 114 pasal yang disebut Surah.
Meskipun demikian, Qur’an bukanlah satu-satunya sumber tradisi suci atau yang diinspirasikan dalam Islam. Oleh karena jika ia disebut sebagai satu-satunya teks Islam yang dianggap sebagai kata-kata literal dari Allah maka Sunna juga dianggap setara nilainya bagi seluruh Muslim. Kebanyakan Sunna ditemukan dalam sejumlah koleksi tradisi yang dikenal sebagai Hadis. Ingatlah kata itu, sebab ia akan banyak dipakai di seluruh buku ini. “Sunna” dalam bahasa Arab secara literal artinya “jalan yang jelas atau seimbang”. Kata ini menunjuk pada apa yang dikatakan oleh Muhammad, yang ia lakukan, hal-hal yang ia maafkan atau kutuki. Ini adalah catatan mengenai perkataan-perkataan Muhammad, kebiasaan-kebiasaan, ajaran-ajaran atau contoh-contoh yang ia tinggalkan kepada semua Muslim untuk mereka ikuti. Muslim memandang Muhammad sebagai contoh sempurna dari seluruh mahluk hidup. Doktrin ini dinyatakan dengan jelas dalam Qur’an:
Jika engkau mengasihi Allah, maka ikutlah Aku (Muhammad)
Surah 3:31
Apa pun yang dikatakan atau dilakukan oleh Muhammad, menjadi dasar yang harus ditiru oleh seluruh orang beriman. Sunna sama pentingnya dengan Qur’an sebab ia mengintepretasikan Qur’an. Tanpa Sunna, maka Qur’an tidak akan bisa dipahami dengan tepat. Pada kenyataannya, banyak aspek dan praktek dari agama Islam tidak disebutkan dalam Qur’an tetapi hanya ditemukan dalam Sunna. Sebab itu, Qur’an dan Sunna bersama-sama membentuk dasar bagi keyakinan dan praktek-praktek yang harus dilakukan oleh Muslim dimana pun mereka berada. Dalam hal ini, Qur’an dan Sunna diyakini sebagai kitab yang diinspirasikan dan otoritatif. Saat dikonfrontasikan dengan sejumlah aksi kekerasan atau pengajaran-pengajaran dasar maupun praktek-praktek Islam, kebanyakan apologis Muslim akan mengajukan pertanyaan: “Dimana hal itu dikatakan dalam Qur’an?” Ini adalah sebuah usaha yang sengaja mereka lakukan untuk menyesatkan si penanya. Sebab, sebagaimana dikatakan di atas, apakah ajaran itu ditemukan dalam Qur’an atau hanya ditemukan dalam Sunna, tetapi itu semua adalah sebuah aspek esensial dari Islam.
Sebelum mulai, adalah penting mengkaji ulang sejumlah fakta-fakta dasar dan istilah-istilah mengenai Islam dan struktur otoritasnya. Kitab Suci pertama dan yang terutama mengenai Islam tentu saja Qur’an. Qur’an dapat dianggap sebagai Alkitabnya Islam dan ini adalah kitab suci utama dari Islam. Qur’an seluruhnya diberikan oleh Muhammad, pendiri dan “Nabi” Islam. Makna kata “Qur’an” dalam bahasa Arab adalah “pembacaan” atau “pengajian”. Kitab ini terdiri dari 114 pasal yang disebut Surah.
Meskipun demikian, Qur’an bukanlah satu-satunya sumber tradisi suci atau yang diinspirasikan dalam Islam. Oleh karena jika ia disebut sebagai satu-satunya teks Islam yang dianggap sebagai kata-kata literal dari Allah maka Sunna juga dianggap setara nilainya bagi seluruh Muslim. Kebanyakan Sunna ditemukan dalam sejumlah koleksi tradisi yang dikenal sebagai Hadis. Ingatlah kata itu, sebab ia akan banyak dipakai di seluruh buku ini. “Sunna” dalam bahasa Arab secara literal artinya “jalan yang jelas atau seimbang”. Kata ini menunjuk pada apa yang dikatakan oleh Muhammad, yang ia lakukan, hal-hal yang ia maafkan atau kutuki. Ini adalah catatan mengenai perkataan-perkataan Muhammad, kebiasaan-kebiasaan, ajaran-ajaran atau contoh-contoh yang ia tinggalkan kepada semua Muslim untuk mereka ikuti. Muslim memandang Muhammad sebagai contoh sempurna dari seluruh mahluk hidup. Doktrin ini dinyatakan dengan jelas dalam Qur’an:
Jika engkau mengasihi Allah, maka ikutlah Aku (Muhammad)
Surah 3:31
Apa pun yang dikatakan atau dilakukan oleh Muhammad, menjadi dasar yang harus ditiru oleh seluruh orang beriman. Sunna sama pentingnya dengan Qur’an sebab ia mengintepretasikan Qur’an. Tanpa Sunna, maka Qur’an tidak akan bisa dipahami dengan tepat. Pada kenyataannya, banyak aspek dan praktek dari agama Islam tidak disebutkan dalam Qur’an tetapi hanya ditemukan dalam Sunna. Sebab itu, Qur’an dan Sunna bersama-sama membentuk dasar bagi keyakinan dan praktek-praktek yang harus dilakukan oleh Muslim dimana pun mereka berada. Dalam hal ini, Qur’an dan Sunna diyakini sebagai kitab yang diinspirasikan dan otoritatif. Saat dikonfrontasikan dengan sejumlah aksi kekerasan atau pengajaran-pengajaran dasar maupun praktek-praktek Islam, kebanyakan apologis Muslim akan mengajukan pertanyaan: “Dimana hal itu dikatakan dalam Qur’an?” Ini adalah sebuah usaha yang sengaja mereka lakukan untuk menyesatkan si penanya. Sebab, sebagaimana dikatakan di atas, apakah ajaran itu ditemukan dalam Qur’an atau hanya ditemukan dalam Sunna, tetapi itu semua adalah sebuah aspek esensial dari Islam.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 1 - Kakakku
“Dia akhirnya memutuskan untuk memprotes penindasan terhadap kaum wanita dengan cara membakar dirinya sendiri di tengah alun-alun yang dipadati oleh manusia di utara Teheran pada 21 Februari 1994. Jeritan terakhirnya adalah: ‘Kematian untuk tirani! Hidup kemerdekaan! Hidup Iran!’”
Pada 11 September 2001, dunia menyaksikan mentalitas fundamentalis Islam dari abad ke-7 menaklukkan teknologi abad 21. Hasilnya adalah kekacauan. Natur Islam yang kejam tiba di daratan Amerika – tidak terlupakan dan tidak dapat ditarik kembali. Banyak orang Amerika, bersama dengan orang-orang Barat lainnya, tidak pernah terlalu memikirkan Islam sebelum peristiwa itu terjadi. Tanggal 11 September mengubah semuanya itu, memasukkan Islam ke dunia barat abad 21. Tiba-tiba, Iran dan Irak terlihat tidak lagi jauh, dan orang-orang Barat, terutama kami orang Amerika, ingin belajar lebih banyak lagi mengenai musuh yang tak berwajah ini, yang telah mengumumkan hendak memerangi kami dengan cara yang sangat tak terbayangkan biadabnya. Kami mendapati bahwa kami dikonfrontasi dengan suatu kekuatan yang mematikan yang kami pikir terletak separuh dunia jauhnya dan berasal dari 4 abad lalu. Para teroris pembom yang hanya kami lihat di televisi telah pindah dari Timur Tengah nun jauh disana ke halaman belakang rumah kami. Pada 11 September, apa yang direpresentasikan oleh Islam menjadi salah satu dari pertanyaan-pertanyaan penting yang dihadapi dunia Barat, dan pengalaman pertama kami dengan hal itu meninggalkan rasa pahit di mulut banyak orang Amerika.
Parvin Darabi tidak hanya bicara tentang kebiadaban Islam radikal yang dialami orang Amerika pada hari itu – ia hidup dengan kenyataan itu jauh sebelum menara kembar itu runtuh. Ia menulis surat yang sangat pedih dan tajam untuk saudarinya, Homa, yang bergumul hebat melawan tangan keras pemerintahan islami di Iran. Homa rela membayar harganya. Kini Parvin melanjutkan, dan ia mendesak kita semua untuk mengabaikan semua retorika damai oleh Islam dan lebih fokus pada kenyataan kejam pemerintahan Islam. Apa yang dialami Homa Darabi di Iran suatu saat akan tiba di dunia Barat jika teroris Islam fasis tidak dikalahkan. Kisah Homa adalah contoh spesifik tentang bagaimana cara kerja pemerintahan Islami – dan mengapa tidak pernah akan bisa pas untuk dunia Barat, maupun dunia non-Muslim pada umumnya.
“Dia akhirnya memutuskan untuk memprotes penindasan terhadap kaum wanita dengan cara membakar dirinya sendiri di tengah alun-alun yang dipadati oleh manusia di utara Teheran pada 21 Februari 1994. Jeritan terakhirnya adalah: ‘Kematian untuk tirani! Hidup kemerdekaan! Hidup Iran!’”
Pada 11 September 2001, dunia menyaksikan mentalitas fundamentalis Islam dari abad ke-7 menaklukkan teknologi abad 21. Hasilnya adalah kekacauan. Natur Islam yang kejam tiba di daratan Amerika – tidak terlupakan dan tidak dapat ditarik kembali. Banyak orang Amerika, bersama dengan orang-orang Barat lainnya, tidak pernah terlalu memikirkan Islam sebelum peristiwa itu terjadi. Tanggal 11 September mengubah semuanya itu, memasukkan Islam ke dunia barat abad 21. Tiba-tiba, Iran dan Irak terlihat tidak lagi jauh, dan orang-orang Barat, terutama kami orang Amerika, ingin belajar lebih banyak lagi mengenai musuh yang tak berwajah ini, yang telah mengumumkan hendak memerangi kami dengan cara yang sangat tak terbayangkan biadabnya. Kami mendapati bahwa kami dikonfrontasi dengan suatu kekuatan yang mematikan yang kami pikir terletak separuh dunia jauhnya dan berasal dari 4 abad lalu. Para teroris pembom yang hanya kami lihat di televisi telah pindah dari Timur Tengah nun jauh disana ke halaman belakang rumah kami. Pada 11 September, apa yang direpresentasikan oleh Islam menjadi salah satu dari pertanyaan-pertanyaan penting yang dihadapi dunia Barat, dan pengalaman pertama kami dengan hal itu meninggalkan rasa pahit di mulut banyak orang Amerika.
Parvin Darabi tidak hanya bicara tentang kebiadaban Islam radikal yang dialami orang Amerika pada hari itu – ia hidup dengan kenyataan itu jauh sebelum menara kembar itu runtuh. Ia menulis surat yang sangat pedih dan tajam untuk saudarinya, Homa, yang bergumul hebat melawan tangan keras pemerintahan islami di Iran. Homa rela membayar harganya. Kini Parvin melanjutkan, dan ia mendesak kita semua untuk mengabaikan semua retorika damai oleh Islam dan lebih fokus pada kenyataan kejam pemerintahan Islam. Apa yang dialami Homa Darabi di Iran suatu saat akan tiba di dunia Barat jika teroris Islam fasis tidak dikalahkan. Kisah Homa adalah contoh spesifik tentang bagaimana cara kerja pemerintahan Islami – dan mengapa tidak pernah akan bisa pas untuk dunia Barat, maupun dunia non-Muslim pada umumnya.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Kakakku
Kakakku, Dr. Homa Darabi, lahir di Teheran, Iran pada Januari 1940, prematur 2 bulan, oleh ibu kami Eshrat Dastyar yang menikah pada usia 13 tahun dengan Esmaeil Darabi. Homa adalah kakakku yang tertua, pelindungku, dan panutanku. Homa memiliki hidup yang penuh harapan dan janji bahwa sistem islami yang tirani dan fundamentalis akan dihancurkan.
Sesungguhnya, kakakku tidak pernah membayangkan apa yang telah menantinya saat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan SMA di Teheran. Ia segera mendaftar di Universitas Sekolah Medis Teheran setelah lulus ujian masuk universitas pada 1959. Itu adalah suatu pencapaian yang luar biasa dan yang membanggakan keluarga kami. Homa adalah siswa pertama dari 150 siswa yang tersaring dari ribuan siswa lainnya yang mengikuti ujian itu dan diterima (kapasitas penerimaan sekolah medis itu hanya 150).
Sebagai seorang wanita muda yang bersemangat dan riang, kakakku kemudian terlibat sangat aktif di dunia politik dan berharap dapat memperjuangkan hak-hak azasi manusia dan kesamaan status bagi wanita di Iran. Impiannya menjadi sangat jelas selama ia di SMA dan pada tahun pertamanya di perguruan tinggi. Namun perjuangannya tidaklah mudah. Pada 1960, sebagai hasil dari kerja kerasnya, ia ditahan dan dipenjara selama beberapa waktu, saat unjuk rasa siswa terhadap rezim keras Shah Iran. Rezim itu sangat keras terutama kepada mahasiswa dan orang muda yang mulai menuntut kebebasan yang lebih untuk berekspresi, berkumpul, dan berbicara.
Kakakku, Dr. Homa Darabi, lahir di Teheran, Iran pada Januari 1940, prematur 2 bulan, oleh ibu kami Eshrat Dastyar yang menikah pada usia 13 tahun dengan Esmaeil Darabi. Homa adalah kakakku yang tertua, pelindungku, dan panutanku. Homa memiliki hidup yang penuh harapan dan janji bahwa sistem islami yang tirani dan fundamentalis akan dihancurkan.
Sesungguhnya, kakakku tidak pernah membayangkan apa yang telah menantinya saat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan SMA di Teheran. Ia segera mendaftar di Universitas Sekolah Medis Teheran setelah lulus ujian masuk universitas pada 1959. Itu adalah suatu pencapaian yang luar biasa dan yang membanggakan keluarga kami. Homa adalah siswa pertama dari 150 siswa yang tersaring dari ribuan siswa lainnya yang mengikuti ujian itu dan diterima (kapasitas penerimaan sekolah medis itu hanya 150).
Sebagai seorang wanita muda yang bersemangat dan riang, kakakku kemudian terlibat sangat aktif di dunia politik dan berharap dapat memperjuangkan hak-hak azasi manusia dan kesamaan status bagi wanita di Iran. Impiannya menjadi sangat jelas selama ia di SMA dan pada tahun pertamanya di perguruan tinggi. Namun perjuangannya tidaklah mudah. Pada 1960, sebagai hasil dari kerja kerasnya, ia ditahan dan dipenjara selama beberapa waktu, saat unjuk rasa siswa terhadap rezim keras Shah Iran. Rezim itu sangat keras terutama kepada mahasiswa dan orang muda yang mulai menuntut kebebasan yang lebih untuk berekspresi, berkumpul, dan berbicara.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pada 1963, kakakku menikahi teman sekelasnya, Manoocher Keyhani, sekarang seorang hematologis terkenal. Mereka mempunyai 2 orang putri yang sangat cerdas.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Teheran, Dr. Darabi berpraktek selama 2 tahun di Bahmanier, sebuah desa di utara Iran, sementara suaminya menyelesaikan kewajiban militernya sebagai seorang dokter dalam korps kesehatan Iran. Pada 1968, Ia dan suaminya lulus ujian Konsil Pendidikan Tamatan Medis Asing dan datang ke Amerika untuk studi lanjutan. Ia mengambil residen dalam pediatri dan kemudian mendapat ijin untuk praktek di negara bagian New Jersey, New York dan California. Ia dinaturalisasi menjadi warga Amerika Serikat pada pertengahan 1970-an.
Oleh karena adanya tekanan dari suami dan keluarganya, dan kerinduannya untuk berbakti pada negara asalnya, ia kembali ke Iran pada 1976 dan langsung diterima sebagai pengajar di Universitas Sekolah Medis Teheran. Ia adalah orang Iran pertama yang mencapai kedudukan dalam psikiatri anak di Amerika dan ia menjadi tenaga penggerak berdirinya Klinik Psikiatri Shahid Sahami di Teheran.
Walaupun ia adalah pendukung kuat revolusi, kakakku menentang berdirinya sebuah republik yang islami. Lebih jauh lagi, ketika pemimpin partainya mengambil keuntungan dari panduan Islam yang baru dan mengambil istri ke-2, Homa sangat terpukul dan secara total mengundurkan diri dari dunia politik. Kakakku kemudian mengabdikan waktunya untuk profesinya sebagai seorang dokter medis.
Pada 1990, oleh karena ia tidak mau mengenakan jilbab, ia dipecat dari posisinya sebagai seorang profesor di Sekolah Medis. Kemudian, praktek kakakku dilecehkan karena alasan yang sama hingga akhirnya ketika hidupnya semakin dipersulit ia menutup prakteknya dan untuk pertama kalinya ia menjadi ibu rumah-tangga sepenuh waktu.
Selama kehidupan karirnya, kakakku mengalami tekanan dari beberapa orang-tua pasien-pasiennya yang masih muda untuk memberi label “tidak mampu secara mental” kepada banyak gadis muda yang sangat cerdas sehingga mereka dapat terhindar dari siksaan hukum cambuk (150 cambukan karena memakai rias wajah atau lipstik). Memberi label semacam ini kepada gadis-gadis itu sangat menghancurkan hati kakakku.
Ketika seorang gadis berusia 16 tahun ditembak mati di utara Teheran bagian utara karena memakai lipstik, kakakku tidak dapat lagi mengatasi rasa bersalahnya berkenaan dengan keterlibatannya dahulu dalam revolusi Iran. Kakakku merasa Iran telah dibajak oleh faksi-faksi religius, dan bagaimana wanita diperlakukan di Iran sangat tidak dapat dimaafkan...Ia ingin dunia tahu apa yang telah terjadi. Ia akhirnya memutuskan untuk memprotes penindasan terhadap kaum wanita dengan cara membakar dirinya sendiri di tengah alun-alun yang padat dengan manusia di utara Teheran pada 21 Februaru 1994. Jeritan terakhirnya adalah :
Kematian untuk tirani!
Hidup kebebasan!
Hidup Iran!
Kakakku datang ke dalam dunia secara prematur, dan meninggal secara prematur pula.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Teheran, Dr. Darabi berpraktek selama 2 tahun di Bahmanier, sebuah desa di utara Iran, sementara suaminya menyelesaikan kewajiban militernya sebagai seorang dokter dalam korps kesehatan Iran. Pada 1968, Ia dan suaminya lulus ujian Konsil Pendidikan Tamatan Medis Asing dan datang ke Amerika untuk studi lanjutan. Ia mengambil residen dalam pediatri dan kemudian mendapat ijin untuk praktek di negara bagian New Jersey, New York dan California. Ia dinaturalisasi menjadi warga Amerika Serikat pada pertengahan 1970-an.
Oleh karena adanya tekanan dari suami dan keluarganya, dan kerinduannya untuk berbakti pada negara asalnya, ia kembali ke Iran pada 1976 dan langsung diterima sebagai pengajar di Universitas Sekolah Medis Teheran. Ia adalah orang Iran pertama yang mencapai kedudukan dalam psikiatri anak di Amerika dan ia menjadi tenaga penggerak berdirinya Klinik Psikiatri Shahid Sahami di Teheran.
Walaupun ia adalah pendukung kuat revolusi, kakakku menentang berdirinya sebuah republik yang islami. Lebih jauh lagi, ketika pemimpin partainya mengambil keuntungan dari panduan Islam yang baru dan mengambil istri ke-2, Homa sangat terpukul dan secara total mengundurkan diri dari dunia politik. Kakakku kemudian mengabdikan waktunya untuk profesinya sebagai seorang dokter medis.
Pada 1990, oleh karena ia tidak mau mengenakan jilbab, ia dipecat dari posisinya sebagai seorang profesor di Sekolah Medis. Kemudian, praktek kakakku dilecehkan karena alasan yang sama hingga akhirnya ketika hidupnya semakin dipersulit ia menutup prakteknya dan untuk pertama kalinya ia menjadi ibu rumah-tangga sepenuh waktu.
Selama kehidupan karirnya, kakakku mengalami tekanan dari beberapa orang-tua pasien-pasiennya yang masih muda untuk memberi label “tidak mampu secara mental” kepada banyak gadis muda yang sangat cerdas sehingga mereka dapat terhindar dari siksaan hukum cambuk (150 cambukan karena memakai rias wajah atau lipstik). Memberi label semacam ini kepada gadis-gadis itu sangat menghancurkan hati kakakku.
Ketika seorang gadis berusia 16 tahun ditembak mati di utara Teheran bagian utara karena memakai lipstik, kakakku tidak dapat lagi mengatasi rasa bersalahnya berkenaan dengan keterlibatannya dahulu dalam revolusi Iran. Kakakku merasa Iran telah dibajak oleh faksi-faksi religius, dan bagaimana wanita diperlakukan di Iran sangat tidak dapat dimaafkan...Ia ingin dunia tahu apa yang telah terjadi. Ia akhirnya memutuskan untuk memprotes penindasan terhadap kaum wanita dengan cara membakar dirinya sendiri di tengah alun-alun yang padat dengan manusia di utara Teheran pada 21 Februaru 1994. Jeritan terakhirnya adalah :
Kematian untuk tirani!
Hidup kebebasan!
Hidup Iran!
Kakakku datang ke dalam dunia secara prematur, dan meninggal secara prematur pula.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Hari ini, jutaan orang, terutama wanita, masih menggemakan jeritan terakhir kakakku, namun sedihnya, hanya sedikit yang mendengar. Itulah sebabnya saya menulis buku saya yang berjudul Rage Against The Veil. Buku itu dihadirkan dengan harapan bahwa dunia Barat dan non-Muslim, terutama Amerika mulai memahami dahsyatnya permasalahan ini. Sebagaimana di Iran, Islam kini secara universal dihadirkan sebagai agama yang damai padahal Islam adalah suatu bentuk pemerintahan fasis yang nyata sekali terlihat dalam negara saya terdahulu. Ini adalah sebuah problem yang untuk itu kakakku telah bersiap mengorbankan hidupnya yang berharga, dan saya menuliskan hal itu sekarang untuk membantu memelihara apa yang bagi kita dunia non-Muslim sangatlah berharga. Kisahku ini adalah sebuah usaha melalui pendidikan dan penyadaran untuk mencegah apa yang terjadi di Iran terjadi juga di bagian dunia yang lain.
Kakakku Homa percaya bahwa mati adalah harga yang pantas dibayar untuk menarik perhatian dunia kepada masalah-masalah yang ditimbulkan oleh rezim fundamentalis Islam. Ia mati untuk menjaga kebebasan dan negara Iran, yang ia kasihi. Hari ini, Homa akan amat sangat ngeri mengetahui bagaimana Iran telah menjadi semakin ekstrim dan fundamentalis, dan sangat bersemangat untuk mempelajari contoh-contoh tirani dan terorisme Islam yang ada di bagian dunia lainnya dewasa ini. Namun, walaupun orang banyak akan sulit memahami mengapa dan apa yang dialami para wanita di dalam rezim radikal ini, perkataan Nabi Muhammad sendiri mengijinkan kita untuk memperoleh pemahaman mengapa hal ini terjadi. Sesungguhnya, dari mulut Nabi Muhammad sendirilah – seorang yang sangat disanjung di dalam Islam – kita dapat melihat dengan jelas bagaimana wanita dipandang dalam kebudayaan Islami dan betapa banyak tindakan/perlakuan dalam dunia Islam terhadap wanita sesungguhnya merefleksikan sentimen-sentimen Muhammad.
Saya berdiri di ujung api (neraka) dan kebanyakan orang yang pergi kesana adalah wanita.
-Nabi Muhammad-
Kakakku Homa percaya bahwa mati adalah harga yang pantas dibayar untuk menarik perhatian dunia kepada masalah-masalah yang ditimbulkan oleh rezim fundamentalis Islam. Ia mati untuk menjaga kebebasan dan negara Iran, yang ia kasihi. Hari ini, Homa akan amat sangat ngeri mengetahui bagaimana Iran telah menjadi semakin ekstrim dan fundamentalis, dan sangat bersemangat untuk mempelajari contoh-contoh tirani dan terorisme Islam yang ada di bagian dunia lainnya dewasa ini. Namun, walaupun orang banyak akan sulit memahami mengapa dan apa yang dialami para wanita di dalam rezim radikal ini, perkataan Nabi Muhammad sendiri mengijinkan kita untuk memperoleh pemahaman mengapa hal ini terjadi. Sesungguhnya, dari mulut Nabi Muhammad sendirilah – seorang yang sangat disanjung di dalam Islam – kita dapat melihat dengan jelas bagaimana wanita dipandang dalam kebudayaan Islami dan betapa banyak tindakan/perlakuan dalam dunia Islam terhadap wanita sesungguhnya merefleksikan sentimen-sentimen Muhammad.
Saya berdiri di ujung api (neraka) dan kebanyakan orang yang pergi kesana adalah wanita.
-Nabi Muhammad-
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Sejak saya memulai kegiatan saya mengekspos Islam dan tekanannya pada wanita, saya telah diserang oleh pria-pria Muslim dan beberapa wanita Muslim karena mereka beranggapan bahwa saya mempunyai konsep yang salah dan salah menafsirkan hukum-hukum Islam mengenai wanita. Saya diberitahu bahwa Islam adalah agama yang damai dan menjunjung persamaan; bahwa Islam sangat meninggikan wanita, dan bahwa hukum-hukum Islam telah memberi kuasa pada wanita. Namun demikian, saya hanya melihat sedikit bukti akan hal ini dan tentu saja tidak dicantumkan di dalam Qur’an.
Pada kenyataannya, di bagian belakang salah satu Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh M.H. Shakir, tertulis:
“Qur’an adalah kompilasi asli dan lengkap dari wahyu terakhir Tuhan kepada umat manusia melalui nabi terakhir, Nabi Islam, Muhammad. Secara esensial Qur’an memiliki tiga kualitas yang menjadikannya universal. Pertama, dalam bentuk asli Arab, Qur’an adalah sebuah mahakarya literal yang sangat bernilai – membaurkan gaya presentasi dengan substansi yang dihadirkan dalam suatu pencampuran proporsi yang unik. Kedua, walaupun pesannya merupakan kelanjutan dari apa yang terdapat dalam wahyu-wahyu terdahulu kepada Abraham, Daud, Musa dan Yesus, namun berita Qur’an memiliki rasa penggenapan dan originalitas yang menarik orang Yahudi, Kristen dan juga orang Muslim sendiri kepadanya. Akhirnya, Qur’an memiliki kekayaan informasi – yang menyediakan petunjuk kehidupan untuk umat manusia pada umumnya dan orang Muslim secara khusus. Sesungguhnya, mujizat-mujizat Qur’an terletak pada kemampuannya untuk menawarkan setidaknya sesuatu kepada mereka yang tidak percaya dan semuanya kepada yang percaya”.
Saya ingin menganalisa beberapa dari “mahakarya literal yang sangat bernilai” ini yang disajikan di dalam Qur’an berkenaan dengan kaum wanita. Saya ingin menemukan dimana tepatnya Islam menempatkan wanita sebagai yang dipuja pria. Dan jika kami para wanita telah diberikan begitu banyak hak oleh kitab ini, lalu mengapa kami tidak mampu menegaskan diri kami sendiri sebagai makhluk hidup, melainkan tetap menjadi budak dari tirani dalam negara-negara Islam?
Pada kenyataannya, di bagian belakang salah satu Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh M.H. Shakir, tertulis:
“Qur’an adalah kompilasi asli dan lengkap dari wahyu terakhir Tuhan kepada umat manusia melalui nabi terakhir, Nabi Islam, Muhammad. Secara esensial Qur’an memiliki tiga kualitas yang menjadikannya universal. Pertama, dalam bentuk asli Arab, Qur’an adalah sebuah mahakarya literal yang sangat bernilai – membaurkan gaya presentasi dengan substansi yang dihadirkan dalam suatu pencampuran proporsi yang unik. Kedua, walaupun pesannya merupakan kelanjutan dari apa yang terdapat dalam wahyu-wahyu terdahulu kepada Abraham, Daud, Musa dan Yesus, namun berita Qur’an memiliki rasa penggenapan dan originalitas yang menarik orang Yahudi, Kristen dan juga orang Muslim sendiri kepadanya. Akhirnya, Qur’an memiliki kekayaan informasi – yang menyediakan petunjuk kehidupan untuk umat manusia pada umumnya dan orang Muslim secara khusus. Sesungguhnya, mujizat-mujizat Qur’an terletak pada kemampuannya untuk menawarkan setidaknya sesuatu kepada mereka yang tidak percaya dan semuanya kepada yang percaya”.
Saya ingin menganalisa beberapa dari “mahakarya literal yang sangat bernilai” ini yang disajikan di dalam Qur’an berkenaan dengan kaum wanita. Saya ingin menemukan dimana tepatnya Islam menempatkan wanita sebagai yang dipuja pria. Dan jika kami para wanita telah diberikan begitu banyak hak oleh kitab ini, lalu mengapa kami tidak mampu menegaskan diri kami sendiri sebagai makhluk hidup, melainkan tetap menjadi budak dari tirani dalam negara-negara Islam?
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Marilah kita mulai dengan gagasan bahwa Islam adalah sebuah agama yang damai. “Islam” dalam bahasa Arab berarti “kepatuhan”. Oleh karena itu, jika kami sebagai rakyat patuh kepada pemerintahan dan hukum-hukum Islam, kami akan memiliki damai. Sebenarnya apakah artinya ini? Ya, menurut perkiraan saya berdasarkan pengalaman-pengalaman saya sendiri di dalam rezim islami, nampaknya selama kami menerima bahwa wanita diciptakan lebih rendah derajatnya daripada pria; bahwa lengan boleh dipotong karena mencuri; bahwa orang harus dilempari dengan batu sampai mati karena berzinah; dan bahwa pria mempunyai hak untuk menceraikan dan mendapatkan pengasuhan tunggal untuk anak-anak mereka, dan mempunyai banyak istri – maka kami dapat hidup dalam damai. Sebagai tambahan, kami dapat memiliki damai jika bersembahyang 5 kali dalam sehari, pergi ke mesjid setiap hari Jumat, dan para wanita duduk di belakang pria. Lebih jauh lagi, dalam skenario yang penuh damai ini kami juga harus menerima bahwa bagian warisan pria 2 kali lebih besar daripada wanita. Bagaimanapun juga, kami harus tetap ingat bahwa kami tidak boleh sekalipun mengkritik Muhammad atau agama Islam yang baik itu, jika tidak maka kami tidak akan dapat memiliki damai. Juga, jika ada orang seperti Taslima Nasrin sang pengarang itu, atau Ayaan Hirsi Ali, atau diriku sendiri mengkritik Islam, maka kami harus menanggung murka dari orang-orang Muslim yang baik dan menghadapi banyak ancaman atas hidup kami. Saya bertanya pada anda: Inikah yang disebut damai?
Memang sangat sulit menemukan cara untuk memberi atribut “damai” kepada Islam, terutama ketika kami menyadari bahwa pembuat film seperti Theo Van Gogh membuat sebuah film dokumenter mengenai hidup seorang wanita Muslim untuk menunjukkan kekejaman yang harus ditanggungnya dan kemudian Theo Van Gogh dibunuh secara brutal. Inikah damai? Lebih jauh lagi, ketika sebuah suratkabar Denmark menerbitkan kartun tentang nabi, orang-orang yang disebut sebagai “muslim yang damai” ini menunjukkan tanda-tanda kekerasan dan ingin menumpahkan darah di seluruh Eropa dan dunia Islam.
Apakah ini sebuah agama damai jika mengijinkan pembunuhan hanya karena kartun? Menurut saya itu sangat sulit dimengerti jika dihubungkan dengan damai. Mungkinkah Qur’an sendiri yang telah menunjukkan jalan untuk berperilaku demikian? Berikut ini adalah beberapa wahyu di dalam Qur’an berkenaan dengan agama damai, yang dapat menjelaskan mengapa jutaan pengikut kitab ini berlaku seperti itu. Di dalam Qur’an tertulis:
Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Surah 2:191
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat. Surah 3:4
Katakanlah kepada orang-orang kafir: ”kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Surah 3:12
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Surah 4:56
Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. Surah 8:12
Tentu saja wahyu-wahyu diatas dan masih banyak lagi dalam Qur’an tidak bersifat damai atau diinspirasikan oleh Sang Pencipta yang damai dan penuh kebajikan. Oleh karena itu mudah untuk mulai melihat mengapa definisi kami tentang damai bukanlah apa yang sebenarnya diajarkan oleh Qur’an.
Sebagai tambahan, definisi kami mengenai kesetaraan wanita dengan pria dan hak-hak azasi manusia yang kita junjung tinggi di Barat, sangat kontras dan bertentangan dengan definisi yang dimiliki Islam. Status wanita di dalam Islam tidak mengijinkan wanita untuk hidup dengan eksistensi yang damai dan harmonis dan tentu saja Qur’an tidak memberikan kata-kata yang akan menginspirasi kesetaraan bagi kaum wanita. Berdasarkan Islam, seorang wanita berada di bawah perwalian ayahnya selama ia diasuh ayahnya, dan kemudian berada di bawah perwalian suaminya ketika ia menikah, dan ketika suaminya meninggal ia berada di bawah perwalian anaknya laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya; dan jika ia tidak memiliki kerabat pria maka ia berada di bawah perwalian komunitasnya.
Webster’s New Word Dictionary mendefinisikan “perwalian” sebagai “seorang yang berada dibawah pengasuhan wali atau pengadilan”. Oleh karena itu, menurut Islam, seorang wanita tidak pernah menjadi dewasa, dan ia harus senantiasa diasuh kerabat pria, wali, atau pengadilan Islam. Saya tidak menganggap ini sebagai suatu penghargaan terhadap wanita, melainkan sebuah penghinaan terhadap kewanitaan.
Pernah seorang Muslim menjelaskan pada saya bahwa ini dikarenakan wanita menjalani kehamilan dan harus mengasuh anak-anaknya; oleh karena itu para pria mereka harus mengasuh mereka. Ini adalah sebuah gagasan yang bagus jika para pria mengurus para wanita mereka saat hamil dan anak-anak masih kecil.
Namun, mengapa seorang wanita yang tidak menikah, seorang wanita yang tidak hamil, seorang nenek, atau seorang wanita lansia berada di bawah pengasuhan seorang wali? Sebagai tambahan, hanya orang-orang yang menderita gangguan mental yang ditempatkan dibawah pengasuhan pengadilan. Para wanita bukanlah orang gila atau tidak dewasa; oleh karena itu mereka tidak perlu berada dibawah pengasuhan wali yang ditunjuk oleh pengadilan.
Memang sangat sulit menemukan cara untuk memberi atribut “damai” kepada Islam, terutama ketika kami menyadari bahwa pembuat film seperti Theo Van Gogh membuat sebuah film dokumenter mengenai hidup seorang wanita Muslim untuk menunjukkan kekejaman yang harus ditanggungnya dan kemudian Theo Van Gogh dibunuh secara brutal. Inikah damai? Lebih jauh lagi, ketika sebuah suratkabar Denmark menerbitkan kartun tentang nabi, orang-orang yang disebut sebagai “muslim yang damai” ini menunjukkan tanda-tanda kekerasan dan ingin menumpahkan darah di seluruh Eropa dan dunia Islam.
Apakah ini sebuah agama damai jika mengijinkan pembunuhan hanya karena kartun? Menurut saya itu sangat sulit dimengerti jika dihubungkan dengan damai. Mungkinkah Qur’an sendiri yang telah menunjukkan jalan untuk berperilaku demikian? Berikut ini adalah beberapa wahyu di dalam Qur’an berkenaan dengan agama damai, yang dapat menjelaskan mengapa jutaan pengikut kitab ini berlaku seperti itu. Di dalam Qur’an tertulis:
Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Surah 2:191
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat. Surah 3:4
Katakanlah kepada orang-orang kafir: ”kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Surah 3:12
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Surah 4:56
Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. Surah 8:12
Tentu saja wahyu-wahyu diatas dan masih banyak lagi dalam Qur’an tidak bersifat damai atau diinspirasikan oleh Sang Pencipta yang damai dan penuh kebajikan. Oleh karena itu mudah untuk mulai melihat mengapa definisi kami tentang damai bukanlah apa yang sebenarnya diajarkan oleh Qur’an.
Sebagai tambahan, definisi kami mengenai kesetaraan wanita dengan pria dan hak-hak azasi manusia yang kita junjung tinggi di Barat, sangat kontras dan bertentangan dengan definisi yang dimiliki Islam. Status wanita di dalam Islam tidak mengijinkan wanita untuk hidup dengan eksistensi yang damai dan harmonis dan tentu saja Qur’an tidak memberikan kata-kata yang akan menginspirasi kesetaraan bagi kaum wanita. Berdasarkan Islam, seorang wanita berada di bawah perwalian ayahnya selama ia diasuh ayahnya, dan kemudian berada di bawah perwalian suaminya ketika ia menikah, dan ketika suaminya meninggal ia berada di bawah perwalian anaknya laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya; dan jika ia tidak memiliki kerabat pria maka ia berada di bawah perwalian komunitasnya.
Webster’s New Word Dictionary mendefinisikan “perwalian” sebagai “seorang yang berada dibawah pengasuhan wali atau pengadilan”. Oleh karena itu, menurut Islam, seorang wanita tidak pernah menjadi dewasa, dan ia harus senantiasa diasuh kerabat pria, wali, atau pengadilan Islam. Saya tidak menganggap ini sebagai suatu penghargaan terhadap wanita, melainkan sebuah penghinaan terhadap kewanitaan.
Pernah seorang Muslim menjelaskan pada saya bahwa ini dikarenakan wanita menjalani kehamilan dan harus mengasuh anak-anaknya; oleh karena itu para pria mereka harus mengasuh mereka. Ini adalah sebuah gagasan yang bagus jika para pria mengurus para wanita mereka saat hamil dan anak-anak masih kecil.
Namun, mengapa seorang wanita yang tidak menikah, seorang wanita yang tidak hamil, seorang nenek, atau seorang wanita lansia berada di bawah pengasuhan seorang wali? Sebagai tambahan, hanya orang-orang yang menderita gangguan mental yang ditempatkan dibawah pengasuhan pengadilan. Para wanita bukanlah orang gila atau tidak dewasa; oleh karena itu mereka tidak perlu berada dibawah pengasuhan wali yang ditunjuk oleh pengadilan.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Menurut Ayatollah Khomeini, pemimpin revolusi Islam Iran dan mantan pemimpin Muslim Shiah, ketentuan Islam untuk seorang hakim adalah bahwa “orang itu telah mencapai pubertas, mengetahui hukum-hukum Qur’an, berlaku adil, tidak menderita amnesia, bukan anak haram dan tidak berkelamin perempuan”.
Oleh karena itu kaum wanita tidak dianggap cukup dewasa untuk dapat menghakimi orang lain. Inilah alasan untuk tidak memberikan hak pilih kepada wanita dalam apa yang banyak kali disebut sebagai demokrasi islami. Betapa hal ini menyedihkan mengingat separoh dari populasi dari negara-negara ini tidak dapat terlibat dalam menentukan nasib bangsa mereka. Namun demikian bangsa-bangsa ini tetap menganggap mereka menganut demokrasi.
Sesungguhnya oleh karena banyaknya kontradiksi di dalam Islam, jauh sebelum kematian kakakku, saya telah memilih untuk meninggalkan agama yang diwariskan keluarga saya kepada saya. Saya akan berbagi dengan anda disini sesuatu dari perjalanan saya agar anda dapat melihat mengapa saya, seperti juga halnya banyak orang yang akan anda baca kisahnya dalam buku ini, memilih untuk meninggalkan Islam.
Nampaknya, seperti yang diceritakan kepada saya, usia saya baru 6 hari ketika kakek saya mewariskan agamanya pada saya. Ia melakukannya dengan cara mengucapkan sejumlah kata-kata Arab di telinga saya. Saya sangat yakin bahwa hanya itulah kata-kata bahasa Arab yang dapat diucapkan kakek saya dan bisa jadi dia sendiri juga tidak tahu apa artinya. Kami adalah bangsa Iran dan bahasa kami adalah bahasa Persia dan pada umumnya orang Iran, termasuk keluarga saya, tidak berbahasa Arab yang adalah bahasa Islam. Bagi orang Muslim, agama adalah seperti warna mata kita. Agama diwariskan. Apakah anda sungguh-sungguh mempercayai agama anda atau tidak bukanlah suatu persoalan, melainkan agama adalah sesuatu yang menyertai kelahiran anda.
Saya disekolahkan si sebuah taman kanak-kanak yang religius dengan seorang wanita tua bernama Kobra sebagai kepala sekolahnya. Saya benci sekolah ini dan kepala sekolahnya karena ia senantiasa terlihat sangat jahat dibalik pakaian hitamnya. Ia selalu berpakaian hitam. Tidak pernah tertawa, tidak ada musik, tidak boleh bermain – yang ada hanyalah Allah dan Islam. Sekolahnya jorok dan apa yang dilakukan ibu guru itu hanyalah membaca Qur’an dan buku doanya. Bahkan waktu itu, saat saya masih kecil, insting saya mengatakan pada saya bahwa sebenarnya dia tidak berpendidikan dan buta huruf. Sekali peristiwa hal ini terbukti ketika saya membalikkan Qur’annya dan dia tetap membacanya seperti biasa.
Sebagai seorang anak saya cepat memahami bagaimana anak laki-laki mendapat perlakukan berbeda dari anak perempuan. Saya ingin naik sepeda roda tiga seperti halnya anak laki-laki, tetapi orang mengatakan pada saya bahwa anak perempuan tidak boleh naik sepeda roda tiga. Di sekolah saya ingin belajar memainkan biola, namun mereka mengatakan bahwa seorang anak perempuan yang baik tidak boleh memainkan alat musik. Ketika saya ingin naik sepeda, mereka mengatakan bahwa anak perempuan yang baik tidak naik sepeda; juga tidak boleh menunggang kuda, berenang, dan banyak kegiatan lainnya.
Sejak saya masih seorang anak perempuan kecil saya telah belajar bahwa keperawanan seorang gadis adalah suatu hal yang penting dalam kebudayaan Islam. Seorang gadis haruslah masih perawan ketika ia menikah. Ditambah lagi, seorang anak perempuan dipandang cukup usia untuk dinikahkan adalah saat ia telah berumur 9 tahun. Pada kenyataannya, Khomeini, pemimpin Republik Islam Iran, mengatakan bahwa, ”Saat yang paling tepat untuk seorang gadis melangsungkan pernikahan adalah pada waktu gadis itu mendapatkan haid pertamanya di rumah suaminya daripada di rumah ayahnya”. Saya mengetahui bahwa pernyataan ini sebenarnya berasal dari Imam Mosa-e-Kazem, Imam Shiah ke-8; yaitu sekte ke-12 dalam Islam yang merupakan agama dari 98% orang Iran. Inilah cara berpikir rezim islami.
Untungnya keluarga saya tidak religius; namun demikian, kami hidup dalam keluarga dan masyarakat yang berbudaya islami. Pemikiran bahwa saya akan dinikahkan dan diserahkan kepada orang asing pada usia 9 tahun senantiasa mendatangkan kegentaran yang besar pada saya. Saya menyaksikan ketika ayah dari seorang anak perempuan yang bekerja pada ibu saya menikahkan anak itu dengan seorang pria yang telah mempunyai 3 anak laki-laki yang usianya lebih tua daripada anak perempuan itu. Anak perempuan itu baru berusia 11 tahun, dan menurut standar ayahnya ia telah menjadi perawan tua.
Ada juga aspek-aspek lain dari Islam yang mempengaruhi saya secara pribadi. Saya teringat waktu ayah saya mengurbankan seekor domba di depan mata kami di halaman belakang rumah. Melihat bagaimana hewan itu berjuang untuk melepaskan diri, dan bagaimana ia melenguh dan menggerak-gerakkan kaki dan tubuhnya setelah lehernya digorok membuat saya membenci dan mengutuk ritual yang harus dijalani domba itu menjelang kematiannya.
Oleh karena itu kaum wanita tidak dianggap cukup dewasa untuk dapat menghakimi orang lain. Inilah alasan untuk tidak memberikan hak pilih kepada wanita dalam apa yang banyak kali disebut sebagai demokrasi islami. Betapa hal ini menyedihkan mengingat separoh dari populasi dari negara-negara ini tidak dapat terlibat dalam menentukan nasib bangsa mereka. Namun demikian bangsa-bangsa ini tetap menganggap mereka menganut demokrasi.
Sesungguhnya oleh karena banyaknya kontradiksi di dalam Islam, jauh sebelum kematian kakakku, saya telah memilih untuk meninggalkan agama yang diwariskan keluarga saya kepada saya. Saya akan berbagi dengan anda disini sesuatu dari perjalanan saya agar anda dapat melihat mengapa saya, seperti juga halnya banyak orang yang akan anda baca kisahnya dalam buku ini, memilih untuk meninggalkan Islam.
Nampaknya, seperti yang diceritakan kepada saya, usia saya baru 6 hari ketika kakek saya mewariskan agamanya pada saya. Ia melakukannya dengan cara mengucapkan sejumlah kata-kata Arab di telinga saya. Saya sangat yakin bahwa hanya itulah kata-kata bahasa Arab yang dapat diucapkan kakek saya dan bisa jadi dia sendiri juga tidak tahu apa artinya. Kami adalah bangsa Iran dan bahasa kami adalah bahasa Persia dan pada umumnya orang Iran, termasuk keluarga saya, tidak berbahasa Arab yang adalah bahasa Islam. Bagi orang Muslim, agama adalah seperti warna mata kita. Agama diwariskan. Apakah anda sungguh-sungguh mempercayai agama anda atau tidak bukanlah suatu persoalan, melainkan agama adalah sesuatu yang menyertai kelahiran anda.
Saya disekolahkan si sebuah taman kanak-kanak yang religius dengan seorang wanita tua bernama Kobra sebagai kepala sekolahnya. Saya benci sekolah ini dan kepala sekolahnya karena ia senantiasa terlihat sangat jahat dibalik pakaian hitamnya. Ia selalu berpakaian hitam. Tidak pernah tertawa, tidak ada musik, tidak boleh bermain – yang ada hanyalah Allah dan Islam. Sekolahnya jorok dan apa yang dilakukan ibu guru itu hanyalah membaca Qur’an dan buku doanya. Bahkan waktu itu, saat saya masih kecil, insting saya mengatakan pada saya bahwa sebenarnya dia tidak berpendidikan dan buta huruf. Sekali peristiwa hal ini terbukti ketika saya membalikkan Qur’annya dan dia tetap membacanya seperti biasa.
Sebagai seorang anak saya cepat memahami bagaimana anak laki-laki mendapat perlakukan berbeda dari anak perempuan. Saya ingin naik sepeda roda tiga seperti halnya anak laki-laki, tetapi orang mengatakan pada saya bahwa anak perempuan tidak boleh naik sepeda roda tiga. Di sekolah saya ingin belajar memainkan biola, namun mereka mengatakan bahwa seorang anak perempuan yang baik tidak boleh memainkan alat musik. Ketika saya ingin naik sepeda, mereka mengatakan bahwa anak perempuan yang baik tidak naik sepeda; juga tidak boleh menunggang kuda, berenang, dan banyak kegiatan lainnya.
Sejak saya masih seorang anak perempuan kecil saya telah belajar bahwa keperawanan seorang gadis adalah suatu hal yang penting dalam kebudayaan Islam. Seorang gadis haruslah masih perawan ketika ia menikah. Ditambah lagi, seorang anak perempuan dipandang cukup usia untuk dinikahkan adalah saat ia telah berumur 9 tahun. Pada kenyataannya, Khomeini, pemimpin Republik Islam Iran, mengatakan bahwa, ”Saat yang paling tepat untuk seorang gadis melangsungkan pernikahan adalah pada waktu gadis itu mendapatkan haid pertamanya di rumah suaminya daripada di rumah ayahnya”. Saya mengetahui bahwa pernyataan ini sebenarnya berasal dari Imam Mosa-e-Kazem, Imam Shiah ke-8; yaitu sekte ke-12 dalam Islam yang merupakan agama dari 98% orang Iran. Inilah cara berpikir rezim islami.
Untungnya keluarga saya tidak religius; namun demikian, kami hidup dalam keluarga dan masyarakat yang berbudaya islami. Pemikiran bahwa saya akan dinikahkan dan diserahkan kepada orang asing pada usia 9 tahun senantiasa mendatangkan kegentaran yang besar pada saya. Saya menyaksikan ketika ayah dari seorang anak perempuan yang bekerja pada ibu saya menikahkan anak itu dengan seorang pria yang telah mempunyai 3 anak laki-laki yang usianya lebih tua daripada anak perempuan itu. Anak perempuan itu baru berusia 11 tahun, dan menurut standar ayahnya ia telah menjadi perawan tua.
Ada juga aspek-aspek lain dari Islam yang mempengaruhi saya secara pribadi. Saya teringat waktu ayah saya mengurbankan seekor domba di depan mata kami di halaman belakang rumah. Melihat bagaimana hewan itu berjuang untuk melepaskan diri, dan bagaimana ia melenguh dan menggerak-gerakkan kaki dan tubuhnya setelah lehernya digorok membuat saya membenci dan mengutuk ritual yang harus dijalani domba itu menjelang kematiannya.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pada malam hari setelah pengurbanan domba itu, ibu dari ayahku, satu-satunya orang yang religius di dalam keluarga kami, menceritakan kepada saya kisah mengenai Abraham dan putranya Ismail. Ia menceritakan pada saya bagaimana Tuhan menyuruh Abraham untuk membawa anaknya ke suatu tempat dan mengurbankannya untuk menunjukkan pengabdiannya kepada Yang Maha Kuasa. Dan saat ia menaruh pisau di leher anaknya ia mendengar suara seekor domba dan kemudian ia mengurbankan domba itu, dan bukannya anaknya. Itulah sebabnya kami harus mengurbankan domba itu tadi pagi. Kisah itu sangat menakutkan saya. Seringkali saya bermimpi buruk tentang kisah itu. Saya bermimpi ayah saya akan mengurbankan saya untuk menunjukkan pengadiannya kepada Tuhan dan kemudian saya terbangun, melompat, dan mendapati bahwa saya masih hidup. Akhirnya saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa Tuhan hanya akan meminta anak laki-laki untuk dikurbankan dan bukan anak perempuan. Lagipula, mengapa anak perempuan harus dikurbankan? Ini sedikit membuat saya senang bahwa saya adalah anak perempuan. Nenek saya selalu mengajarkan saya soal agama dan Islam. Ia senantiasa berkata,”Tuhan itu luarbiasa, tahu segala sesuatu, dan telah menciptakan manusia dan alam semesta.” Kemudian ia akan menyuruh saya untuk berdoa dalam bahasa Arab.
“Nek, apakah Allah tidak mengerti bahasa Persia?”
“Tidak. Kau harus berbicara pada Allah dalam bahasa Arab”.
“Tapi nenek tadi mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Jika Ia
menciptakan bahasa Persia, lalu mengapa Ia tidak mengerti bahasa Persia?”
Setelah berargumen seperti ini dengan nenek dan ia jadi tersudutkan serta tidak dapat memberi jawaban, saya sepenuhnya menolak agama dan Islam. Ketidaksukaan saya terhadap agama terpicu ketika saya mulai mempelajari Sharia di sekolah menengah. Apa yang saya pelajari sangat menghina wanita dan sangat menindas sampai saya benci membaca bukunya.
Saya tidak dapat memahami mengapa cerai adalah hak unilateral pria, atau mengapa wanita harus menyerahkan anak-anaknya kepada keluarga suaminya jika suaminya menceraikannya atau ketika suaminya meninggal dunia. Mengapa hak waris wanita hanya separoh dari saudaranya laki-laki dan mengapa seorang anak laki-laki boleh melakukan apa saja yang disukainya sedangkan semua hak anak perempuan disangkali. Mengapa kami selalu harus menunggu sampai para pria dan anak laki-laki selesai makan barulah kami boleh makan dari sisa-sisa mereka. Mengapa tubuh saya adalah milik semua orang dan bukan milik saya sendiri? Jika saya berdiri di depan pintu rumah dan berbicara dengan seorang tetangga pria, semua kerabat pria kami akan membuat dia bertanggungjawab dengan memaksa saya masuk ke dalam rumah. Saya merasa seperti seorang tahanan. Kenyataannya, satu-satunya pria yang dapat saya ajak bicara hanyalah pria yang dipilihkan untuk saya.
Sesungguhnya, salah satu aspek yang paling menjijikkan dari Islam menurut saya adalah proses perjodohan (khastegary). Dalam proses ini, para wanita dalam lingkaran dekat sebuah keluarga atau keluarga besar akan mencari gadis yang cocok untuk kerabat pria mereka. Setiap kali anggota keluarga saya mengunjungi seorang gadis yang cocok untuk dijadikan istri paman atau sepupu-sepupu saya, penilaian mereka terhadap gadis malang itu membuat saya muak. Seolah-olah mereka sedang membeli sebuah mebel. Hal yang paling penting adalah bentuk fisiknya. Ditambah lagi, ia haruslah seorang perawan. Jika keperawanannya tidak dapat dibuktikan, orangtuanya harus membayar pengantin pria dan orangtuanya dan menanggung biaya pernikahan dan kemudian keesokan harinya pernikahan itu dibatalkan.
Ketika saya masih remaja di Teheran, saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Gadis itu baru berusia 14 tahun. Orangtuanya sangat memikirkan keperawanannya sampai-sampai mereka seperti dilem di depan pintu kamar pengantin baru itu. Mereka berdiri disana sampai si pengantin pria, yang berusia 30 tahun, keluar dari kamar. Kemudian mereka masuk ke dalam kamar dan mengambil seprai berdarah yang ditiduri anak gadisnya yang baru diperkosa itu dan dengan bersukacita memberikan seprai itu kepada orangtua pengantin pria sebagai bukti keperawanan putri mereka. Saya sama sekali tidak ingin diperlakukan seperti itu pada malam pengantin saya.
Ada banyak sekali hukum di dalam Islam yang benar-benar membodohi seseorang yang berpendidikan. Namun kita terus diajarkan bahwa Islam adalah agama yang damai. Hukum semacam itu dalam adat Shiah adalah sigeh, atau pernikahan sementara. Saya menyebut hal itu sebagai pelacuran berwajah religi. Pernikahan di dalam Islam adalah sebuah kontrak antara seorang pria dengan wali dari seorang wanita untuk jangka waktu tertentu. Itu hampir sama seperti menyewa sebuah properti.
Dalam sebuah pernikahan yang permanen, seorang pria menikahi seorang wanita selama 99 tahun karena dianggap tak seorangpun hidup selama itu. Dalam realita, banyak suami meninggal dunia jauh sebelum periode ini berakhir karena mereka menikah pada akhir 30-an tahun dan awal 40 tahun. Para wanita yang telah diserahkan oleh wali mereka ketika mereka masih sangat muda mendapat kesempatan untuk hidup sendiri dalam damai seumur hidup mereka. Dalam pernikahan sementara, pria menentukan jangka waktu berlakunya kontrak itu. Ia meminta seorang wanita atau wali wanita itu agar wanita itu mau menikahinya selama jangka waktu tertentu mulai dari 10 menit hingga 1 jam, 1 minggu, atau beberapa bulan dengan bayaran sejumlah uang. Jika wanita itu atau walinya menyetujui persyaratan itu, maka mereka kemudian menikah dan pernikahan itu akan dibatalkan setelah masanya selesai. Sebenarnya, ini adalah cara yang sah bagi seorang pria untuk menikmati ditemani wanita muda tanpa adanya sebuah komitmen jangka panjang.
Hukum Islam yang biadab lainnya adalah mohalel. Seorang pria membayar pria lain untuk menikahi wanita yang telah diceraikannya 3 kali dalam semalam, berhubungan seks dengan wanita itu, dan menceraikannya keesokan harinya sehingga suami dapat menikahi kembali istrinya yang telah diceraikannya itu. Bertahun-tahun yang lalu, salah seorang kerabat jauh kami menceraikan istrinya 3 kali dalam kemarahan dan kemudian menyesal lalu menginginkan istrinya kembali. Namun demikian, mullah tidak mau menikahkan mereka kembali kecuali si istri menikahi orang lain dan bermalam dengan suami barunya (mengijikannya untuk berhubungan seks dengan wanita itu) dan untuk kemudian diceraikan keesokan harinya dan menikahi kembali mantan suaminya.
Menurut saya ini tidak lebih dari sebuah sirkus. Sang mantan suami sangat berjuang untuk mencari seorang pria dan membayarnya untuk hanya semalam menikahi istrinya, yang diceraikannya dengan tidak sengaja, dan kemudian menceraikannya esok hari. Oleh karena mantan istrinya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan berasal dari keluarga yang terpandang, suaminya membutuhkan seseorang yang dapat ia percayai akan benar-benar menceraikan mantan istrinya keesokan hari. Jadi akhirnya, ia meminta salah satu pekerja ayah saya untuk menikahi mantan istrinya. Kemudian ia membayar sejumlah besar uang pada orang itu. Orang itu tidur dengan mantan istrinya untuk semalam saja dan kemudian esok paginya mereka bercerai dan pasangan itu dapat bersatu lagi. Yang menjijikkan saya adalah tak seorang wanita pun dalam keluarga kami yang memikirkan konsekuensi dari hubungan semalam ini. Mungkin itu terjadi karena mereka semua juga telah diperkosa pada malam pengantin mereka oleh seorang asing (pernikahan melalui perjodohan), dan diperkosa oleh orang lain lagi (mohalel), jadi itu bukanlah masalah yang besar. Mungkin juga banyak diantara mereka berharap bahwa mereka akan diceraikan sehingga mereka dapat menikah dengan pria lain yang akan memperlakukan mereka lebih baik daripada mantan suami mereka.
Kini saat saya memikirkan hukum ini, menurut saya itu menjijikkan dan menghina wanita. Dalam kedua kasus-yang pertama pernikahan melalui perjodohan dan hubungan semalam untuk kemudian diceraikan –para wanita tidak dimintai pendapatnya dan mereka dipaksa untuk rela diperkosa oleh orang yang tidak dikenalnya, pertama-tama oleh karena adanya tekanan dari orang-tua, dan kemudian sehubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak terbayangkan kejinya dari suami-suami mereka. Para apologis Muslim akan berkata pada anda bahwa hukum ini diberikan supaya para pria tidak akan menceraikan istri mereka tiga kali: sebagai upaya pencegahan perceraian. Dalam Islam seorang pria mempunyai hak unilateral untuk menceraikan (dengan sendirinya itu merupakan pelecehan terhadap hak-hak azasi wanita), berdasarkan prosedur berikut ini. Seorang pria dapat menceraikan istrinya 1 kali, dengan mengatakan padanya,”aku menceraikanmu”, dan jika mereka saling dipertemukan maka perceraian itu dibatalkan dan mereka dapat menjalani hubungan yang normal. Seorang pria dapat menceraikan istrinya 2 kali – “aku menceraikanmu, aku menceraikanmu” – dan kemudian jika mereka melakukan hubungan seksual maka perceraian itu dibatalkan dan mereka dapat melanjutkan lagi hubungan pernikahan mereka. Namun, seorang pria dapat menceraikan istrinya 3 kali – “aku menceraikanmu, aku menceraikanmu, aku menceraikanmu” - di hadapan seorang saksi. Kemudian, agar mereka dapat rujuk kembali, pria itu harus mencari seorang mohalel. Banyak kali para mohalel ini tidak menceraikan wanita itu keesokan harinya. Terlebih lagi, si suami tidak dapat berbuat apa-apa akan hal itu.
Menurut saya hukum ini biadab dan tidak manusiawi berdasarkan beberapa alasan. Pertama, perasaan dan hak-hak wanita itu tidak dipertimbangkan dan ia diperkosa selama semalam oleh orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kedua, ide untuk membayar seseorang untuk memperkosa istrinya semalaman itu sangat menjijikkan. Dan terakhir, jika si mohalel tidak menceraikan wanita itu, ia dipaksa untuk menjalani hidup dalam kesengsaraan (kecuali si mohalel itu ternyata lebih baik daripada mantan suaminya) dan jauh dari anak-anak dari suami pertamanya, jika ia mempunyai anak.
Setelah sirkus keluarga ini, saya memutuskan bahwa saya tidak mau menjadi seorang Muslim. Namun demikian, saya masih tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk benar-benar meninggalkan agama itu. Saya meninggalkan Iran dengan membawa sebuah Qur’an kecil di saku dan berjalan di bawah Qur’an yang besar saat saya keluar dari rumah dan dalam perjalanan saya ke bandara. Walaupun saya tidak pernah sembahyang, berpuasa, pergi ke mesjid, atau menjalankan ritual agama sepanjang hidup saya, saya masih percaya kepada Tuhan dan nabi-Nya Muhammad ketika saya meninggalkan Iran pada 1964 untuk datang ke Amerika.
“Nek, apakah Allah tidak mengerti bahasa Persia?”
“Tidak. Kau harus berbicara pada Allah dalam bahasa Arab”.
“Tapi nenek tadi mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Jika Ia
menciptakan bahasa Persia, lalu mengapa Ia tidak mengerti bahasa Persia?”
Setelah berargumen seperti ini dengan nenek dan ia jadi tersudutkan serta tidak dapat memberi jawaban, saya sepenuhnya menolak agama dan Islam. Ketidaksukaan saya terhadap agama terpicu ketika saya mulai mempelajari Sharia di sekolah menengah. Apa yang saya pelajari sangat menghina wanita dan sangat menindas sampai saya benci membaca bukunya.
Saya tidak dapat memahami mengapa cerai adalah hak unilateral pria, atau mengapa wanita harus menyerahkan anak-anaknya kepada keluarga suaminya jika suaminya menceraikannya atau ketika suaminya meninggal dunia. Mengapa hak waris wanita hanya separoh dari saudaranya laki-laki dan mengapa seorang anak laki-laki boleh melakukan apa saja yang disukainya sedangkan semua hak anak perempuan disangkali. Mengapa kami selalu harus menunggu sampai para pria dan anak laki-laki selesai makan barulah kami boleh makan dari sisa-sisa mereka. Mengapa tubuh saya adalah milik semua orang dan bukan milik saya sendiri? Jika saya berdiri di depan pintu rumah dan berbicara dengan seorang tetangga pria, semua kerabat pria kami akan membuat dia bertanggungjawab dengan memaksa saya masuk ke dalam rumah. Saya merasa seperti seorang tahanan. Kenyataannya, satu-satunya pria yang dapat saya ajak bicara hanyalah pria yang dipilihkan untuk saya.
Sesungguhnya, salah satu aspek yang paling menjijikkan dari Islam menurut saya adalah proses perjodohan (khastegary). Dalam proses ini, para wanita dalam lingkaran dekat sebuah keluarga atau keluarga besar akan mencari gadis yang cocok untuk kerabat pria mereka. Setiap kali anggota keluarga saya mengunjungi seorang gadis yang cocok untuk dijadikan istri paman atau sepupu-sepupu saya, penilaian mereka terhadap gadis malang itu membuat saya muak. Seolah-olah mereka sedang membeli sebuah mebel. Hal yang paling penting adalah bentuk fisiknya. Ditambah lagi, ia haruslah seorang perawan. Jika keperawanannya tidak dapat dibuktikan, orangtuanya harus membayar pengantin pria dan orangtuanya dan menanggung biaya pernikahan dan kemudian keesokan harinya pernikahan itu dibatalkan.
Ketika saya masih remaja di Teheran, saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Gadis itu baru berusia 14 tahun. Orangtuanya sangat memikirkan keperawanannya sampai-sampai mereka seperti dilem di depan pintu kamar pengantin baru itu. Mereka berdiri disana sampai si pengantin pria, yang berusia 30 tahun, keluar dari kamar. Kemudian mereka masuk ke dalam kamar dan mengambil seprai berdarah yang ditiduri anak gadisnya yang baru diperkosa itu dan dengan bersukacita memberikan seprai itu kepada orangtua pengantin pria sebagai bukti keperawanan putri mereka. Saya sama sekali tidak ingin diperlakukan seperti itu pada malam pengantin saya.
Ada banyak sekali hukum di dalam Islam yang benar-benar membodohi seseorang yang berpendidikan. Namun kita terus diajarkan bahwa Islam adalah agama yang damai. Hukum semacam itu dalam adat Shiah adalah sigeh, atau pernikahan sementara. Saya menyebut hal itu sebagai pelacuran berwajah religi. Pernikahan di dalam Islam adalah sebuah kontrak antara seorang pria dengan wali dari seorang wanita untuk jangka waktu tertentu. Itu hampir sama seperti menyewa sebuah properti.
Dalam sebuah pernikahan yang permanen, seorang pria menikahi seorang wanita selama 99 tahun karena dianggap tak seorangpun hidup selama itu. Dalam realita, banyak suami meninggal dunia jauh sebelum periode ini berakhir karena mereka menikah pada akhir 30-an tahun dan awal 40 tahun. Para wanita yang telah diserahkan oleh wali mereka ketika mereka masih sangat muda mendapat kesempatan untuk hidup sendiri dalam damai seumur hidup mereka. Dalam pernikahan sementara, pria menentukan jangka waktu berlakunya kontrak itu. Ia meminta seorang wanita atau wali wanita itu agar wanita itu mau menikahinya selama jangka waktu tertentu mulai dari 10 menit hingga 1 jam, 1 minggu, atau beberapa bulan dengan bayaran sejumlah uang. Jika wanita itu atau walinya menyetujui persyaratan itu, maka mereka kemudian menikah dan pernikahan itu akan dibatalkan setelah masanya selesai. Sebenarnya, ini adalah cara yang sah bagi seorang pria untuk menikmati ditemani wanita muda tanpa adanya sebuah komitmen jangka panjang.
Hukum Islam yang biadab lainnya adalah mohalel. Seorang pria membayar pria lain untuk menikahi wanita yang telah diceraikannya 3 kali dalam semalam, berhubungan seks dengan wanita itu, dan menceraikannya keesokan harinya sehingga suami dapat menikahi kembali istrinya yang telah diceraikannya itu. Bertahun-tahun yang lalu, salah seorang kerabat jauh kami menceraikan istrinya 3 kali dalam kemarahan dan kemudian menyesal lalu menginginkan istrinya kembali. Namun demikian, mullah tidak mau menikahkan mereka kembali kecuali si istri menikahi orang lain dan bermalam dengan suami barunya (mengijikannya untuk berhubungan seks dengan wanita itu) dan untuk kemudian diceraikan keesokan harinya dan menikahi kembali mantan suaminya.
Menurut saya ini tidak lebih dari sebuah sirkus. Sang mantan suami sangat berjuang untuk mencari seorang pria dan membayarnya untuk hanya semalam menikahi istrinya, yang diceraikannya dengan tidak sengaja, dan kemudian menceraikannya esok hari. Oleh karena mantan istrinya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan berasal dari keluarga yang terpandang, suaminya membutuhkan seseorang yang dapat ia percayai akan benar-benar menceraikan mantan istrinya keesokan hari. Jadi akhirnya, ia meminta salah satu pekerja ayah saya untuk menikahi mantan istrinya. Kemudian ia membayar sejumlah besar uang pada orang itu. Orang itu tidur dengan mantan istrinya untuk semalam saja dan kemudian esok paginya mereka bercerai dan pasangan itu dapat bersatu lagi. Yang menjijikkan saya adalah tak seorang wanita pun dalam keluarga kami yang memikirkan konsekuensi dari hubungan semalam ini. Mungkin itu terjadi karena mereka semua juga telah diperkosa pada malam pengantin mereka oleh seorang asing (pernikahan melalui perjodohan), dan diperkosa oleh orang lain lagi (mohalel), jadi itu bukanlah masalah yang besar. Mungkin juga banyak diantara mereka berharap bahwa mereka akan diceraikan sehingga mereka dapat menikah dengan pria lain yang akan memperlakukan mereka lebih baik daripada mantan suami mereka.
Kini saat saya memikirkan hukum ini, menurut saya itu menjijikkan dan menghina wanita. Dalam kedua kasus-yang pertama pernikahan melalui perjodohan dan hubungan semalam untuk kemudian diceraikan –para wanita tidak dimintai pendapatnya dan mereka dipaksa untuk rela diperkosa oleh orang yang tidak dikenalnya, pertama-tama oleh karena adanya tekanan dari orang-tua, dan kemudian sehubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak terbayangkan kejinya dari suami-suami mereka. Para apologis Muslim akan berkata pada anda bahwa hukum ini diberikan supaya para pria tidak akan menceraikan istri mereka tiga kali: sebagai upaya pencegahan perceraian. Dalam Islam seorang pria mempunyai hak unilateral untuk menceraikan (dengan sendirinya itu merupakan pelecehan terhadap hak-hak azasi wanita), berdasarkan prosedur berikut ini. Seorang pria dapat menceraikan istrinya 1 kali, dengan mengatakan padanya,”aku menceraikanmu”, dan jika mereka saling dipertemukan maka perceraian itu dibatalkan dan mereka dapat menjalani hubungan yang normal. Seorang pria dapat menceraikan istrinya 2 kali – “aku menceraikanmu, aku menceraikanmu” – dan kemudian jika mereka melakukan hubungan seksual maka perceraian itu dibatalkan dan mereka dapat melanjutkan lagi hubungan pernikahan mereka. Namun, seorang pria dapat menceraikan istrinya 3 kali – “aku menceraikanmu, aku menceraikanmu, aku menceraikanmu” - di hadapan seorang saksi. Kemudian, agar mereka dapat rujuk kembali, pria itu harus mencari seorang mohalel. Banyak kali para mohalel ini tidak menceraikan wanita itu keesokan harinya. Terlebih lagi, si suami tidak dapat berbuat apa-apa akan hal itu.
Menurut saya hukum ini biadab dan tidak manusiawi berdasarkan beberapa alasan. Pertama, perasaan dan hak-hak wanita itu tidak dipertimbangkan dan ia diperkosa selama semalam oleh orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kedua, ide untuk membayar seseorang untuk memperkosa istrinya semalaman itu sangat menjijikkan. Dan terakhir, jika si mohalel tidak menceraikan wanita itu, ia dipaksa untuk menjalani hidup dalam kesengsaraan (kecuali si mohalel itu ternyata lebih baik daripada mantan suaminya) dan jauh dari anak-anak dari suami pertamanya, jika ia mempunyai anak.
Setelah sirkus keluarga ini, saya memutuskan bahwa saya tidak mau menjadi seorang Muslim. Namun demikian, saya masih tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk benar-benar meninggalkan agama itu. Saya meninggalkan Iran dengan membawa sebuah Qur’an kecil di saku dan berjalan di bawah Qur’an yang besar saat saya keluar dari rumah dan dalam perjalanan saya ke bandara. Walaupun saya tidak pernah sembahyang, berpuasa, pergi ke mesjid, atau menjalankan ritual agama sepanjang hidup saya, saya masih percaya kepada Tuhan dan nabi-Nya Muhammad ketika saya meninggalkan Iran pada 1964 untuk datang ke Amerika.
Terakhir diubah oleh Admin tanggal Thu May 26, 2011 2:56 pm, total 1 kali diubah
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Setelah saya dapat mempelajari bahasa Inggris sehingga saya dapat bekal yang cukup untuk bisa membaca, saya membaca sebahagian Qur’an dalam bahasa Inggris. Saya belum pernah membaca Qur’an sebelumnya. Ketika saya meninggalkan Iran, Qur’an belum diterjemahkan ke dalam bahasa Persia atau mungkin kami tidak tahu soal itu. Saya membaca beberapa teks Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Saya merasa jijik dengan beberapa teks seperti Surah Terang, dimana Tuhan berkata kepada Muhammad, ”Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, putri-putrimu, dan para wanita lain yang percaya kepada-Ku untuk menutupi mata mereka dan harta mereka dari mata orang asing” (Surah 33:59). Masalah saya adalah untuk mengetahui sejauh mana wanita harus berpakaian untuk menutupi hartanya, dan di samping itu, apakah yang dimaksud dengan harta seorang wanita? Apakah harta seorang wanita terletak di bawah ikat pinggangnya atau otaknya? Cara orang Muslim dalam keluarga saya dan lingkungan saya bersikap menunjukkan dengan jelas bahwa harta seorang wanita adalah keperawanannya sebelum pernikahan dan vaginanya setelah ia menikah. Saya menolak hal itu. Kemudian saya membaca lebih banyak lagi dalam Qur’an dan juga buku-buku lain, dan setelah membaca semua perkataan dan pepatah itu saya diyakinkan bahwa agama ini hanyalah menghancurkan kemampuan manusia untuk berpikir dan bertindak berdasarkan keinginannya sendiri. Berikut ini saya telah mendaftarkan beberapa pepatah itu.
Istrimu-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu itu kapan saja kamu kehendaki.Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah ...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Surah 4:34. Saya sedang berdiri di pinggir api neraka dan kebanyakan orang yang masuk kedalamnya adalah perempuan. Nabi Muhammad (Sahih Bukhari, Sahih Muslim Volume 4, Buku 54, Nomor 464)
Lebih baik berkubang dalam lumpur dengan babi-babi daripada bersalaman dengan seorang wanita. Seorang pemimpin Islam Indonesia.Surga seorang wanita terletak di bawah kaki suaminya. Pepatah Islam. Seorang wanita harus melihat terang siang hari tiga kali selama hidupnya. Ketika ia dilahirkan, ketika ia menikah dan ketika mati. Pepatah Islam. Di kemudian hari dalam riset saya mengenai Islam saya mempelajari bahwa Nabi menikah dengan istri pertamanya ketika nabi berusia 24 tahun dan ia lebih muda 16 tahun daripada istrinya itu. Istrinya adalah seorang wanita kaya, telah bercerai 2 kali ketika ia dijodohkan dengan Muhammad. Setelah istrinya meninggal pada usia 72 tahun, ketika Nabi berusia 56 tahun, ia menikah lagi dengan seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Diperkirakan ia berhubungan seks dengan anak perempuan itu ketika anak itu berumur 9 tahun, dan menobatkannya sebagai ibu dari semua Muslim saat nabi menjelang ajalnya sedangkan gadis itu baru berusia 18 tahun, sehingga (sepeninggal Nabi) ia tidak dapat menikahi orang lain.
Pada 8-10 tahun terakhir hidupnya, Nabi Muhammad menikah dengan sekitar 15-46 wanita. Para apologis Muslim berkata bahwa wanita-wanita itu semuanya adalah janda dan mereka tidak mempunyai siapi-siapa untuk melindungi dan memelihara mereka. Maka Allah memerintahkan nabi-Nya untuk menikahi mereka.
Menurut saya alasan ini tidak masuk akal. Aisah, yang dinikahi Muhammad ketika ia masih berumur 7 tahun, adalah seorang anak yang berasal dari keluarga berada dan ayahnya telah menjadi seorang Muslim bertahun-tahun sebelum Aisah lahir. Zainab adalah istri dari Zayd, anak angkat Nabi, dan mempunyai hidup pernikahan yang bahagia hingga Muhammad menyuruh Zayd untuk menceraikan Zainab sehingga Muhammad dapat menikahinya. Untuk mendapatkan persetujuan dari suku Gorish, ia memberikan alasan bahwa “seorang pria Muslim tidak diijinkan untuk membesarkan anak orang lain; oleh karena itu, Zayd bukanlah anaknya, karena ia mengadopsi Zayd sebelum ia diangkat sebagai seorang nabi Muslim”. Itulah alasan utama mengapa adopsi tidak sah dalam negara-negara Islam. Sebagai tambahan, Rihannah adalah seorang wanita cantik yang sudah menikah ketika suaminya dipenggal oleh bandit-bandit nabi Islam dan ia dibawa ke tempat tidur nabi pada malam itu juga. Para wanita itu bukanlah janda. Sebenarnya mereka mempunyai wali yang mengurus mereka.
Ketika saya membaca kisah-kisah seperti ini, otak saya rasanya meledak. Bagaimana mungkin ada begitu banyak orang di dunia ini yang menjadi pengikut seorang yang doyan perempuan dan suka melecehkan anak-anak secara seksual? Teganya kakek saya menjadikan saya seorang Muslim ketika saya masih berusia 6 hari supaya saya menjadi pengikut seorang penjahat seperti itu? Lalu saya sampai pada kesimpulan bahwa kakek saya tidak tahu apa-apa soal itu. Atau sebaliknya, seandainya pun ia tahu, itu karena ia sendiri juga telah dibesarkan dalam budaya yang biadab seperti itu dan tidak tahu menahu apapun yang lebih baik dari pada itu.
Ketika putra saya lahir, saya tidak memberinya agama apapun. Saya tidak memberinya pendidikan agama apapun tentang Tuhan dan nabi-nabi-Nya. Juga, saya tidak menyunat anak saya. Iman saya kepada Allah sudah habis sama sekali pada 1 April 1979, menyusul berdirinya Republik Islami atau pemerintahan Allah, di negeri kelahiran saya, Iran – ketika negara itu mengalami kembalinya ke jaman kegelapan oleh karena kemudian ditegakkannya hukum-hukum Islam. Para wanita adalah yang pertama-tama menjadi korban dari regresi. Pergumulan lebih dari 130 tahun ditinggalkan begitu saja oleh para pemerintah religius abad pertengahan. Dengan dirampasnya hak-hak konstitusionalnya, para wanita secara sosial diturunkan derajatnya menjadi makhluk terendah dan warga negara kelas dua.
Pada bulan Maret 1979, Khomeini memberlakukan jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme dan korupsi. Ia mengumumkan bahwa “wanita tidak boleh memasuki kementrian Republik Islam tanpa tudung kepala. Mereka boleh tetap bekerja jika mereka mengenakan jilbab” (Kayhan, Maret 1979).
Kementrian Pendidikan menentukan warna dan gaya berpakaian yang cocok untuk para siswi (hitam, lurus, dan dan tertutup dari kepala sampai kaki untuk anak-anak usia terkecil 6 tahun). Untuk membungkam pemberontakan para wanita, pemerintah membentuk sebuah unit khusus. Patroli-patroli mengontrol apakah para wanita melaksanakan kebiasaan Islami itu di jalan-jalan. Pemerintahan Islam berjalan lebih jauh lagi. Selama 28 tahun terakhir ini, kondisi wanita terus menurun. Namun demikian, di balik penganiayaan (dicambuk, dilempari batu, dipenjara, dan pemisahan total), para wanita Iran tidak pernah berhenti berjuang. Di bawah pemerintahan Islam, hukum perlindungan keluarga dirobohkan. Poligami ditegakkan kembali. Republik Islam berketetapan untuk mendukung praktek poligami. Di bawah Republik Islam, pernikahan sementara disetujui. Konsekuensinya, seorang pria dapat menikahi 4 istri permanen dan mempunyai sebanyak mungkin istri “sementara” menurut keinginannya. “Banyak orang Eropa mempunyai wanita simpanan. Mengapa kita harus menekan insting manusia? Seekor ayam jago memuaskan banyak ayam betina, seekor kuda jantan memuaskan banyak kuda betina. Seorang wanita tidak dapat (berhubungan seks) selama suatu periode tertentu sedangkan pria selalu aktif”. Ayatollah Ghomi, Le Monde, 20 Januari 1979.
“Tugas spesifik wanita dalam masyarakat ini adalah menikah dan melahirkan anak. Mereka akan dihalangi untuk duduk dalam badan legislatif, yudikatif, atau karir apapun yang membutuhkan pengambilan keputusan, karena wanita kurang dalam kemampuan intelektual dan memberikan penilaian yang diperlukan dalam karir-karir ini. Ayatollah Mutahar, (salah satu pemimpin ideologi Republik Islam Iran), dalam buku “Mempertanyakan Kerudung”, mengatakatan bahwa kesaksian seorang pria sama dengan kesaksian dua wanita”.
Berdasarkan klausa 33 dan 91 dalam hukum, qisas (Rancangan Undang-Undang Retribusi Islam), dan batasan-batasannya, nilai seorang saksi wanita hanya dianggap separoh daripada pria. Berdasarkan Undang-Undang Hukum Islam yang dipraktekkan oleh rejim Islam Iran saat ini,”Seorang wanita hanya berharga separoh dari pria”.
Berdasarkan klausa 6 dan Hukum Retribusi dan Penghukuman,”Jika seorang wanita membunuh seorang pria, keluarga pria itu berhak menagih sejumlah uang kepada kerabat terdekat sebagai kompensasi adanya pembunuhan seorang kerabat. Namun, jika seorang pria membunuh seorang wanita, si pembunuh ini harus, sebelum ganti rugi, membayar setengah dari jumlah/nilai dari darah seorang pria kepada wali wanita itu”.
Pada tahun 1991, jaksa Penuntut Umum Iran mengumumkan bahwa “orang yang menolak peraturan tentang jilbab adalah seorang bidat/sesat dan hukuman bagi seorang bidat menurut hukum Islam adalah hukuman mati”. Anak-anak gadis yang dihukum mati tidak akan menjalani hukuman itu selama mereka masih perawan. Oleh karena itu mereka diperkosa secara sistematis sebelum hukuman itu dilaksanakan. Sementara itu, sebuah laporan dari Perwakilan Khusus Komisi Hak-hak Azasi Manusia dari PBB di Republik Islam Iran pada tahun 1992 menyatakan:
“Memperkosa narapidana wanita, terutama gadis-gadis perawan, yang dituduh menentang rejim, adalah sebuah praktek normal dan dilakukan setiap hari di penjara-penjara Republik Islam, dan dengan melakukan hal itu, para ulama mengumumkan bahwa mereka menaati nilai-nilai dari prinsip dan hukum islami, yaitu mencegah seorang anak perawan untuk masuk surga. Para Mullah percaya bahwa mereka adalah adalah makhluk-makhluk yang tidak saleh dan mereka pantas diperlakukan demikian, oleh karena itu mereka diperkosa agar dapat dipastikan bahwa mereka akan dikirim ke neraka”.
Bukti lebih jauh lagi mengenai perlakukan terhadap wanita terdapat dalam artikel 115 dalam Konstitusi Islam yang dengan jelas menyatakan bahwa presiden negara itu harus dipilih dari semua pria yang takut kepada Allah dan berdedikasi; ini berarti bahwa wanita tidak dapat menjadi presiden atau menduduki jabatan Valiat-e-Faghih (pemimpin keagamaan) atau menduduki posisi sebagai pemimpin dalam sebuah negara Muslim.
Para wanita Islam dicegah menikahi orang asing kecuali mereka mendapatkan ijin dari Kementerian Interior. Menteri dari Direktur Jenderal Interior untuk Urusan Warga negara Asing dan Imigran, Ahmad Hosseini, pada 30 Maret 1991, menyatakan: “Pernikahan antara wanita Iran dengan pria asing akan mendatangkan banyak masalah bagi para wanita ini dan anak-anak mereka di masa yang akan datang, karena pernikahan mereka dipandang tidak sah. Registrasi religius untuk pernikahan semacam itu tidak akan dianggap sebagai dokumentasi yang memadai untuk menyediakan pelayanan legal bagi keluarga-keluarga ini”. Juga, ”Para wanita yang sudah menikah tidak diijinkan untuk pergi keluar negeri tanpa adanya ijin tertulis dari suami mereka”.
Sebagai tambahan, laporan-laporan terakhir dari berbagai oragnisasi internasional seperti Amnesti Internasional dan Komisi Hak Azasi PBB memberikan gambaran yang jelas mengenai pelanggaran-pelanggaran hak-hak azasi yang dialami para wanita Iran, demikian juga pria dan anak-anak. Satu-satunya hal yang diberikan Republik Islam kepada orang-orang Iran hanyalah kemiskinan dan kesengsaraan. Saya bertanya-tanya mengapa Allah membuang mereka? Pada masa revolusi Khomeini mengatakan kepada orang-orang bahwa Allah ada di pihak mereka. Jika inilah yang akan kita dapatkan oleh karena Allah ada di pihak kita, saya sangat berbahagia karena saya tidak memiliki Tuhan seperti yang disebutkan oleh Khomeini.
Parvin Darabi
Presiden, Yayasan Dr. Homa Darabi (www.homa.org)
Pengarang pendamping dari Rage Against The Veil, Prometheus Books, 1999
Istrimu-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu itu kapan saja kamu kehendaki.Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah ...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Surah 4:34. Saya sedang berdiri di pinggir api neraka dan kebanyakan orang yang masuk kedalamnya adalah perempuan. Nabi Muhammad (Sahih Bukhari, Sahih Muslim Volume 4, Buku 54, Nomor 464)
Lebih baik berkubang dalam lumpur dengan babi-babi daripada bersalaman dengan seorang wanita. Seorang pemimpin Islam Indonesia.Surga seorang wanita terletak di bawah kaki suaminya. Pepatah Islam. Seorang wanita harus melihat terang siang hari tiga kali selama hidupnya. Ketika ia dilahirkan, ketika ia menikah dan ketika mati. Pepatah Islam. Di kemudian hari dalam riset saya mengenai Islam saya mempelajari bahwa Nabi menikah dengan istri pertamanya ketika nabi berusia 24 tahun dan ia lebih muda 16 tahun daripada istrinya itu. Istrinya adalah seorang wanita kaya, telah bercerai 2 kali ketika ia dijodohkan dengan Muhammad. Setelah istrinya meninggal pada usia 72 tahun, ketika Nabi berusia 56 tahun, ia menikah lagi dengan seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Diperkirakan ia berhubungan seks dengan anak perempuan itu ketika anak itu berumur 9 tahun, dan menobatkannya sebagai ibu dari semua Muslim saat nabi menjelang ajalnya sedangkan gadis itu baru berusia 18 tahun, sehingga (sepeninggal Nabi) ia tidak dapat menikahi orang lain.
Pada 8-10 tahun terakhir hidupnya, Nabi Muhammad menikah dengan sekitar 15-46 wanita. Para apologis Muslim berkata bahwa wanita-wanita itu semuanya adalah janda dan mereka tidak mempunyai siapi-siapa untuk melindungi dan memelihara mereka. Maka Allah memerintahkan nabi-Nya untuk menikahi mereka.
Menurut saya alasan ini tidak masuk akal. Aisah, yang dinikahi Muhammad ketika ia masih berumur 7 tahun, adalah seorang anak yang berasal dari keluarga berada dan ayahnya telah menjadi seorang Muslim bertahun-tahun sebelum Aisah lahir. Zainab adalah istri dari Zayd, anak angkat Nabi, dan mempunyai hidup pernikahan yang bahagia hingga Muhammad menyuruh Zayd untuk menceraikan Zainab sehingga Muhammad dapat menikahinya. Untuk mendapatkan persetujuan dari suku Gorish, ia memberikan alasan bahwa “seorang pria Muslim tidak diijinkan untuk membesarkan anak orang lain; oleh karena itu, Zayd bukanlah anaknya, karena ia mengadopsi Zayd sebelum ia diangkat sebagai seorang nabi Muslim”. Itulah alasan utama mengapa adopsi tidak sah dalam negara-negara Islam. Sebagai tambahan, Rihannah adalah seorang wanita cantik yang sudah menikah ketika suaminya dipenggal oleh bandit-bandit nabi Islam dan ia dibawa ke tempat tidur nabi pada malam itu juga. Para wanita itu bukanlah janda. Sebenarnya mereka mempunyai wali yang mengurus mereka.
Ketika saya membaca kisah-kisah seperti ini, otak saya rasanya meledak. Bagaimana mungkin ada begitu banyak orang di dunia ini yang menjadi pengikut seorang yang doyan perempuan dan suka melecehkan anak-anak secara seksual? Teganya kakek saya menjadikan saya seorang Muslim ketika saya masih berusia 6 hari supaya saya menjadi pengikut seorang penjahat seperti itu? Lalu saya sampai pada kesimpulan bahwa kakek saya tidak tahu apa-apa soal itu. Atau sebaliknya, seandainya pun ia tahu, itu karena ia sendiri juga telah dibesarkan dalam budaya yang biadab seperti itu dan tidak tahu menahu apapun yang lebih baik dari pada itu.
Ketika putra saya lahir, saya tidak memberinya agama apapun. Saya tidak memberinya pendidikan agama apapun tentang Tuhan dan nabi-nabi-Nya. Juga, saya tidak menyunat anak saya. Iman saya kepada Allah sudah habis sama sekali pada 1 April 1979, menyusul berdirinya Republik Islami atau pemerintahan Allah, di negeri kelahiran saya, Iran – ketika negara itu mengalami kembalinya ke jaman kegelapan oleh karena kemudian ditegakkannya hukum-hukum Islam. Para wanita adalah yang pertama-tama menjadi korban dari regresi. Pergumulan lebih dari 130 tahun ditinggalkan begitu saja oleh para pemerintah religius abad pertengahan. Dengan dirampasnya hak-hak konstitusionalnya, para wanita secara sosial diturunkan derajatnya menjadi makhluk terendah dan warga negara kelas dua.
Pada bulan Maret 1979, Khomeini memberlakukan jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme dan korupsi. Ia mengumumkan bahwa “wanita tidak boleh memasuki kementrian Republik Islam tanpa tudung kepala. Mereka boleh tetap bekerja jika mereka mengenakan jilbab” (Kayhan, Maret 1979).
Kementrian Pendidikan menentukan warna dan gaya berpakaian yang cocok untuk para siswi (hitam, lurus, dan dan tertutup dari kepala sampai kaki untuk anak-anak usia terkecil 6 tahun). Untuk membungkam pemberontakan para wanita, pemerintah membentuk sebuah unit khusus. Patroli-patroli mengontrol apakah para wanita melaksanakan kebiasaan Islami itu di jalan-jalan. Pemerintahan Islam berjalan lebih jauh lagi. Selama 28 tahun terakhir ini, kondisi wanita terus menurun. Namun demikian, di balik penganiayaan (dicambuk, dilempari batu, dipenjara, dan pemisahan total), para wanita Iran tidak pernah berhenti berjuang. Di bawah pemerintahan Islam, hukum perlindungan keluarga dirobohkan. Poligami ditegakkan kembali. Republik Islam berketetapan untuk mendukung praktek poligami. Di bawah Republik Islam, pernikahan sementara disetujui. Konsekuensinya, seorang pria dapat menikahi 4 istri permanen dan mempunyai sebanyak mungkin istri “sementara” menurut keinginannya. “Banyak orang Eropa mempunyai wanita simpanan. Mengapa kita harus menekan insting manusia? Seekor ayam jago memuaskan banyak ayam betina, seekor kuda jantan memuaskan banyak kuda betina. Seorang wanita tidak dapat (berhubungan seks) selama suatu periode tertentu sedangkan pria selalu aktif”. Ayatollah Ghomi, Le Monde, 20 Januari 1979.
“Tugas spesifik wanita dalam masyarakat ini adalah menikah dan melahirkan anak. Mereka akan dihalangi untuk duduk dalam badan legislatif, yudikatif, atau karir apapun yang membutuhkan pengambilan keputusan, karena wanita kurang dalam kemampuan intelektual dan memberikan penilaian yang diperlukan dalam karir-karir ini. Ayatollah Mutahar, (salah satu pemimpin ideologi Republik Islam Iran), dalam buku “Mempertanyakan Kerudung”, mengatakatan bahwa kesaksian seorang pria sama dengan kesaksian dua wanita”.
Berdasarkan klausa 33 dan 91 dalam hukum, qisas (Rancangan Undang-Undang Retribusi Islam), dan batasan-batasannya, nilai seorang saksi wanita hanya dianggap separoh daripada pria. Berdasarkan Undang-Undang Hukum Islam yang dipraktekkan oleh rejim Islam Iran saat ini,”Seorang wanita hanya berharga separoh dari pria”.
Berdasarkan klausa 6 dan Hukum Retribusi dan Penghukuman,”Jika seorang wanita membunuh seorang pria, keluarga pria itu berhak menagih sejumlah uang kepada kerabat terdekat sebagai kompensasi adanya pembunuhan seorang kerabat. Namun, jika seorang pria membunuh seorang wanita, si pembunuh ini harus, sebelum ganti rugi, membayar setengah dari jumlah/nilai dari darah seorang pria kepada wali wanita itu”.
Pada tahun 1991, jaksa Penuntut Umum Iran mengumumkan bahwa “orang yang menolak peraturan tentang jilbab adalah seorang bidat/sesat dan hukuman bagi seorang bidat menurut hukum Islam adalah hukuman mati”. Anak-anak gadis yang dihukum mati tidak akan menjalani hukuman itu selama mereka masih perawan. Oleh karena itu mereka diperkosa secara sistematis sebelum hukuman itu dilaksanakan. Sementara itu, sebuah laporan dari Perwakilan Khusus Komisi Hak-hak Azasi Manusia dari PBB di Republik Islam Iran pada tahun 1992 menyatakan:
“Memperkosa narapidana wanita, terutama gadis-gadis perawan, yang dituduh menentang rejim, adalah sebuah praktek normal dan dilakukan setiap hari di penjara-penjara Republik Islam, dan dengan melakukan hal itu, para ulama mengumumkan bahwa mereka menaati nilai-nilai dari prinsip dan hukum islami, yaitu mencegah seorang anak perawan untuk masuk surga. Para Mullah percaya bahwa mereka adalah adalah makhluk-makhluk yang tidak saleh dan mereka pantas diperlakukan demikian, oleh karena itu mereka diperkosa agar dapat dipastikan bahwa mereka akan dikirim ke neraka”.
Bukti lebih jauh lagi mengenai perlakukan terhadap wanita terdapat dalam artikel 115 dalam Konstitusi Islam yang dengan jelas menyatakan bahwa presiden negara itu harus dipilih dari semua pria yang takut kepada Allah dan berdedikasi; ini berarti bahwa wanita tidak dapat menjadi presiden atau menduduki jabatan Valiat-e-Faghih (pemimpin keagamaan) atau menduduki posisi sebagai pemimpin dalam sebuah negara Muslim.
Para wanita Islam dicegah menikahi orang asing kecuali mereka mendapatkan ijin dari Kementerian Interior. Menteri dari Direktur Jenderal Interior untuk Urusan Warga negara Asing dan Imigran, Ahmad Hosseini, pada 30 Maret 1991, menyatakan: “Pernikahan antara wanita Iran dengan pria asing akan mendatangkan banyak masalah bagi para wanita ini dan anak-anak mereka di masa yang akan datang, karena pernikahan mereka dipandang tidak sah. Registrasi religius untuk pernikahan semacam itu tidak akan dianggap sebagai dokumentasi yang memadai untuk menyediakan pelayanan legal bagi keluarga-keluarga ini”. Juga, ”Para wanita yang sudah menikah tidak diijinkan untuk pergi keluar negeri tanpa adanya ijin tertulis dari suami mereka”.
Sebagai tambahan, laporan-laporan terakhir dari berbagai oragnisasi internasional seperti Amnesti Internasional dan Komisi Hak Azasi PBB memberikan gambaran yang jelas mengenai pelanggaran-pelanggaran hak-hak azasi yang dialami para wanita Iran, demikian juga pria dan anak-anak. Satu-satunya hal yang diberikan Republik Islam kepada orang-orang Iran hanyalah kemiskinan dan kesengsaraan. Saya bertanya-tanya mengapa Allah membuang mereka? Pada masa revolusi Khomeini mengatakan kepada orang-orang bahwa Allah ada di pihak mereka. Jika inilah yang akan kita dapatkan oleh karena Allah ada di pihak kita, saya sangat berbahagia karena saya tidak memiliki Tuhan seperti yang disebutkan oleh Khomeini.
Parvin Darabi
Presiden, Yayasan Dr. Homa Darabi (www.homa.org)
Pengarang pendamping dari Rage Against The Veil, Prometheus Books, 1999
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 2 - Mengapa Saya Meninggalkan Islam?
“Saya teringat pada satu kesempatan di Betlehem ketika para penonton yang penuh sesak di sebuah bioskop bertepuk-tangan dengan sukacita saat menonton film 21 Hari di Munich. Saat kami melihat orang-orang Palestina ...membunuh atlet-atlet Israel, kami...berteriak,’Allahu Akbar!’ Sebuah slogan sukacita”.
Salah-satu kekuatan yang paling dahsyat di dunia adalah kesaksian yang mengubah hidup. Sebagaimana Parvin dan Homa Darabi, Walid Shoebat juga mengalami jahatnya terorisme karena ia pernah menjalaninya – pada kenyataannya, ia mempraktekkannya. Sewaktu remaja, ia membom sebuah bank di Tanah Suci dan turut serta memukuli seorang tentara Israel. Ketika istrinya yang beragama katolik menantangnya untuk mempelajari Alkitab, hatinya yang keras kemudian menjadi lembut saat ia belajar tentang anugerah, rekonsiliasi, dan kasih yang diberikan melalui pengorbanan Yesus Kristus. Sekarang Walid menyerukan perlunya toleransi beragama dan kebebasan pribadi. Dan ia berusaha keras, berjalan dari seorang teroris menjadi seorang yang anti teroris.
Kisah Walid Shoebat dengan tajam menunjukkan pada kita apa yang akan terjadi di lingkungan kita jika kita tidak menghentikan terorisme Islam. Ia meninggalkan Islam dengan alasan yang jelas: Islam menghasilkan kekerasan. Ia takut jika kita yang hidup di dunia Barat dan negara-negara non-Muslim lainnya tidak bersatu sekarang, kita akan menghadapi kekerasan Islam yang lebih dahsyat di kemudian hari. Saat itu terjadi, itu tidak terjadi di suatu tempat di seberang lautan – itu akan terjadi di dalam komunitas kita sendiri.
Mengapa Saya Meninggalkan Islam
Saya lahir dan dibesarkan di Beit Sahour, Betlehem, di Tepi Barat, dalam sebuah keluarga berada. Kakek dari pihak ayah saya adalah seorang mukhtar, atau kepala suku, di desa itu. Ia adalah sahabat dari Haj-Ameen Al-Husseini, Mufti Agung Yerusalem dan sahabat dekat Adolf Hitler. Kakek dari pihak ibu saya, F.W.Georgeson, di sisi lain, adalah sahabat dekat Winston Churchill, dan pendukung keras terbentuknya negara Israel, walau saya tidak terlalu menyadari akan hal ini sampai bertahun-tahun kemudian dalam hidup saya. Saya dilahirkan pada salah satu hari raya penting Islam, yaitu hari kelahiran Nabi Muhammad. Ini adalah suatu kehormatan besar untuk ayah saya. Untuk merayakan hari itu, ia menamai saya Walid, yang berasal dari kata bahasa Arab mauled, yang artinya “kelahiran”. Itu adalah cara ayah saya untuk mengingat kenyataan bahwa putranya dilahirkan pada hari yang sama dengan kelahiran nabi terakhir dan terbesar dari semua nabi.
Ayah saya adalah seorang Muslim Palestina yang mengajar bahasa Inggris dan studi Islam di Tanah Suci. Ibu saya adalah seorang Amerika yang menikahi ayah saya pada tahun 1956 ketika ayah saya sedang studi di Amerika. Karena mereka takut akan pengaruh dari gaya hidup Amerika terhadap anak-anak mereka, saat ibu saya sedang mengandung saya, orang-tua saya pindah ke Betlehem, yang pada waktu itu adalah bagian dari Yordania. Itu terjadi pada tahun 1960. Tak lama setelah orang-tua saya tiba di Betlehem, saya dilahirkan. Ketika ayah saya berganti pekerjaan, kami pindah ke Arab Saudi dan kemudian kembali ke Tanah Suci – kali ini ke dataran terendah di muka bumi: Yerikho. Saya dibesarkan dan belajar bagaimana membenci namun diselamatkan melalui teladan mengasihi yang ditunjukkan oleh ibu saya yang adalah orang Amerika, yang paham soal belas kasih, keadilan, dan kebebasan.
Saya tidak pernah melupakan lagu pertama yang saya pelajari di sekolah. Judulnya adalah “Orang-orang Arab Kekasih Kami dan Orang-orang Yahudi Anjing-anjing Kami”. Waktu itu saya baru berumur 7 tahun. Saya ingat waktu itu saya bertanya-tanya siapakah orang Yahudi itu, namun bersama dengan teman-teman sekelas saya, saya mengulangi kata-kata itu tanpa benar-benar memahami apa arti yang sebenarnya.
Saya dibesarkan di Tanah Suci, saya mengalami beberapa pertempuran antara Arab dan Yahudi. Pertempuran pertama, ketika kami masih tinggal di Yerikho, adalah Pertempuran Enam Hari, ketika orang Yahudi menaklukkan Yerusalem tua dan sisa “Palestina”. Sulit sekali menggambarkan betapa hal ini sangat mengecewakan dan mempermalukan orang Arab dan kaum Muslim di seluruh dunia.
Konsul Amerika di Yerusalem datang ke desa kami tidak lama sebelum perang itu terjadi untuk mengevakuasi semua orang Amerika di wilayah itu. Oleh karena ibu saya adalah orang Amerika, mereka menawarkan bantuan kepada kami, tapi ayah saya menolak bantuan apapun dari mereka, karena ia mencintai negerinya. Saya masih ingat banyak hal selama perang itu – suara ledakan bom yang berlangsung berhari-hari dan bermalam-malam selama 6 hari, penjarahan toko-toko dan rumah-rumah oleh orang-orang Arab di Yerikho, orang-orang mengungsi menyeberangi Sungai Yordan karena takut terhadap orang Israel.
Perang itu dinamai demikian karena hanya berlangsung dalam 6 hari. Orang Israel memperoleh kemenangan atas pasukan multi-nasional Arab yang menyerang dari banyak front. Hanya pada hari ke-7 peperangan ini, Rabbi Shalom Goren, ketua rohaniwan pasukan Pertahanan Israel, mengeluarkan pernyataan yang bergema di shofar, mengumumkan kontrol Yahudi atas Tembok Barat dan kota tua Yerusalem. Banyak orang Yahudi menghubungkan peristiwa ini paralel dengan kejadian yang dicatat dalam Alkitab ketika Yosua dan bangsa Israel menaklukkan Yerikho. Yosua dan orang Israel mengelilingi tembok Yerikho selama 6 hari, dan pada hari yang ke-7, mereka mengelilingi tembok itu 7 kali. Para imam membunyikan shofar bersamaan dengan orang-orang Israel berteriak dengan satu suara. Tembok pun roboh dan orang Israel menguasai kota itu.
Seusai perang, bagi ayah saya di Yerikho, seakan-akan tembok itu telah roboh langsung menimpanya. Selama perang, ia duduk lengket dengan radio mendengarkan stasiun radio Yordan. Ia selalu berkata bahwa orang-orang Arab akan memenangkan perang itu – tapi ia mendengarkan stasiun radio yang salah. Stasiun radio Israel mengabarkan kebenaran mengenai kemenangan telak mereka. Namun ayah saya memilih untuk mempercayai orang Arab yang mengklaim bahwa orang-orang Israel – selalu – berbohong, mengumumkan propaganda palsu. Banyak diantara kita sekarang yang tentunya masih ingat menteri informasi Saddam, yang dikenal dengan “Baghdad Bob”, dan semua klaim liar dan laporan palsu yang diteriakkannya beberapa hari setelah kejatuhan Baghdad? Dalam dunia Islam, nampaknya ada hal-hal yang tidak pernah berubah.
Kemudian, pindah kembali ke Betlehem, dan ayah saya memasukkan kami ke sebuah sekolah Anglikan-Lutheran agar dapat menguasai pelajaran-pelajaran bahasa Inggris. Saudara saya laki-laki dan perempuan, dan saya sendiri adalah satu-satunya orang Muslim di sekolah itu. Kami bertiga dibenci. Terutama bukan karena kami orang Muslim, tetapi karena kami setengah Amerika. Walaupun itu adalah sekolah Kristen, sekolah itu masih memiliki jejak kekristenan yang berwarna Islam yang mempengaruhi banyak orang Kristen Palestina hingga saat ini. Agar dapat diterima – dan kadangkala hanya supaya bisa tetap hidup – banyak orang Kristen di negara-negara yang didominasi Islam mengadopsi sikap benci yang dimiliki orang Muslim di sekeliling mereka terhadap Israel, Amerika dan dunia Barat. Karena kami separoh Amerika, guru-guru seringkali memukuli kami sementara murid-murid Kristen menertawakan hal itu.
Akhirnya, ayah saya memindahkan saya ke sekolah pemerintah dimana saya mulai bertumbuh kuat dalam Islam. Saya diajari bahwa suatu hari penggenapan sebuah nubuat kuno oleh Nabi Muhammad akan terjadi. Nubuat ini menceritakan suatu peperangan dimana Tanah Suci akan kembali ditaklukkan Islam dan eliminasi orang Yahudi akan terjadi dalam sebuah pembantaian massal. Nubuat ini ditemukan dalam banyak buku suci tradisi Islam yang dikenal dengan Sahih Hadith. Tradisi ini berbunyi sebagai berikut, dan merupakan pola pikir semua pengikut Islam radikal”
“[Muhammad berkata:] Saat terakhir tidak akan datang kecuali orang Muslim memerangi orang Yahudi dan orang Muslim akan membunuh mereka hingga orang Yahudi menyembunyikan diri di balik batu atau pohon dan berkata: Muslim, atau hamba Allah, ada orang Yahudi di belakang saya; datang dan bunuhlah dia; tetapi pohon Gharqad tidak akan berkata, karena itu adalah pohon orang Yahudi”. (Sahih Muslim Buku 041, Nomor 6985). Jika ditanya dimana pembantaian itu akan dilaksanakan, tradisi mengatakan bahwa itu akan terjadi di “Yerusalem dan daerah sekelilingnya”.
Selama masa remaja saya, seperti ayah, saya selalu menyesuaikan diri dengan Islam dan apa saja yang diajarkan guru-guru Muslim kepada kami. Saya, seperti halnya teman-teman sekelas saya pada umumnya, sangat terinspirasi oleh visi Muhammad yang gelap dan penuh darah. Saya menyerahkan hidup saya untuk jihad, atau perang suci, untuk memenuhi penggenapan nubuat ini. Saya ingin menjadi bagian dari tercapainya rencana Muhammad, ketika Islam akan memperoleh kemenangan terakhir atas orang Yahudi dan akhirnya – tanpa halangan lagi – memerintah dunia. Ini adalah ideologi para mentor saya, dan ketika saya telah meninggalkan paham fanatik ini, jutaan orang di Timur Tengah masih mempercayainya, dan mereka masih berjuang untuk menjadikannya sebuah realita.
Selama masa remaja saya, sering ada kerusuhan di sekolah menentang apa yang kami sebut sebagai pendudukan Israel. Sedapat-dapatnya saya berperan sebagai penghasut dan penggerak. Saya bersumpah untuk memerangi musuh Yahudi, percaya bahwa dengan melakukannya saya sedang melakukan kehendak Tuhan di atas bumi. Saya tetap setia pada sumpah saya saat saya memerangi tentara Israel dalam setiap kerusuhan. Saya menggunakan berbagai alat yang ada untuk menghasilkan kerusakan dan sakit yang sebesar-besarnya. Saya berunjuk rasa di sekolah, di jalanan, dan bahkan di Temple Mount di Yerusalem. Selama sekolah menengah, saya adalah pemimpin aktivis yang memperjuangkan Islam. Saya akan mempersiapkan pidato-pidato, slogan-slogan, dan menulis grafiti anti Israel sebagai usaha untuk memprovokasi murid-murid lain untuk melempari tentara-tentara Israel yang bersenjata dengan batu. Gema bergemuruh teriakan-teriakan kami masih jelas dalam ingatan saya:
Tidak ada damai atau negosiasi dengan musuh!
Darah dan jiwa kami kurbankan untuk Arafat!
Darah dan jiwa kami kurbankan untuk Palestina!
Matilah Zionis!
Impian saya adalah untuk mati sebagai sahid, seorang martir untuk Islam. Pada saat berunjuk rasa saya akan membuka baju saya berharap untuk ditembak, tetapi karena orang Israel tidak pernah menembaki tubuh, saya tidak pernah berhasil. Ketika gambar-gambar sekolah diambil, saya dengan sengaja berpose dengan wajah yang cemberut mengantisipasi bahwa pada koran berikut wajah sayalah yang akan dimuat sebagai martir berikutnya. Banyak kali saya hampir terbunuh waktu unjuk rasa siswa dan kerusuhan dengan tentara Israel. Jantung saya berdebam; tak ada yang dapat menyingkirkan keinginan saya –kebencian dan kemarahan saya – selain dari mujizat. Saya adalah salah seorang dari orang-orang muda yang mungkin anda lihat di CNN melempar batu dan bom molotov pada hari-hari Intifada atau “kebangkitan”. Pada waktu itu, saya akan membenci label itu; tapi sebenarnya saya adalah seorang teroris muda. Pencucian otak dengan paham Islam-Nazi oleh para guru dan imam – dalam keseluruhan budaya saya – mencapai pengaruh yang dicita-citakannya.
Apa yang saya ketahui sekarang adalah bahwa saya tidak hanya meneror orang lain, tetapi dalam banyak hal, saya sedang meneror diri saya sendiri dengan apa yang saya percayai. Perjuangan utama saya adalah untuk mendapatkan nilai yang cukup – untuk membangun catatan teror yang hebat – agar disukai Allah. Saya hidup dengan takut akan penghakiman dan neraka dan berpikir bahwa hanya dengan bersikap jahat seperti itu saya mempunyai kesempatan untuk masuk janna (surga, atau nirwana). Saya tidak pernah yakin bahwa semua “perbuatan baik” saya dapat melebihi perbuatan-perbuatan jahat saya jika ditimbang pada Hari Penghakiman. Saya tidak hanya digerakkan oleh kemarahan dan kebencian, tetapi juga oleh rasa tidak aman dan ketakutan secara spiritual. Saya percaya pada apa yang telah diajarkan pada saya: cara yang paling pasti untuk meredakan kemarahan Allah terhadap dosa-dosa saya adalah dengan mati memerangi orang Yahudi. Mungkin, jika saya berhasil, saya akan diberi pahala tempat khusus di Surga dimana wanita-wanita cantik bermata besar akan memenuhi hasrat saya yang terdalam.
Sulit untuk menggambarkan sampai pada tahap seperti apa pencucian otak yang dialami orang seperti saya, yang dibesarkan di bawah sistem pendidikan Palestina. Semua pihak berotoritas menyuarakan pesan yang sama: pesan Islam – jihad atau kebencian terhadap orang Yahudi – dan hal-hal yang seharusnya tidak berkuasa atas pikiran orang muda.
Saya teringat satu kejadian di Sekolah Menengah Dar-Jaser di Betlehem saat sedang studi tentang Islam, ketika salah seorang teman kelas saya bertanya kepada guru apakah seorang Muslim diijinkan memperkosa wanita Yahudi setelah mengalahkan mereka. Jawabannya adalah, ”Wanita yang ditangkap dalam pertempuran tidak mempunyai pilihan dalam hal ini, mereka adalah gundik-gundik dan mereka harus menaati tuannya. Berhubungan seks dengan budak tawanan bukanlah “sebuah pilihan bagi para budak”. Ini bukanlah pendapat guru itu semata-mata, tetapi jelas sekali diajarkan di dalam Qur’an:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu”. Surah 4:24
Dan juga dikatakan dalam Qur’an:
“Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin”. Surah 33:50.
Kami tidak mempermasalahkan soal Muhammad mengambil keuntungan dari hak istimewa ini saat ia menikahi sekitar 14 istri dan mempunyai beberapa budak wanita yang dikumpulkannya sebagai rampasan beberapa perang yang dimenangkannya. Kami tidak benar-benar tahu berapa banyak istri yang dimilikinya dan pertanyaan itu senantiasa merupakan hal yang kami perdebatkan. Salah seorang dari istri-istrinya diambil dari anak angkatnya sendiri, yaitu Zayd. Setelah Zayd menikahi wanita itu, Muhammad tertarik padanya. Zayd memberikannya kepada Muhammad, tetapi Muhammad tidak menerima pemberian Zayd itu hingga turunlah wahyu dari Allah. Istri-istri Muhammad yang lainnya adalah para tawanan Yahudi yang dipaksa menjadi budak setelah Muhammad memenggal kepala para suami dan keluarga mereka. Inilah hal-hal yang kami pelajari dalam studi kami mengenai Islam di sekolah menengah. Inilah orang yang harus kami teladani dalam segala hal. Inilah nabi kami, dan dari dia dan perkataannyalah kami belajar untuk membenci orang Yahudi.
Saya teringat pada satu kesempatan di Betlehem ketika para penonton yang penuh sesak di sebuah bioskop bertepuk tangan dengan sukacita saat mereka menyaksikan film 21 Hari di Munich. Saat kami menyaksikan orang-orang Palestina melempar granat ke dalam helikopter dan membunuh para atlet Israel, kami semua – ratusan penonton – berteriak, “Allahu akbar!” sebuah slogan sukacita.
Dalam suatu usaha untuk mengubah hati orang Palestina, stasiun televisi Israel menayangkan film dokumentasi mengenai Holocaust. Saya duduk dan menonton, menyoraki orang Jerman sambil makan pop corn. Hati saya begitu keras, mustahil bagi saya untuk mengubah sikap saya terhadap orang Yahudi, kecuali melalui “pencangkokan hati”.
Oleh karena kemurahan Tuhan, saya memiliki sesuatu yang hanya dimiliki oleh sedikit dari teman-teman sekelas saya. Saya mempunyai seorang ibu yang berbelas kasih dan memiliki suara yang lembut – dengan sabar berusaha menggapai saya di tengah-tengah hiruk pikuk suara kebencian yang menulikan di sekitar saya. Ia berusaha mengajari saya di rumah tentang apa yang disebutnya dengan “rencana yang lebih baik”. Namun demikian, pada waktu itu apa yang diajarkannya hanya berdampak sedikit pada saya, karena tekad saya sudah teguh – saya akan hidup atau mati memerangi orang Yahudi. Tetapi seorang ibu tidak pernah menyerah.
Saya tidak menyadarinya waktu itu, tetapi ibu saya telah dipengaruhi oleh sepasang misionaris Amerika. Ia bahkan telah dengan diam-diam meminta mereka untuk membaptisnya. Namun, ketika ia menolak untuk dibaptis di kolam yang penuh dengan ganggang hijau, pendeta misionaris itu harus meminta YMCA di Yerusalem untuk mengosongkan kolam yang dikhususkan untuk pria, dan kemudian ibu saya dibaptis disana. Tak seorang pun anggota keluarga kami mengetahuinya.
Seringkali ibu mengajak saya mengunjungi berbagai museum di Israel. Ini berdampak positif pada saya dan saya jatuh cinta pada arkeologi. Saya terpesona pada arkeologi. Dalam banyak argumentasi saya dengan ibu, secara langsung saya katakan padanya bahwa orang Yahudi dan orang Kristen telah berubah dan memalsukan Alkitab. Ia menanggapinya dengan membawa saya ke Museum Gulungan Kitab di Yerusalem dimana ibu menunjukkan pada saya gulungan kuno kitab Yesaya – masih utuh. Ibu saya berhasil menyampaikan argumennya tanpa berkata-kata. Walaupun ibu berusaha mencapai saya dengan sabar dan lembut, saya tidak tergoyahkan. Saya akan menyiksanya dengan hinaan. Saya menyebutnya seorang “kafir” yang mengklaim bahwa Yesus adalah Anak Tuhan dan saya menyebut ibu “seorang penjajah terkutuk Amerika”. Saya menunjukkan padanya gambar-gambar di suratkabar tentang semua remaja Palestina yang telah menjadi “martir” sebagai akibat dari perselisihan dengan tentara Israel dan saya menuntut ibu untuk memberikan jawaban. Saya membencinya dan meminta ayah untuk menceraikannya dan menikahi seorang wanita Muslim yang baik.
Di samping semua hal ini, ibulah – ketika saya dijebloskan ke Penjara Muscovite di Yerusalem – yang pergi ke konsulat Amerika di Yerusalem dan berusaha untuk mengeluarkan saya. Penjara Muscovite dulunya adalah kamp Rusia yang digunakan sebagai penjara pusat di Yerusalem bagi mereka yang kepergok menghasut orang untuk melakukan kekerasan terhadap Israel. Ibuku yang kekasih sangat kuatir akan arah hidup yang saya ambil sehingga rambutnya mulai rontok. Kekuatirannya bukannya tanpa alasan. Selama saya di penjara saya menjadi anggota kelompok teror Fatah milik Yasser Arafat. Tak lama kemudian, saya direkrut oleh seorang pembuat bom yang sangat terkenal dari Yerusalem yang bernama Mahmoud Al-Mughrabi.
“Saya teringat pada satu kesempatan di Betlehem ketika para penonton yang penuh sesak di sebuah bioskop bertepuk-tangan dengan sukacita saat menonton film 21 Hari di Munich. Saat kami melihat orang-orang Palestina ...membunuh atlet-atlet Israel, kami...berteriak,’Allahu Akbar!’ Sebuah slogan sukacita”.
Salah-satu kekuatan yang paling dahsyat di dunia adalah kesaksian yang mengubah hidup. Sebagaimana Parvin dan Homa Darabi, Walid Shoebat juga mengalami jahatnya terorisme karena ia pernah menjalaninya – pada kenyataannya, ia mempraktekkannya. Sewaktu remaja, ia membom sebuah bank di Tanah Suci dan turut serta memukuli seorang tentara Israel. Ketika istrinya yang beragama katolik menantangnya untuk mempelajari Alkitab, hatinya yang keras kemudian menjadi lembut saat ia belajar tentang anugerah, rekonsiliasi, dan kasih yang diberikan melalui pengorbanan Yesus Kristus. Sekarang Walid menyerukan perlunya toleransi beragama dan kebebasan pribadi. Dan ia berusaha keras, berjalan dari seorang teroris menjadi seorang yang anti teroris.
Kisah Walid Shoebat dengan tajam menunjukkan pada kita apa yang akan terjadi di lingkungan kita jika kita tidak menghentikan terorisme Islam. Ia meninggalkan Islam dengan alasan yang jelas: Islam menghasilkan kekerasan. Ia takut jika kita yang hidup di dunia Barat dan negara-negara non-Muslim lainnya tidak bersatu sekarang, kita akan menghadapi kekerasan Islam yang lebih dahsyat di kemudian hari. Saat itu terjadi, itu tidak terjadi di suatu tempat di seberang lautan – itu akan terjadi di dalam komunitas kita sendiri.
Mengapa Saya Meninggalkan Islam
Saya lahir dan dibesarkan di Beit Sahour, Betlehem, di Tepi Barat, dalam sebuah keluarga berada. Kakek dari pihak ayah saya adalah seorang mukhtar, atau kepala suku, di desa itu. Ia adalah sahabat dari Haj-Ameen Al-Husseini, Mufti Agung Yerusalem dan sahabat dekat Adolf Hitler. Kakek dari pihak ibu saya, F.W.Georgeson, di sisi lain, adalah sahabat dekat Winston Churchill, dan pendukung keras terbentuknya negara Israel, walau saya tidak terlalu menyadari akan hal ini sampai bertahun-tahun kemudian dalam hidup saya. Saya dilahirkan pada salah satu hari raya penting Islam, yaitu hari kelahiran Nabi Muhammad. Ini adalah suatu kehormatan besar untuk ayah saya. Untuk merayakan hari itu, ia menamai saya Walid, yang berasal dari kata bahasa Arab mauled, yang artinya “kelahiran”. Itu adalah cara ayah saya untuk mengingat kenyataan bahwa putranya dilahirkan pada hari yang sama dengan kelahiran nabi terakhir dan terbesar dari semua nabi.
Ayah saya adalah seorang Muslim Palestina yang mengajar bahasa Inggris dan studi Islam di Tanah Suci. Ibu saya adalah seorang Amerika yang menikahi ayah saya pada tahun 1956 ketika ayah saya sedang studi di Amerika. Karena mereka takut akan pengaruh dari gaya hidup Amerika terhadap anak-anak mereka, saat ibu saya sedang mengandung saya, orang-tua saya pindah ke Betlehem, yang pada waktu itu adalah bagian dari Yordania. Itu terjadi pada tahun 1960. Tak lama setelah orang-tua saya tiba di Betlehem, saya dilahirkan. Ketika ayah saya berganti pekerjaan, kami pindah ke Arab Saudi dan kemudian kembali ke Tanah Suci – kali ini ke dataran terendah di muka bumi: Yerikho. Saya dibesarkan dan belajar bagaimana membenci namun diselamatkan melalui teladan mengasihi yang ditunjukkan oleh ibu saya yang adalah orang Amerika, yang paham soal belas kasih, keadilan, dan kebebasan.
Saya tidak pernah melupakan lagu pertama yang saya pelajari di sekolah. Judulnya adalah “Orang-orang Arab Kekasih Kami dan Orang-orang Yahudi Anjing-anjing Kami”. Waktu itu saya baru berumur 7 tahun. Saya ingat waktu itu saya bertanya-tanya siapakah orang Yahudi itu, namun bersama dengan teman-teman sekelas saya, saya mengulangi kata-kata itu tanpa benar-benar memahami apa arti yang sebenarnya.
Saya dibesarkan di Tanah Suci, saya mengalami beberapa pertempuran antara Arab dan Yahudi. Pertempuran pertama, ketika kami masih tinggal di Yerikho, adalah Pertempuran Enam Hari, ketika orang Yahudi menaklukkan Yerusalem tua dan sisa “Palestina”. Sulit sekali menggambarkan betapa hal ini sangat mengecewakan dan mempermalukan orang Arab dan kaum Muslim di seluruh dunia.
Konsul Amerika di Yerusalem datang ke desa kami tidak lama sebelum perang itu terjadi untuk mengevakuasi semua orang Amerika di wilayah itu. Oleh karena ibu saya adalah orang Amerika, mereka menawarkan bantuan kepada kami, tapi ayah saya menolak bantuan apapun dari mereka, karena ia mencintai negerinya. Saya masih ingat banyak hal selama perang itu – suara ledakan bom yang berlangsung berhari-hari dan bermalam-malam selama 6 hari, penjarahan toko-toko dan rumah-rumah oleh orang-orang Arab di Yerikho, orang-orang mengungsi menyeberangi Sungai Yordan karena takut terhadap orang Israel.
Perang itu dinamai demikian karena hanya berlangsung dalam 6 hari. Orang Israel memperoleh kemenangan atas pasukan multi-nasional Arab yang menyerang dari banyak front. Hanya pada hari ke-7 peperangan ini, Rabbi Shalom Goren, ketua rohaniwan pasukan Pertahanan Israel, mengeluarkan pernyataan yang bergema di shofar, mengumumkan kontrol Yahudi atas Tembok Barat dan kota tua Yerusalem. Banyak orang Yahudi menghubungkan peristiwa ini paralel dengan kejadian yang dicatat dalam Alkitab ketika Yosua dan bangsa Israel menaklukkan Yerikho. Yosua dan orang Israel mengelilingi tembok Yerikho selama 6 hari, dan pada hari yang ke-7, mereka mengelilingi tembok itu 7 kali. Para imam membunyikan shofar bersamaan dengan orang-orang Israel berteriak dengan satu suara. Tembok pun roboh dan orang Israel menguasai kota itu.
Seusai perang, bagi ayah saya di Yerikho, seakan-akan tembok itu telah roboh langsung menimpanya. Selama perang, ia duduk lengket dengan radio mendengarkan stasiun radio Yordan. Ia selalu berkata bahwa orang-orang Arab akan memenangkan perang itu – tapi ia mendengarkan stasiun radio yang salah. Stasiun radio Israel mengabarkan kebenaran mengenai kemenangan telak mereka. Namun ayah saya memilih untuk mempercayai orang Arab yang mengklaim bahwa orang-orang Israel – selalu – berbohong, mengumumkan propaganda palsu. Banyak diantara kita sekarang yang tentunya masih ingat menteri informasi Saddam, yang dikenal dengan “Baghdad Bob”, dan semua klaim liar dan laporan palsu yang diteriakkannya beberapa hari setelah kejatuhan Baghdad? Dalam dunia Islam, nampaknya ada hal-hal yang tidak pernah berubah.
Kemudian, pindah kembali ke Betlehem, dan ayah saya memasukkan kami ke sebuah sekolah Anglikan-Lutheran agar dapat menguasai pelajaran-pelajaran bahasa Inggris. Saudara saya laki-laki dan perempuan, dan saya sendiri adalah satu-satunya orang Muslim di sekolah itu. Kami bertiga dibenci. Terutama bukan karena kami orang Muslim, tetapi karena kami setengah Amerika. Walaupun itu adalah sekolah Kristen, sekolah itu masih memiliki jejak kekristenan yang berwarna Islam yang mempengaruhi banyak orang Kristen Palestina hingga saat ini. Agar dapat diterima – dan kadangkala hanya supaya bisa tetap hidup – banyak orang Kristen di negara-negara yang didominasi Islam mengadopsi sikap benci yang dimiliki orang Muslim di sekeliling mereka terhadap Israel, Amerika dan dunia Barat. Karena kami separoh Amerika, guru-guru seringkali memukuli kami sementara murid-murid Kristen menertawakan hal itu.
Akhirnya, ayah saya memindahkan saya ke sekolah pemerintah dimana saya mulai bertumbuh kuat dalam Islam. Saya diajari bahwa suatu hari penggenapan sebuah nubuat kuno oleh Nabi Muhammad akan terjadi. Nubuat ini menceritakan suatu peperangan dimana Tanah Suci akan kembali ditaklukkan Islam dan eliminasi orang Yahudi akan terjadi dalam sebuah pembantaian massal. Nubuat ini ditemukan dalam banyak buku suci tradisi Islam yang dikenal dengan Sahih Hadith. Tradisi ini berbunyi sebagai berikut, dan merupakan pola pikir semua pengikut Islam radikal”
“[Muhammad berkata:] Saat terakhir tidak akan datang kecuali orang Muslim memerangi orang Yahudi dan orang Muslim akan membunuh mereka hingga orang Yahudi menyembunyikan diri di balik batu atau pohon dan berkata: Muslim, atau hamba Allah, ada orang Yahudi di belakang saya; datang dan bunuhlah dia; tetapi pohon Gharqad tidak akan berkata, karena itu adalah pohon orang Yahudi”. (Sahih Muslim Buku 041, Nomor 6985). Jika ditanya dimana pembantaian itu akan dilaksanakan, tradisi mengatakan bahwa itu akan terjadi di “Yerusalem dan daerah sekelilingnya”.
Selama masa remaja saya, seperti ayah, saya selalu menyesuaikan diri dengan Islam dan apa saja yang diajarkan guru-guru Muslim kepada kami. Saya, seperti halnya teman-teman sekelas saya pada umumnya, sangat terinspirasi oleh visi Muhammad yang gelap dan penuh darah. Saya menyerahkan hidup saya untuk jihad, atau perang suci, untuk memenuhi penggenapan nubuat ini. Saya ingin menjadi bagian dari tercapainya rencana Muhammad, ketika Islam akan memperoleh kemenangan terakhir atas orang Yahudi dan akhirnya – tanpa halangan lagi – memerintah dunia. Ini adalah ideologi para mentor saya, dan ketika saya telah meninggalkan paham fanatik ini, jutaan orang di Timur Tengah masih mempercayainya, dan mereka masih berjuang untuk menjadikannya sebuah realita.
Selama masa remaja saya, sering ada kerusuhan di sekolah menentang apa yang kami sebut sebagai pendudukan Israel. Sedapat-dapatnya saya berperan sebagai penghasut dan penggerak. Saya bersumpah untuk memerangi musuh Yahudi, percaya bahwa dengan melakukannya saya sedang melakukan kehendak Tuhan di atas bumi. Saya tetap setia pada sumpah saya saat saya memerangi tentara Israel dalam setiap kerusuhan. Saya menggunakan berbagai alat yang ada untuk menghasilkan kerusakan dan sakit yang sebesar-besarnya. Saya berunjuk rasa di sekolah, di jalanan, dan bahkan di Temple Mount di Yerusalem. Selama sekolah menengah, saya adalah pemimpin aktivis yang memperjuangkan Islam. Saya akan mempersiapkan pidato-pidato, slogan-slogan, dan menulis grafiti anti Israel sebagai usaha untuk memprovokasi murid-murid lain untuk melempari tentara-tentara Israel yang bersenjata dengan batu. Gema bergemuruh teriakan-teriakan kami masih jelas dalam ingatan saya:
Tidak ada damai atau negosiasi dengan musuh!
Darah dan jiwa kami kurbankan untuk Arafat!
Darah dan jiwa kami kurbankan untuk Palestina!
Matilah Zionis!
Impian saya adalah untuk mati sebagai sahid, seorang martir untuk Islam. Pada saat berunjuk rasa saya akan membuka baju saya berharap untuk ditembak, tetapi karena orang Israel tidak pernah menembaki tubuh, saya tidak pernah berhasil. Ketika gambar-gambar sekolah diambil, saya dengan sengaja berpose dengan wajah yang cemberut mengantisipasi bahwa pada koran berikut wajah sayalah yang akan dimuat sebagai martir berikutnya. Banyak kali saya hampir terbunuh waktu unjuk rasa siswa dan kerusuhan dengan tentara Israel. Jantung saya berdebam; tak ada yang dapat menyingkirkan keinginan saya –kebencian dan kemarahan saya – selain dari mujizat. Saya adalah salah seorang dari orang-orang muda yang mungkin anda lihat di CNN melempar batu dan bom molotov pada hari-hari Intifada atau “kebangkitan”. Pada waktu itu, saya akan membenci label itu; tapi sebenarnya saya adalah seorang teroris muda. Pencucian otak dengan paham Islam-Nazi oleh para guru dan imam – dalam keseluruhan budaya saya – mencapai pengaruh yang dicita-citakannya.
Apa yang saya ketahui sekarang adalah bahwa saya tidak hanya meneror orang lain, tetapi dalam banyak hal, saya sedang meneror diri saya sendiri dengan apa yang saya percayai. Perjuangan utama saya adalah untuk mendapatkan nilai yang cukup – untuk membangun catatan teror yang hebat – agar disukai Allah. Saya hidup dengan takut akan penghakiman dan neraka dan berpikir bahwa hanya dengan bersikap jahat seperti itu saya mempunyai kesempatan untuk masuk janna (surga, atau nirwana). Saya tidak pernah yakin bahwa semua “perbuatan baik” saya dapat melebihi perbuatan-perbuatan jahat saya jika ditimbang pada Hari Penghakiman. Saya tidak hanya digerakkan oleh kemarahan dan kebencian, tetapi juga oleh rasa tidak aman dan ketakutan secara spiritual. Saya percaya pada apa yang telah diajarkan pada saya: cara yang paling pasti untuk meredakan kemarahan Allah terhadap dosa-dosa saya adalah dengan mati memerangi orang Yahudi. Mungkin, jika saya berhasil, saya akan diberi pahala tempat khusus di Surga dimana wanita-wanita cantik bermata besar akan memenuhi hasrat saya yang terdalam.
Sulit untuk menggambarkan sampai pada tahap seperti apa pencucian otak yang dialami orang seperti saya, yang dibesarkan di bawah sistem pendidikan Palestina. Semua pihak berotoritas menyuarakan pesan yang sama: pesan Islam – jihad atau kebencian terhadap orang Yahudi – dan hal-hal yang seharusnya tidak berkuasa atas pikiran orang muda.
Saya teringat satu kejadian di Sekolah Menengah Dar-Jaser di Betlehem saat sedang studi tentang Islam, ketika salah seorang teman kelas saya bertanya kepada guru apakah seorang Muslim diijinkan memperkosa wanita Yahudi setelah mengalahkan mereka. Jawabannya adalah, ”Wanita yang ditangkap dalam pertempuran tidak mempunyai pilihan dalam hal ini, mereka adalah gundik-gundik dan mereka harus menaati tuannya. Berhubungan seks dengan budak tawanan bukanlah “sebuah pilihan bagi para budak”. Ini bukanlah pendapat guru itu semata-mata, tetapi jelas sekali diajarkan di dalam Qur’an:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu”. Surah 4:24
Dan juga dikatakan dalam Qur’an:
“Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin”. Surah 33:50.
Kami tidak mempermasalahkan soal Muhammad mengambil keuntungan dari hak istimewa ini saat ia menikahi sekitar 14 istri dan mempunyai beberapa budak wanita yang dikumpulkannya sebagai rampasan beberapa perang yang dimenangkannya. Kami tidak benar-benar tahu berapa banyak istri yang dimilikinya dan pertanyaan itu senantiasa merupakan hal yang kami perdebatkan. Salah seorang dari istri-istrinya diambil dari anak angkatnya sendiri, yaitu Zayd. Setelah Zayd menikahi wanita itu, Muhammad tertarik padanya. Zayd memberikannya kepada Muhammad, tetapi Muhammad tidak menerima pemberian Zayd itu hingga turunlah wahyu dari Allah. Istri-istri Muhammad yang lainnya adalah para tawanan Yahudi yang dipaksa menjadi budak setelah Muhammad memenggal kepala para suami dan keluarga mereka. Inilah hal-hal yang kami pelajari dalam studi kami mengenai Islam di sekolah menengah. Inilah orang yang harus kami teladani dalam segala hal. Inilah nabi kami, dan dari dia dan perkataannyalah kami belajar untuk membenci orang Yahudi.
Saya teringat pada satu kesempatan di Betlehem ketika para penonton yang penuh sesak di sebuah bioskop bertepuk tangan dengan sukacita saat mereka menyaksikan film 21 Hari di Munich. Saat kami menyaksikan orang-orang Palestina melempar granat ke dalam helikopter dan membunuh para atlet Israel, kami semua – ratusan penonton – berteriak, “Allahu akbar!” sebuah slogan sukacita.
Dalam suatu usaha untuk mengubah hati orang Palestina, stasiun televisi Israel menayangkan film dokumentasi mengenai Holocaust. Saya duduk dan menonton, menyoraki orang Jerman sambil makan pop corn. Hati saya begitu keras, mustahil bagi saya untuk mengubah sikap saya terhadap orang Yahudi, kecuali melalui “pencangkokan hati”.
Oleh karena kemurahan Tuhan, saya memiliki sesuatu yang hanya dimiliki oleh sedikit dari teman-teman sekelas saya. Saya mempunyai seorang ibu yang berbelas kasih dan memiliki suara yang lembut – dengan sabar berusaha menggapai saya di tengah-tengah hiruk pikuk suara kebencian yang menulikan di sekitar saya. Ia berusaha mengajari saya di rumah tentang apa yang disebutnya dengan “rencana yang lebih baik”. Namun demikian, pada waktu itu apa yang diajarkannya hanya berdampak sedikit pada saya, karena tekad saya sudah teguh – saya akan hidup atau mati memerangi orang Yahudi. Tetapi seorang ibu tidak pernah menyerah.
Saya tidak menyadarinya waktu itu, tetapi ibu saya telah dipengaruhi oleh sepasang misionaris Amerika. Ia bahkan telah dengan diam-diam meminta mereka untuk membaptisnya. Namun, ketika ia menolak untuk dibaptis di kolam yang penuh dengan ganggang hijau, pendeta misionaris itu harus meminta YMCA di Yerusalem untuk mengosongkan kolam yang dikhususkan untuk pria, dan kemudian ibu saya dibaptis disana. Tak seorang pun anggota keluarga kami mengetahuinya.
Seringkali ibu mengajak saya mengunjungi berbagai museum di Israel. Ini berdampak positif pada saya dan saya jatuh cinta pada arkeologi. Saya terpesona pada arkeologi. Dalam banyak argumentasi saya dengan ibu, secara langsung saya katakan padanya bahwa orang Yahudi dan orang Kristen telah berubah dan memalsukan Alkitab. Ia menanggapinya dengan membawa saya ke Museum Gulungan Kitab di Yerusalem dimana ibu menunjukkan pada saya gulungan kuno kitab Yesaya – masih utuh. Ibu saya berhasil menyampaikan argumennya tanpa berkata-kata. Walaupun ibu berusaha mencapai saya dengan sabar dan lembut, saya tidak tergoyahkan. Saya akan menyiksanya dengan hinaan. Saya menyebutnya seorang “kafir” yang mengklaim bahwa Yesus adalah Anak Tuhan dan saya menyebut ibu “seorang penjajah terkutuk Amerika”. Saya menunjukkan padanya gambar-gambar di suratkabar tentang semua remaja Palestina yang telah menjadi “martir” sebagai akibat dari perselisihan dengan tentara Israel dan saya menuntut ibu untuk memberikan jawaban. Saya membencinya dan meminta ayah untuk menceraikannya dan menikahi seorang wanita Muslim yang baik.
Di samping semua hal ini, ibulah – ketika saya dijebloskan ke Penjara Muscovite di Yerusalem – yang pergi ke konsulat Amerika di Yerusalem dan berusaha untuk mengeluarkan saya. Penjara Muscovite dulunya adalah kamp Rusia yang digunakan sebagai penjara pusat di Yerusalem bagi mereka yang kepergok menghasut orang untuk melakukan kekerasan terhadap Israel. Ibuku yang kekasih sangat kuatir akan arah hidup yang saya ambil sehingga rambutnya mulai rontok. Kekuatirannya bukannya tanpa alasan. Selama saya di penjara saya menjadi anggota kelompok teror Fatah milik Yasser Arafat. Tak lama kemudian, saya direkrut oleh seorang pembuat bom yang sangat terkenal dari Yerusalem yang bernama Mahmoud Al-Mughrabi.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Sudah tiba saatnya bagi saya untuk melakukan yang lebih besar daripada sekadar protes dan membuat kerusuhan. Al-Mughrabi dan saya berencana untuk bertemu di Jalan Bab-El-Wad di Klub Bela Diri Judo-Star yang dikelola ayahnya di dekat Temple Mount di Yerusalem. Ia memberi saya bahan peledak yang rumit yang telah dirakitnya sendiri. Saya harus menggunakan bom – bahan peledak yang disembunyikan dalam seketul roti – untuk meledakkan cabang Bank Leumi di Betlehem. Mahmoud menolong saya menyelundupkan bom itu, seperti halnya Wakf Muslim – polisi agama di Temple Mount. Dari Temple Mount, saya berjalan keluar menuju podium dengan bahan peledak dan pengatur waktunya di tangan saya. Kami berjalan di sepanjang Dinding Ratapan dan menghindari semua titik pemeriksaan. Dari sana, saya berjalan ke stasiun bis dan naik bis ke Betlehem. Saya sudah sangat siap untuk menyerahkan hidup saya jika memang harus demikian. Saya berdiri di depan bank itu dan tangan saya sudah benar-benar siap untuk meledakkan bom di pintu depan, ketika saya melihat beberapa anak Palestina berjalan di dekat bank. Pada saat terakhir, saya malah melemparkan bom itu ke atap bank. Dan saya berlari. Ketika saya sampai di Church of the Nativity (gereja yang dibangun di tempat Yesus dilahirkan-Red), saya mendengar ledakan. Saya sangat ketakutan dan sangat depresi sehingga saya tidak dapat tidur berhari-hari. Saya hanyalah seorang remaja berusia 16 tahun. Saya bertanya-tanya apakah saya telah membunuh orang hari itu. Itulah kali pertama saya mengalami bagaimana rasanya memiliki tangan yang berlumuran darah. Saya tidak menikmati apa yang telah saya perbuat, tetapi saya merasa harus melakukannya karena itu adalah tugas saya.
Kisah yang akan saya ceritakan pada anda berikut ini juga merupakan pergumulan. Itulah kali pertama saya berusaha untuk membunuh seorang Yahudi. Seperti jutaan belalang, batu-batu beterbangan dimana-mana saat kami bertikai dengan tentara Israel. Sekelompok orang dari pihak kami telah menyalakan api dengan cara membakar ban untuk digunakan sebagai blokade. Seorang tentara terluka kena lemparan batu. Ia mengejar anak yang telah melemparinya. Namun kami berhasil menangkap tentara itu. Bagaikan segerombolan binatang liar, kami menyerangnya dengan apa saja yang ada di tangan kami. Saya memegang pentungan dan saya menggunakan pentungan itu untuk memukuli kepalanya sampai pentungan itu patah. Seorang remaja lain memegang tongkat dengan paku-paku yang mencuat keluar. Ia terus memukuli kepala tentara yang masih muda itu hingga ia berlumuran darah. Kami hampir saja membunuhnya. Ajaibnya, seakan-akan dengan didorong ledakan adrenalin yang terakhir, dia lari sekencangnya menyeberangi blokade ban-ban berapi dan berhasil lolos ke seberang dimana para tentara Israel menggotong dan menyelamatkannya. Saya tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan itu. Tapi sekarang saya merasa senang karena ia berhasil melarikan diri. Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, sulit sekali bagi saya mengekspresikan bagaimana saya sangat menyesal dan pedih jika mengingat bahwa saya pernah melakukan hal-hal seperti itu. Sekarang saya bukan orang yang sama seperti waktu itu.
Setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas, orang-tua saya mengirim saya ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Saya masuk di sekolah yang kemudian dikenal dengan Loop College, yang terletak di jantung kota Chicago. Ketika saya tiba disana, saya langsung terlibat dengan banyak acara sosial politik yang anti Israel. Saya masih benar-benar percaya bahwa akan datang harinya dimana seluruh dunia akan tunduk kepada Islam dan kemudian dunia akan menyadari betapa dunia sangat berhutang kepada orang-orang Palestina yang telah mengalami banyak kehilangan oleh karena mereka adalah barisan terdepan dalam perang Islam melawan Israel.
Loop College dipenuhi oleh berbagai organisasi Islam. Ketika saya berjalan ke kantin, rasanya seperti masuk ke sebuah kafe Arab di Timur tengah. Berbagai kelompok Islam beroperasi di luar jam sekolah pada waktu itu, tiap kelompok bersaing untuk merekrut siswa lain. Dengan segera saya mengabdikan tenaga saya untuk melayani sebagai seorang aktifis PLO – Organisasi Pembebasan Palestina. Secara resmi saya harus bekerja sebagai penerjemah dan konselor bagi siswa-siswa Arab melalui sebuah program Amerika yang disebut CETA (Comprehensive Employment and Training Act) dimana saya dibayar dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat. Namun, sebenarnya, apa yang saya lakukan, meliputi menerjemahkan iklan-iklan untuk acara-acara yang bertujuan memenangkan simpati orang Amerika atas perjuangan Palestina. Kenyataannya, “memenangkan simpati” adalah ekspresi yang palsu. Kami berusaha untuk mencuci otak orang-orang Amerika – semua yang kami pandang sangat mudah tertipu. Dalam bahasa Arab, iklan-iklan untuk acara-acara semacam itu dengan terang-terang menggunakan jihadist, sebuah deskripsi anti semitis seperti: “Akan ada sungai darah...Datang dan dukunglah kami untuk mengirim siswa-siswa ke Selatan Libanon untuk memerangi orang Israel...” Di lain pihak, dalam versi bahasa Inggris, kami akan menggunakan deskripsi yang halus dan tidak merusak, seperti: “pesta budaya Timur tengah, datanglah dan bergabung dengan kami, kami akan menyajikan domba gratis dan baklava...” Waktu itu tahun 1970.
Kemudian terjadilah Septembar Hitam. September Hitam adalah bulan yang dikenal di seluruh Timur Tengah sebagai saat ketika Raja Hussein dari Yordania bergerak menggagalkan sebuah usaha PLO di Yordania meruntuhkan kekuasaannya sebagai Raja. Banyak orang Palestina terbunuh dalam konflik yang berlangsung hampir setahun lamanya itu hingga bulan Juli 1971. Hasil akhir dari semua ini adalah pengusiran PLO dan ribuan orang Palestina dari Yordania masuk ke Lebanon.
Tentu saja, konflik itu berkembang dan mempengaruhi berbagai organisasi siswa Arab di Loop College. Saya sangat kecewa dan frustrasi menyaksikan hal ini, karena saya menyadari bahwa tanpa persatuan, tujuan jihad di Amerika tidak akan berhasil. Pada saat itulah saya bergabung dengan Al-Ikhwan – Persaudaraan Muslim.
Persaudaraan Muslim adalah organisasi yang membawahi sejumlah oragnisasi teroris lainnya di seluruh dunia. Saya tidak sendirian saat bergabung dengan Persaudaraan ini; ada ratusan siswa Muslim lain dari seluruh penjuru Amerika yang juga bergabung ketika itu. Saya percaya bahwa bekerja sebagai seorang aktifis untuk Persaudaraan Muslim adalah cara yang terbaik untuk membawa kesatuan diantara orang Muslim; bukan Muslim Palestina atau Muslim Yordania, melainkan satu ummah Muslim – satu komunitas Muslim universal – di bawah satu payung Islam. Hingga akhirnya, seorang sheikh Yordania bernama Jamal Said datang ke Amerika untuk merekrut siswa-siswa. Pertemuan perekrutan itu diadakan di gudang bawah tanah atau dengan menyewa kamar hotel. Para siswa Muslim berkumpul dari seluruh penjuru Amerika untuk menghadiri pertemuan itu dan mendengarkan Sheikh Jamal Said. Jamal memiliki status dan reputasi yang legendaris. Dia adalah sahabat Abdullah Azzam, yang terkenal di seluruh Timur tengah sebagai mentor dari Osama Bin Laden.
Orang seringkali bertanya pada saya apakah menurut saya ada kelompok-kelompok sel teroris yang beroperasi di Amerika.Tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok itu memang ada. Sementara banyak mahasiswa Amerika di tahun 70-an bereksperimen dengan narkoba, memprotes pemerintah mereka, dan berpartisipasi dalam melahirkan gerakan “anak bunga”, mereka tidak memperkirakan adanya revolusi bawah tanah lainnya yang dilahirkan oleh para siswa Muslim radikal di seluruh negeri itu. Di dalam Islam, diajarkan bahwa jika seorang Muslim memasuki sebuah negara untuk menaklukkannya bagi Allah, ada beberapa tahapan sebelum mencapai “invasi” itu jika anda menginginkannya. Itu adalah tahap-tahap awal dari gerakan paling subversif yang akan dialami oleh negara itu. Itulah kelahiran gerakan jihadis di Amerika.
Akhirnya saya pindah ke California, dimana saya bertemu dengan istri saya, seorang Katolik dari Meksiko. Saya ingin mentobatkannya kepada Islam. Saya mengatakan padanya bahwa orang Yahudi telah memalsukan Alkitab dan ia meminta saya untuk menunjukkan beberapa contoh pemalsuan itu. Ia menantang saya: ia menantang saya untuk mempelajari Alkitab itu sendiri supaya saya sendiri melihat apakah semua yang telah diajarkan kepada saya mengenai Alkitab dan orang Yahudi itu benar atau tidak. Itu membuat saya memulai sebuah perjalanan yang mengubah hidup saya secara radikal. Pada saat itu saya harus pergi membeli Alkitab dan saya mulai membacanya dan ada banyak sekali kata “Israel” di dalamnya. Kata yang paling saya benci itu ada dimana-mana di dalam kitab itu. Saya berpikir, bagaimana ini harus dijelaskan? Saya mulai berpikir bahwa orang-orang Yahudi sesungguhnya tidak menyakiti kami tetapi kami membenci mereka dan menuduh mereka melakukan hal-hal yang mengerikan ini.
Ini adalah sebuah perjalanan, yang dalam beberapa waktu lamanya hingga saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya, lebih merupakan sebuah obsesi. Saya akan begadang sampai larut malam dan membaca dengan tekun kitab suci orang Yahudi dan Kristen ini. Saya membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Saya mempelajari sejarah Yahudi. Saya berdoa dan menggumuli hal-hal yang saya temukan. Banyak hal dalam kepercayaan saya yang membentuk dasar-dasar cara berpikir saya yang Islami mulai bertumbangan. Karena dikonfrontasi dengan konflik yang jelas terlihat antara cara saya memandang dunia ini dan agama saya semenjak remaja dan kebenaran Alkitab yang menusuk, lalu saya berdoa mohon bimbingan Tuhan. Pada pertengahan tahun 1990, saya pergi ke reuni keluarga di selatan California, disana terjadi pertengkaran setelah saya membela tokoh Alkitab Rahel, yang disebut oleh paman saya sebagai “pelacur Yahudi”.
“Kamu layak dimusuhi”, kata paman saya, dan mereka melemparkan saya keluar dari rumah.
Saya sadar mereka tidak tahu apa-apa soal sejarah; apa yang mereka ketahui hanyalah propaganda yang dulu selalu diajarkan pada saya.
Pertobatan saya membawa saya untuk meninggalkan kekerasan dan menjadi orang Kristen, tetapi untuk itu ada harga yang harus saya bayar: keluarga saya tidak mau mengakui saya lagi dan saudara saya sendiri mengancam akan membunuh saya karena telah meninggalkan Islam. Sekarang saya berharap bahwa dengan mengatakan kebenaran saya akan membuka mata orang banyak.
Sekarang, saya adalah pendiri Yayasan Walid Shoebat. Misi hidup saya dan cita-cita saya adalah membawa kebenaran tentang orang Yahudi dan Israel ke seluruh dunia, sambil mengijinkan Kristus untuk menyembuhkan jiwa saya melalui pertobatan dan mengupayakan rekonsiliasi. Saya telah berketetapan untuk dengan tidak berlelah berbicara tentang Israel kepada ratusan ribu orang di dunia. Saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia memberikan saya kesempatan untuk meminta pengampunan dan berekonsiliasi dengan orang Yahudi dimana pun di seluruh penjuru dunia. Kepada siapa pun yang mau mendengarkan, saya akan menceritakan kisah saya. Sebagai tambahan, walau ada banyak ancaman terhadap hidup saya – termasuk imbalan 10 juta Dollar untuk menangkap dan membunuh saya – saya terus berbicara menentang kebohongan-kebohongan Islam-Nazi yang dulu mengindoktrinasi saya. Jika mereka menangkap saya, saya akan terus bersuara. Ya, hari ini saya mengatakan pada dunia, Saya mengasihi orang Yahudi! Dan saya sangat percaya bahwa orang Yahudi adalah umat pilihan Tuhan yang bertujuan untuk memberi terang kepada orang-orang Arab dan juga seluruh dunia – jika mereka mengijinkan orang Yahudi menerangi mereka.
Mengetahui kebenaran ini telah mengubah cara berpikir saya dari menjadi seorang pengikut Muhammad dan yang mengidolakan Adolf Hitler menjadi seorang yang percaya kepada Yesus Kristus, dari mempercayai kebohongan menjadi mengenal kebenaran, dari sakit secara spiritual menjadi dipulihkan, dari hidup dalam gelap menjadi melihat terang, dari terkutuk menjadi diselamatkan, dari keraguan kepada iman, dari benci menjadi kasih, dari perbuatan-perbuatan jahat kepada anugerah Tuhan di dalam Kristus. Inilah saya hari ini. Terpujilah Tuhan! Saya berharap dengan membaca kesaksian saya dan yang lainnya dalam buku ini anda mulai menyadari bahwa ada peperangan antara yang baik dan yang jahat, dan antara damai dengan terorime, perselisihan antara kebebasan dan neo-fasisme. Sebagaimana yang saya katakan saya berbicara di Universitas Columbia: Hari ini saya berjuang untuk hak semua orang; saya berjuang untuk orang kulit hitam agar dibebaskan dari perbudakan, bagi orang Muslim agar bebas untuk bertobat kepada kekristenan, bagi orang-orang Yahudi yang menolak untuk menjadi Kristen, dan bagi orang-orang atheis untuk mendapatkan haknya menjadi orang atheis. Dan saya akan mati untuk hak kebebasan berbicara bagi semua orang di Amerika Serikat.
Walid Shoebat
Pendiri Yayasan Walid Shoebat
Pengarang Mengapa Saya Meninggalkan Jihad dan Mengapa Kami Ingin Membunuh Anda
Kisah yang akan saya ceritakan pada anda berikut ini juga merupakan pergumulan. Itulah kali pertama saya berusaha untuk membunuh seorang Yahudi. Seperti jutaan belalang, batu-batu beterbangan dimana-mana saat kami bertikai dengan tentara Israel. Sekelompok orang dari pihak kami telah menyalakan api dengan cara membakar ban untuk digunakan sebagai blokade. Seorang tentara terluka kena lemparan batu. Ia mengejar anak yang telah melemparinya. Namun kami berhasil menangkap tentara itu. Bagaikan segerombolan binatang liar, kami menyerangnya dengan apa saja yang ada di tangan kami. Saya memegang pentungan dan saya menggunakan pentungan itu untuk memukuli kepalanya sampai pentungan itu patah. Seorang remaja lain memegang tongkat dengan paku-paku yang mencuat keluar. Ia terus memukuli kepala tentara yang masih muda itu hingga ia berlumuran darah. Kami hampir saja membunuhnya. Ajaibnya, seakan-akan dengan didorong ledakan adrenalin yang terakhir, dia lari sekencangnya menyeberangi blokade ban-ban berapi dan berhasil lolos ke seberang dimana para tentara Israel menggotong dan menyelamatkannya. Saya tidak tahu dari mana ia mendapatkan kekuatan itu. Tapi sekarang saya merasa senang karena ia berhasil melarikan diri. Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, sulit sekali bagi saya mengekspresikan bagaimana saya sangat menyesal dan pedih jika mengingat bahwa saya pernah melakukan hal-hal seperti itu. Sekarang saya bukan orang yang sama seperti waktu itu.
Setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas, orang-tua saya mengirim saya ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Saya masuk di sekolah yang kemudian dikenal dengan Loop College, yang terletak di jantung kota Chicago. Ketika saya tiba disana, saya langsung terlibat dengan banyak acara sosial politik yang anti Israel. Saya masih benar-benar percaya bahwa akan datang harinya dimana seluruh dunia akan tunduk kepada Islam dan kemudian dunia akan menyadari betapa dunia sangat berhutang kepada orang-orang Palestina yang telah mengalami banyak kehilangan oleh karena mereka adalah barisan terdepan dalam perang Islam melawan Israel.
Loop College dipenuhi oleh berbagai organisasi Islam. Ketika saya berjalan ke kantin, rasanya seperti masuk ke sebuah kafe Arab di Timur tengah. Berbagai kelompok Islam beroperasi di luar jam sekolah pada waktu itu, tiap kelompok bersaing untuk merekrut siswa lain. Dengan segera saya mengabdikan tenaga saya untuk melayani sebagai seorang aktifis PLO – Organisasi Pembebasan Palestina. Secara resmi saya harus bekerja sebagai penerjemah dan konselor bagi siswa-siswa Arab melalui sebuah program Amerika yang disebut CETA (Comprehensive Employment and Training Act) dimana saya dibayar dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat. Namun, sebenarnya, apa yang saya lakukan, meliputi menerjemahkan iklan-iklan untuk acara-acara yang bertujuan memenangkan simpati orang Amerika atas perjuangan Palestina. Kenyataannya, “memenangkan simpati” adalah ekspresi yang palsu. Kami berusaha untuk mencuci otak orang-orang Amerika – semua yang kami pandang sangat mudah tertipu. Dalam bahasa Arab, iklan-iklan untuk acara-acara semacam itu dengan terang-terang menggunakan jihadist, sebuah deskripsi anti semitis seperti: “Akan ada sungai darah...Datang dan dukunglah kami untuk mengirim siswa-siswa ke Selatan Libanon untuk memerangi orang Israel...” Di lain pihak, dalam versi bahasa Inggris, kami akan menggunakan deskripsi yang halus dan tidak merusak, seperti: “pesta budaya Timur tengah, datanglah dan bergabung dengan kami, kami akan menyajikan domba gratis dan baklava...” Waktu itu tahun 1970.
Kemudian terjadilah Septembar Hitam. September Hitam adalah bulan yang dikenal di seluruh Timur Tengah sebagai saat ketika Raja Hussein dari Yordania bergerak menggagalkan sebuah usaha PLO di Yordania meruntuhkan kekuasaannya sebagai Raja. Banyak orang Palestina terbunuh dalam konflik yang berlangsung hampir setahun lamanya itu hingga bulan Juli 1971. Hasil akhir dari semua ini adalah pengusiran PLO dan ribuan orang Palestina dari Yordania masuk ke Lebanon.
Tentu saja, konflik itu berkembang dan mempengaruhi berbagai organisasi siswa Arab di Loop College. Saya sangat kecewa dan frustrasi menyaksikan hal ini, karena saya menyadari bahwa tanpa persatuan, tujuan jihad di Amerika tidak akan berhasil. Pada saat itulah saya bergabung dengan Al-Ikhwan – Persaudaraan Muslim.
Persaudaraan Muslim adalah organisasi yang membawahi sejumlah oragnisasi teroris lainnya di seluruh dunia. Saya tidak sendirian saat bergabung dengan Persaudaraan ini; ada ratusan siswa Muslim lain dari seluruh penjuru Amerika yang juga bergabung ketika itu. Saya percaya bahwa bekerja sebagai seorang aktifis untuk Persaudaraan Muslim adalah cara yang terbaik untuk membawa kesatuan diantara orang Muslim; bukan Muslim Palestina atau Muslim Yordania, melainkan satu ummah Muslim – satu komunitas Muslim universal – di bawah satu payung Islam. Hingga akhirnya, seorang sheikh Yordania bernama Jamal Said datang ke Amerika untuk merekrut siswa-siswa. Pertemuan perekrutan itu diadakan di gudang bawah tanah atau dengan menyewa kamar hotel. Para siswa Muslim berkumpul dari seluruh penjuru Amerika untuk menghadiri pertemuan itu dan mendengarkan Sheikh Jamal Said. Jamal memiliki status dan reputasi yang legendaris. Dia adalah sahabat Abdullah Azzam, yang terkenal di seluruh Timur tengah sebagai mentor dari Osama Bin Laden.
Orang seringkali bertanya pada saya apakah menurut saya ada kelompok-kelompok sel teroris yang beroperasi di Amerika.Tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok itu memang ada. Sementara banyak mahasiswa Amerika di tahun 70-an bereksperimen dengan narkoba, memprotes pemerintah mereka, dan berpartisipasi dalam melahirkan gerakan “anak bunga”, mereka tidak memperkirakan adanya revolusi bawah tanah lainnya yang dilahirkan oleh para siswa Muslim radikal di seluruh negeri itu. Di dalam Islam, diajarkan bahwa jika seorang Muslim memasuki sebuah negara untuk menaklukkannya bagi Allah, ada beberapa tahapan sebelum mencapai “invasi” itu jika anda menginginkannya. Itu adalah tahap-tahap awal dari gerakan paling subversif yang akan dialami oleh negara itu. Itulah kelahiran gerakan jihadis di Amerika.
Akhirnya saya pindah ke California, dimana saya bertemu dengan istri saya, seorang Katolik dari Meksiko. Saya ingin mentobatkannya kepada Islam. Saya mengatakan padanya bahwa orang Yahudi telah memalsukan Alkitab dan ia meminta saya untuk menunjukkan beberapa contoh pemalsuan itu. Ia menantang saya: ia menantang saya untuk mempelajari Alkitab itu sendiri supaya saya sendiri melihat apakah semua yang telah diajarkan kepada saya mengenai Alkitab dan orang Yahudi itu benar atau tidak. Itu membuat saya memulai sebuah perjalanan yang mengubah hidup saya secara radikal. Pada saat itu saya harus pergi membeli Alkitab dan saya mulai membacanya dan ada banyak sekali kata “Israel” di dalamnya. Kata yang paling saya benci itu ada dimana-mana di dalam kitab itu. Saya berpikir, bagaimana ini harus dijelaskan? Saya mulai berpikir bahwa orang-orang Yahudi sesungguhnya tidak menyakiti kami tetapi kami membenci mereka dan menuduh mereka melakukan hal-hal yang mengerikan ini.
Ini adalah sebuah perjalanan, yang dalam beberapa waktu lamanya hingga saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya, lebih merupakan sebuah obsesi. Saya akan begadang sampai larut malam dan membaca dengan tekun kitab suci orang Yahudi dan Kristen ini. Saya membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Saya mempelajari sejarah Yahudi. Saya berdoa dan menggumuli hal-hal yang saya temukan. Banyak hal dalam kepercayaan saya yang membentuk dasar-dasar cara berpikir saya yang Islami mulai bertumbangan. Karena dikonfrontasi dengan konflik yang jelas terlihat antara cara saya memandang dunia ini dan agama saya semenjak remaja dan kebenaran Alkitab yang menusuk, lalu saya berdoa mohon bimbingan Tuhan. Pada pertengahan tahun 1990, saya pergi ke reuni keluarga di selatan California, disana terjadi pertengkaran setelah saya membela tokoh Alkitab Rahel, yang disebut oleh paman saya sebagai “pelacur Yahudi”.
“Kamu layak dimusuhi”, kata paman saya, dan mereka melemparkan saya keluar dari rumah.
Saya sadar mereka tidak tahu apa-apa soal sejarah; apa yang mereka ketahui hanyalah propaganda yang dulu selalu diajarkan pada saya.
Pertobatan saya membawa saya untuk meninggalkan kekerasan dan menjadi orang Kristen, tetapi untuk itu ada harga yang harus saya bayar: keluarga saya tidak mau mengakui saya lagi dan saudara saya sendiri mengancam akan membunuh saya karena telah meninggalkan Islam. Sekarang saya berharap bahwa dengan mengatakan kebenaran saya akan membuka mata orang banyak.
Sekarang, saya adalah pendiri Yayasan Walid Shoebat. Misi hidup saya dan cita-cita saya adalah membawa kebenaran tentang orang Yahudi dan Israel ke seluruh dunia, sambil mengijinkan Kristus untuk menyembuhkan jiwa saya melalui pertobatan dan mengupayakan rekonsiliasi. Saya telah berketetapan untuk dengan tidak berlelah berbicara tentang Israel kepada ratusan ribu orang di dunia. Saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia memberikan saya kesempatan untuk meminta pengampunan dan berekonsiliasi dengan orang Yahudi dimana pun di seluruh penjuru dunia. Kepada siapa pun yang mau mendengarkan, saya akan menceritakan kisah saya. Sebagai tambahan, walau ada banyak ancaman terhadap hidup saya – termasuk imbalan 10 juta Dollar untuk menangkap dan membunuh saya – saya terus berbicara menentang kebohongan-kebohongan Islam-Nazi yang dulu mengindoktrinasi saya. Jika mereka menangkap saya, saya akan terus bersuara. Ya, hari ini saya mengatakan pada dunia, Saya mengasihi orang Yahudi! Dan saya sangat percaya bahwa orang Yahudi adalah umat pilihan Tuhan yang bertujuan untuk memberi terang kepada orang-orang Arab dan juga seluruh dunia – jika mereka mengijinkan orang Yahudi menerangi mereka.
Mengetahui kebenaran ini telah mengubah cara berpikir saya dari menjadi seorang pengikut Muhammad dan yang mengidolakan Adolf Hitler menjadi seorang yang percaya kepada Yesus Kristus, dari mempercayai kebohongan menjadi mengenal kebenaran, dari sakit secara spiritual menjadi dipulihkan, dari hidup dalam gelap menjadi melihat terang, dari terkutuk menjadi diselamatkan, dari keraguan kepada iman, dari benci menjadi kasih, dari perbuatan-perbuatan jahat kepada anugerah Tuhan di dalam Kristus. Inilah saya hari ini. Terpujilah Tuhan! Saya berharap dengan membaca kesaksian saya dan yang lainnya dalam buku ini anda mulai menyadari bahwa ada peperangan antara yang baik dan yang jahat, dan antara damai dengan terorime, perselisihan antara kebebasan dan neo-fasisme. Sebagaimana yang saya katakan saya berbicara di Universitas Columbia: Hari ini saya berjuang untuk hak semua orang; saya berjuang untuk orang kulit hitam agar dibebaskan dari perbudakan, bagi orang Muslim agar bebas untuk bertobat kepada kekristenan, bagi orang-orang Yahudi yang menolak untuk menjadi Kristen, dan bagi orang-orang atheis untuk mendapatkan haknya menjadi orang atheis. Dan saya akan mati untuk hak kebebasan berbicara bagi semua orang di Amerika Serikat.
Walid Shoebat
Pendiri Yayasan Walid Shoebat
Pengarang Mengapa Saya Meninggalkan Jihad dan Mengapa Kami Ingin Membunuh Anda
Terakhir diubah oleh Admin tanggal Sun Jan 15, 2012 8:06 am, total 1 kali diubah
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 3 - Penebusan
Saya selalu menghina senyum di wajah mereka (orang Kristen) ketika kami mengkritik, menyakiti, atau merendahkan mereka... Kini saya tahu alasan senyuman mereka. Itu karena kasih, pengampunan, dan toleransi terhadap musuh mereka. Itulah karakteristik orang Kristen yang membawa damai
Sementara elemen-elemen tirani dan ekstremis yang hidup di Iran dan Palestina bisa jadi tidak terlalu mengejutkan dunia Barat – terutama setelah peristiwa 11 September – apa yang terjadi di Mesir sangat mengejutkan. Sedihnya, negeri para Firaun yang merupakan tempat penting yang harus dikunjungi jutaan turis ini juga merupakan sarang ekstremis Islam.
Lagipula, Mesir adalah tempat kelahiran tangan kanan Osama Bin Laden, Ayman Al-Zawahiri. Walaupun dilahirkan dari golongan aristokrat dan dilatih sebagai seorang ahli bedah, Zawahiri, seperti halnya banyak orang muda lain di Mesir, menyangkali latar-belakangnya yang istimewa dan malah lebih tertarik kepada Islam radikal melalui pengajaran Sayyid Qutb, orang yang gagasan-gagasannya membawa organisasi jihad Islam menyatu dengan kekuatan Osama Bin Laden. Bersama-sama mereka membentuk al-Qaeda dan hasilnya adalah catatan sejarah yang tragis. Ini adalah latar-belakang kisah Ahmed Awny Shalakamy.
Hari ini Ahmad percaya bahwa ia adalah saksi hidup bahwa sistem kepercayaan yang menyesatkan dapat menginspirasi orang untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang tidak terbayangkan. Ia mengakui bahwa ketika ia masih muda, ia sangat dipenuhi dengan kebencian sehingga ia pergi dengan membawa sebuah parang dan membunuh 2 orang Sikh yang tidak berdosa - seorang ayah dan anaknya laki-laki. Pada kesempatan lain, seorang Bangladesh beragama Hindu ditangkap di jalan, kemudian diseret Ahmed ke mesjid, lalu dipukulinya sampai mati. Ratapan si korban agar ia tidak dibunuh seperti tidak berdampak pada penyembah fundamentalis ini yang terus meneriakkan “Bunuh orang kafir!” Dalam kesaksian ini, Ahmed juga menceritakan bagaimana ia merayu wanita-wanita non-Muslim untuk memeluk agama Islam, dan setelah pertobatan mereka kepada Islam ia mengarak mereka di jalan-jalan untuk mempermalukan keluarga mereka.
Ahmed telah menjalani perubahan 180 derajat dengan cara berpikirnya dan menuliskan kesaksiannya karena ia kemudian percaya bahwa manusia tidak dilahirkan jahat tetapi menjadi jahat melalui indoktrinasi. Kini ia menghabiskan hidupnya untuk mencari wanita-wanita yang telah ia tobatkan kepada Islam dan menolong mereka untuk membangun kembali hidup mereka yang telah turut dihancurkannya dahulu.
Ahmed mempunyai pesan bagi semua orang yang membaca kesaksiannya: terorisme bukanlah sebuah cara hidup, tetapi sebuah jalan kematian. Sampai kita menghentikan Islam radikal, tak seorangpun yang aman. Ahmed meninggalkan Islam karena ia yakin Islam akan membunuhnya. Dan ia kuatir orang-orang Barat tidak menyadari ancaman ini sampai sudah sangat terlambat.
Saya selalu menghina senyum di wajah mereka (orang Kristen) ketika kami mengkritik, menyakiti, atau merendahkan mereka... Kini saya tahu alasan senyuman mereka. Itu karena kasih, pengampunan, dan toleransi terhadap musuh mereka. Itulah karakteristik orang Kristen yang membawa damai
Sementara elemen-elemen tirani dan ekstremis yang hidup di Iran dan Palestina bisa jadi tidak terlalu mengejutkan dunia Barat – terutama setelah peristiwa 11 September – apa yang terjadi di Mesir sangat mengejutkan. Sedihnya, negeri para Firaun yang merupakan tempat penting yang harus dikunjungi jutaan turis ini juga merupakan sarang ekstremis Islam.
Lagipula, Mesir adalah tempat kelahiran tangan kanan Osama Bin Laden, Ayman Al-Zawahiri. Walaupun dilahirkan dari golongan aristokrat dan dilatih sebagai seorang ahli bedah, Zawahiri, seperti halnya banyak orang muda lain di Mesir, menyangkali latar-belakangnya yang istimewa dan malah lebih tertarik kepada Islam radikal melalui pengajaran Sayyid Qutb, orang yang gagasan-gagasannya membawa organisasi jihad Islam menyatu dengan kekuatan Osama Bin Laden. Bersama-sama mereka membentuk al-Qaeda dan hasilnya adalah catatan sejarah yang tragis. Ini adalah latar-belakang kisah Ahmed Awny Shalakamy.
Hari ini Ahmad percaya bahwa ia adalah saksi hidup bahwa sistem kepercayaan yang menyesatkan dapat menginspirasi orang untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang tidak terbayangkan. Ia mengakui bahwa ketika ia masih muda, ia sangat dipenuhi dengan kebencian sehingga ia pergi dengan membawa sebuah parang dan membunuh 2 orang Sikh yang tidak berdosa - seorang ayah dan anaknya laki-laki. Pada kesempatan lain, seorang Bangladesh beragama Hindu ditangkap di jalan, kemudian diseret Ahmed ke mesjid, lalu dipukulinya sampai mati. Ratapan si korban agar ia tidak dibunuh seperti tidak berdampak pada penyembah fundamentalis ini yang terus meneriakkan “Bunuh orang kafir!” Dalam kesaksian ini, Ahmed juga menceritakan bagaimana ia merayu wanita-wanita non-Muslim untuk memeluk agama Islam, dan setelah pertobatan mereka kepada Islam ia mengarak mereka di jalan-jalan untuk mempermalukan keluarga mereka.
Ahmed telah menjalani perubahan 180 derajat dengan cara berpikirnya dan menuliskan kesaksiannya karena ia kemudian percaya bahwa manusia tidak dilahirkan jahat tetapi menjadi jahat melalui indoktrinasi. Kini ia menghabiskan hidupnya untuk mencari wanita-wanita yang telah ia tobatkan kepada Islam dan menolong mereka untuk membangun kembali hidup mereka yang telah turut dihancurkannya dahulu.
Ahmed mempunyai pesan bagi semua orang yang membaca kesaksiannya: terorisme bukanlah sebuah cara hidup, tetapi sebuah jalan kematian. Sampai kita menghentikan Islam radikal, tak seorangpun yang aman. Ahmed meninggalkan Islam karena ia yakin Islam akan membunuhnya. Dan ia kuatir orang-orang Barat tidak menyadari ancaman ini sampai sudah sangat terlambat.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Penebusan
Saya dibesarkan di Giza, Mesir. Ayah saya adalah seorang kontraktor bangunan dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan Islam. Ia adalah ketua salah satu asosiasi Islam lokal dan bertugas untuk menyuarakan adzan. Ia juga memberi pelajaran-pelajaran tentang Islam dan kadangkala berceramah di mesjid pada hari Jumat.
Ayah saya membenci orang Kristen. Ia mengajari saya bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang berselisih dengan sesamanya sendiri dengan mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan sementara kitab (Alkitab) mereka yang dipalsukan itu mempunyai ayat-ayat yang membuktikan bahwa Yesus hanyalah seorang nabi. Itu semua adalah bagian dari retorika yang biasa kami dengar dari pengeras suara di mesjid yang memekakkan, dan dari radio dan kaset yang diputar di jalan-jalan. Dalam atmosfir seperti itu, seorang anak Muslim di Mesir disusui dengan ASI dan kebencian.
Asosiasi ayah saya bergerak di berbagai bidang. Mengelola asrama putri, sebuah bengkel, klinik, taman kanak-kanak, sebuah madrasah untuk mempelajari Qur’an, dan sebuah seksi untuk dakwah Islam. Tujuan utamanya adalah untuk mengislamkan orang dengan cara apa pun.
Selama masa pemerintahan almarhum presiden Anwar El Sadat, Imam Besar di El Azhar Mohammad Abdel Halim Mahmoud, terlibat dalam persekongkolan dengan wakil presiden Mr.Hussein el Shafei. Sheikh Keshk juga terlibat dalam perencanaan bersama Mohammad Osman Ismail, mantan gubernur Assiut, dan mohammad Abdel Mohsen Saleh. Baik Ismail dan Saleh adalah pendiri berbagai asosiasi yang mengislamkan orang yang bermunculan, dan ayah saya terlibat di dalamnya.
Tujuan dari kelompok-kelompok ini adalah untuk menjadikan Mesir sebagai negara Islam dalam periode 50 tahun. Para anggota keluarga bangsawan Saudi, yang berhubungan dengan gerakan Wahabi dan raja-raja minyak dari Teluk, mendanai rencana ini. Uang dihamburkan untuk menipu wanita-wanita dan gadis-gadis Kristen dengan cara apapun. Biaya yang dikeluarkan di tahun 70-an dan awal 80-an kira-kira sebesar 5000 pound Mesir untuk menjerat tiap gadis. Uang itu dibagikan sehingga si pria Muslim yang menjerat wanita Kristen dan mentobatkannya kepada Islam dapat memperoleh separoh dari uang itu dan anggota-anggota polisi dan asosiasi yang bekerjasama untuk hal ini akan mendapatkan yang separohnya lagi.
Upaya asosiasi ini terus berlanjut di Mesir dan bayaran untuk menobatkan orang dengan penipuan ini menjadi semakin tinggi. Sekarang rata-rata bayaran untuk seorang gadis biasa adalah 10.000 pound Mesir dan bayaran itu akan menjadi 200.000 pound Mesir jika gadis itu berasal dari keluarga Kristen yang ternama, atau putri dari seorang profesor di perguruan tinggi, seorang wakil menteri, atau kerabat dari seorang rohaniwan.
Sama seperti ayah saya, saya juga terlibat dalam asosiasi ini. Setelah kami berhasil mentobatkan seorang wanita Kristen, kami akan mengejek orang-orang Kristen dengan mengarak gadis yang telah menjadi Islam itu di jalanan. Kami memainkan musik keras-keras dan melambaikan bendera-bendera sambil berteriak “Allahu Akbar” untuk mendeklarasikan kemenangan Islam. Kami juga akan mengumandangkan slogan-slogan untuk mempermalukan orang Kristen. Tidak ada orang Kristen yang menghalangi parade yang dijaga ketat polisi ini.
Ini adalah sebuah praktek yang normal hingga tahun 1985, ketika parade semacam itu mulai dilarang. Namun demikian, kami terus melanjutkan kampanye kami untuk mentobatkan wanita-wanita Kristen. Kami berfokus untuk mentobatkan mereka kepada Islam karena kami percaya ini adalah suatu bentuk penghinaan yang besar terhadap orang Kristen. Di dunia Timur, kehormatan seorang pria terletak pada putrinya, saudari atau istrinya, maka dengan mempermalukan salah satu dari antara mereka adalah penghinaan yang luar biasa terhadap pria itu.
Kami menggunakan segala macam tipuan untuk memerangkap mereka. Terutama kami akan mempermainkan emosi dan hati mereka. Kami juga akan membuat para wanita itu terlibat dalam skandal moral dan menggunakan hal itu untuk memaksa mereka melakukan apa yang kami inginkan. Inilah yang saya lakukan ketika saya terlibat dengan asosiasi itu. Selain menerima bayaran untuk pekerjaan itu, saya yakin saya akan menerima pahala tambahan atas tiap keberhasilan saya membuat seorang wanita Kristen masuk Islam, saya akan mendapatkan sebidang tanah di surga. Kisah-kisah berikut ini adalah tentang wanita-wanita yang sudah saya perangkap ke dalam Islam dengan cara-cara menipu.
Fatima sebenarnya berasal dari Kairo dan masuk ke perguruan tinggi di kota tempat tinggal keluarga saya. Waktu itu adalah tahun pertama saya di perguruan tinggi, dan ini adalah tugas pertama saya untuk mentobatkan orang. Dia sangat cantik. Dia mempunyai beberapa teman wanita Muslim yang mengatakan pada saya bahwa dia mudah sekali diperangkap. Mereka mengatur supaya saya dapat bertemu dengannya dan saya bersikap seolah-olah saya jatuh cinta berat padanya, menatapnya dengan penuh hasrat dan suara bergetar yang dibuat-buat.
Saat pertama kali saya berbicara dengan Fatima, saya menanyakannya beberapa hal mengenai iman Kristen. Saya sadar bahwa saya harus mengubah taktik saya jika saya ingin menjebaknya. Saya mulai menyakinkannya bahwa saya mencintainya dan saya berjuang keras sampai ia takluk kepada saya. Teman-teman wanitanya sadar apa yang sedang terjadi dan menolong saya dengan cara menceritakan padanya tentang cinta saya kepadanya. Saya mengatakan padanya bahwa kita dapat menikah dan mempertahankan agama kita masing-masing, karena Islam mengijinkan orang Muslim untuk menikahi Para Ahli Kitab (orang Yahudi dan Kristen - Red) karena mereka percaya kepada Tuhan. Saya berhasil dan kemudian dia hamil.
Diam-diam saya pergi ke gereja beberapa kali dengannya dan saya bahkan membeli buku-buku Kristen, lambang-lambang Kristen, dan roti perjamuan untuk meyakinkannya bahwa saya pengagum kekristenan. Saya mengatakan padanya bahwa saya akan sangat senang menjadi orang Kristen, tapi saya tidak dapat melakukannya karena saya akan dibunuh. Kemudian saya mengatakan padanya bahwa saya mencintainya dan tidak dapat hidup tanpanya dan jika dia masuk Islam, dia tidak akan dibunuh, karena dia sedang mengandung anak kami – buah cinta kami.
Dia ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa. Pada waktu itu, saya memintanya untuk tidak memutuskan hubungannya dengan gereja, tetap bersikap seperti biasa, dan sebagai kamuflase pergi ke gereja pada hari Kamis untuk pengakuan dosa, hari Jumat untuk komuni, dan pada hari Minggu mengikuti Misa. Dia mengikuti instruksi saya dan pada suatu hari, sesuai instruksi saya, dia datang dengan membawa koper dan perhiasan emas, dan kami bermalam di rumah saya di jalan Gameat El Dewal El Arabia. Pada Sabtu pagi, dia ada janji untuk bertemu dengan orang yang berwenang di El Azhar. Saya merancangkan pelariannya ke kota tempat studinya dan tempat tinggal saya sampai ia menyelesaikan studinya. Kemudian saya mengganti namanya menjadi Fatima El Zahra Mohammad Ali El Mahdi.
Upaya keluarganya dan orang Kristen lainnya untuk membawanya pulang hanyalah sia-sia. Saya memastikan bahwa dialah yang berkeras menolak pulang dan saya mencuci otaknya. Usaha saya berhasil dan ia menjadi sangat yakin bahwa dia sekarang menyembah Tuhan Islam yang benar.
Setelah lima minggu kemenangan saya untuk Islam dan menerima uang bayaran saya, saya memutuskan untuk menceraikan pelacur tidak beriman ini. Bagi saya dia murahan dan hanyalah obyek untuk memuaskan nafsu. Saya beralasan bagaimana mungkin saya memiliki anak darinya yang dalam darahnya mengalir darah orang-orang kafir Kristen. Saya memerintahkannya untuk melakukan aborsi dan saya menggunakan hak saya yang sah (sebagai pria Muslim – Red) untuk memukulinya. Saya juga mewajibkannya bekerja untuk mencari makan bagi dirinya. Saya mengatakan padanya bahwa dia harus melayani para tuan Muslimnya yang memberinya tempat bernaung dan yang telah menyelamatkannya dari hal yang mempermalukannya.
Saya mulai berpikir untuk mengulangi permainan yang sama dengan wanita lain, sehingga saya dapat mengabdikan hidup saya, agama saya, dan hidup saya di akhirat. Saya percaya bahwa dengan melakukan hal ini saya menjalankan agama saya dengan membuat orang kafir memeluk Islam; saya hidup dengan baik dengan mendapat bayaran; dan saya mempersiapkan diri untuk akhirat dengan memiliki banyak lahan atas nama saya di Surga. Saya juga mempunyai tukang bersih-bersih rumah yang tidak usah dibayar. Dia harus bekerja untuk dapat makan dan jika saya ingin memakai dia untuk bersenang-senang, dia akan menjadi pelacur saya.
Saya menikmati ketika menyakiti, memukuli, dan menghina Fatima. Saya sangat yakin dia tidak benar-benar memeluk Islam dan bahwa dia hanya menuruti insting kewanitaannya saja. Semua ini membuat saya semakin berniat untuk balas dendam padanya. Fatima tinggal bersama saya selama 3 tahun, 7 bulan dan 12 hari. Selama itu, waktu dia tinggal bersama saya, saya telah mentobatkan 8 gadis kepada Islam.
Ketika saya berjumpa dengan Abir, dia sedang menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi yang terletak satu setengah jam dari rumahnya. Dia berasal dari keluarga kaya. Kedua orang-tuanya adalah dokter dan saudara-saudara laki-lakinya adalah dokter angkatan bersenjata Mesir. Walaupun dia pergi ke gereja, dia bukanlah soerang yang religius. Abir adalah orang yang mudah bergaul dan bersahabat baik dengan orang Muslim maupun Kristen. Selain dari keramahannya, tidak mudah bagi kami untuk menjangkaunya dan terpaksa kami harus melakukan sesuatu yang curang. Sebagai pria Muslim kami percaya bahwa kami sedang berada dalam perang yang tak henti-hentinya dengan “orang-orang kafir yang najis”, dan oleh karena itu tidak apa-apa jika kami menipu mereka.
Pada suatu hari saya didatangi seorang pria muda Muslim yang mengatakan pada saya bahwa ia ingin menikahi Abir dan meminta saya menolongnya untuk membujuk Abir supaya masuk Islam. Setelah melakukan banyak perencanaan, saya mendapati bahwa sahabat karib Abir adalah seorang gadis Muslim yang religius. Namun, ia menganggap Abir sebagai saudarinya dan saya sangat terusik dengan hal itu. Maka saya mengunjungi gadis Muslim itu dan berbicara padanya mengenai iman Kristen yang merusak itu dan mengingatkannya akan apa yang dikatakan Allah di dalam Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);...Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (Surah 5:51). Saya mengatakan padanya bahwa jihad terhadap mereka adalah tugas setiap Muslim dan dia harus memberi sumbangsih untuk kemenangan Islam. Gadis Muslim itu percaya bahwa saya benar dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Saya mengatakan padanya agar ia tidak menunjukkan kebencian terhadap teman Kristennya itu, tetapi memperlakukannya sebagaimana biasa dan bahkan berusaha untuk mempererat persahabatan mereka dan mengikuti semua instruksi saya.
Kemudian saya pergi ke seorang ahli farmasi Muslim yang adalah anggota asosiasi kami dan meminta padanya obat untuk menghasilkan halusinasi. Saya mengatakan padanya mengapa saya memerlukan obat itu. Ia mengatakan pada saya bahwa ia juga ingin memberi sumbangsih bagi kemenangan Islam dan oleh karena itu ia setuju untuk menyiapkan obat itu. Lalu saya memberikan obat itu kepada gadis Muslim itu dan mengatakan padanya untuk melarutkan 2 tablet dalam segelas susu dan memberikannya pada Abir untuk diminum, dan kemudian segera memanggil kami jika ia melihat ada perubahan pada Abir.
Gadis Muslim itu segera memanggil kami ketika Abir mulai berhalusinasi dan kehilangan kontrol di apartemennya. Kami tiba disana dengan membawa sebuah kamera dan video perekam. Kami mulai bercanda dengan Abir dan dia menanggapi, tidak sadar dengan apa yang sedang kami lakukan sampai teman saya berhasil menelanjanginya dan membawanya ke kamar tidur.
Saya merekam semuanya dengan video dan mengambil gambar selama kira-kira 3 jam. Ketika Abir mulai siuman, ia menyadari apa yang telah terjadi dan mulai menjerit dan menangis. Ia menghina kami, Islam, dan nabi Islam, dan mencoba merobek Qur’an milik sahabatnya. Saya menunjukkan rekaman video dan foto-fotonya dan mengancam akan memperbanyak dan membagikannya kepada keluarganya, juga kepada keluarga-keluarga Kristen lainnya. Saya mengingatkannya bahwa ia akan dipermalukan oleh karena skandal ini. Ia menangis dan tersungkur di lantai, menciumi sepatu kami dan memohon agar kami tidak melakukan hal itu, tetapi kami bersikeras bahwa dia harus melakukan apa yang kami perintahkan padanya, karena dia tahu bahwa saudara-saudara laki-lakinya dan kerabatnya bahkan mungkin akan membunuhnya jika mereka melihat isi video itu.
Dia menyerah. Air mata dan keputus-asaannya membuat saya bersukacita. Selama beberapa minggu berikutnya, dia mengikuti kami ke asosiasi dimana otaknya dicuci oleh para sheikh. Ia tidak dapat membantah apapun yang dikatakan mereka. Dia sangat bersusah hati dan tidak pernah berhenti menangis.
Kami mengajarinya apa yang harus dikatakannya sebelum saatnya untuk dia pergi ke kantor polisi. Dia mengikuti instruksi-instruksi kami ketika dia diwawancarai oleh polisi. Dan ketika seorang petugas polisi bertanya padanya mengapa dia ingin masuk Islam, ia berkata bahwa nabi Muhammad datang padanya dalam sebuah mimpi dan menyapanya dengan salam Islam, memanggilnya “Aisha”. Yesus juga ada dalam mimpi itu, menyapanya dengan sapaan Islam, dan mencela semua orang Kristen, berkata bahwa tiada Tuhan selain Allah. Ia berkata Yesus mengatakan padanya bahwa Dia (Yesus) adalah hamba dan nabi Allah dan Muhammad adalah nabi Allah. Lalu katanya, Yesus mencium kepala Muhammad dan memintanya untuk mengulangi ucapannya yang merupakan kata-kata Allah yang terdapat di dalam Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Surah 3:85)
Dia mengatakan hal ini tidak hanya kepada petugas polisi, tetapi juga kepada anggota keluarganya dan pendeta-pendeta yang datang mengunjunginya. Reaksinya selama kunjungan-kunjungan itu, yang disebut sesi konseling, kami awasi dan telah mendapat persetujuan dari polisi sebelumnya. Semuanya hanyalah kebohongan dan walaupun ia dikunjungi oleh pendeta yang berbeda-beda, ia hanya dapat mengatakan apa yang telah kami ajarkan padanya.
Setelah semua prosedur resmi selesai, kami memberinya identitas baru dan nama Islam: Aisha Abdalla Elmahdy. Kami telah menuntaskan rencana kami dan pria Muslim itu, Yasser, seorang mujahid, mendapatkan gadis yang diinginkannya dan juga bayarannya yang cukup banyak karena Abir berasal dari sebuah keluarga Kristen yang terpandang. Saya menerima bayaran 25% dari bagiannya, ditambah bagian saya dari jumlah yang saya bayarkan kepada pihak-pihak yang turut terlibat.
Keluarga Aisha kehilangan kehormatannya dan sangat dipermalukan. Akibatnya, ibunya menutup apotiknya dan ayahnya menjual kliniknya. Mereka pindah ke tempat lain dimana mereka dapat menghilang di keramaian orang banyak dan terlepas dari skandal itu. Lalu Aisha menikah dengan Yasser dan hidup sebagai orang buangan, karena ia tidak disukai keluarga suaminya. Ia baru menjalani pernikahannya selama 2 bulan ketika Yasser mengatakan padanya bahwa ia sudah muak dengan Aisha dan ingin menceraikannya. Yasser menceraikannya dan membuangnya ke jalanan.
Oleh karena dia adalah saudari kami dalam Islam maka ia tidak boleh tinggal di jalanan, saya membawanya ke asosiasi, disana ia tinggal dan bekerja sebagai pembantu, membersihkan klinik supaya ia dapat membayar sewa dan membeli makanan. Dia tinggal disana selama 3 bulan hingga telah diijinkan secara sah untuk menikah lagi. Calon pengantin prianya adalah seorang Muslim yang tahu kisah hidup Aisha. Dia adalah seorang kuli, sudah menikah dan mempunyai 6 anak. Pada siang hari, ia bekerja di bengkel pemeliharaan di kantor administrasi pemerintah. Aisha tidak mau menikahinya dan memohon kepada kami agar ia tidak usah menjalaninya. Kami mengabaikannya, dan ia dipaksa menikahi pria yang tidak disukainya.
Aisha hidup dalam kesengsaraan. Ia bekerja sebagai pembantu untuk membersihkan rumah dan menjual sayur-mayur supaya dapat memberi makan suaminya dan anak-anak suaminya. Sulit sekali membayangkan bahwa dulunya dia adalah seorang mahasiswi dari keluarga dokter yang kaya raya. Hidupnya sudah hancur. Setelah 5 bulan menikah suaminya yang kedua menceraikannya. Oleh karena dia sudah pernah menikah 2 kali, maka ia tidak menikah lagi dan oleh karena banyak orang sudah mengetahui soal rekaman video dan foto-fotonya waktu ia dibius, ia dianggap najis. Ia menjadi gelandangan dan harus bermalam di tenda-tenda darurat dimana ia hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi. Ketika ia telah sangat terpuruk ia berteriak: “Tuhan kasihanilah saya”.
Tuhan berbelas-kasihan dan menjawab doanya.
Ketika ia masih menjadi gelandangan, saya menjadi orang Kristen dan saya berusaha mencari gadis-gadis yang telah saya tipu untuk masuk Islam. Saya menemukannya dan mengunjunginya bersama istri saya, yang telah kembali ke gereja. Saya dan istri saya memeliharanya di rumah kami. Kami berusaha menginformasikan pada orang-tuanya tentang situasi Aisha, sehingga saya mengirim seorang kerabat istri saya bersama dengan seorang pendeta, yang berbincang dengan mereka. Mereka semua menangis mendengar berita itu dan menunjukkan kerinduan mereka untuk bertemu dengannya. Reuni keluarga itu diadakan di sebuah gereja di Kairo. Sebuah reuni yang sangat berkesan. Saya menyangka keluarganya akan memukulinya, namun ternyata tidak, dan mereka sangat gembira karena telah bertemu dengannya.
Ketika keluarganya memeluk dan menciuminya, saya sangat tersentuh oleh kasih yang saya lihat sehingga membuat saya keheranan mengapa kami menyakiti orang-orang Kristen begitu rupa. Saya dulu selalu menghina senyum di wajah mereka ketika kami mengkritik, menyakiti, atau mempermalukan mereka. Biasanya saya berkata pada diri sendiri senyuman mereka adalah senyuman kelicikan karena mereka adalah kaum minoritas dan tidak dapat menandingi kami orang Muslim. Sekarang saya tahu alasan di balik senyuman itu. Itulah kasih mereka, pengampunan, dan toleransi terhadap musuh-musuh mereka. Itulah karakter Kristen yang membawa damai.
Setelah Abir bertemu dengan keluarganya, ia kembali pulang bersama mereka. Mereka menyambutnya dengan kasih dan kebaikan seperti kisah anak yang hilang yang dicatat dalam Alkitab. Ibunya membelikannya pakaian yang bagus dan ayahnya membelikannya perhiasan. Mereka merayakan kepulangannya dan mengulangi kalimat di dalam Alkitab (“Putri kami sudah mati dan sekarang hidup kembali, ia terhilang dan sekarang telah ditemukan”).
Sebuah permohonan disampaikan kepada Konsil Rohaniwan untuk mengesahkan kembalinya Abir ke kekristenan, dan itu disetujui. Seorang pengacara Kristen dengan sukarela memberikan petisi kepada pengadilan untuk mengembalikan lagi padanya nama Kristennya dan kartu identitas dirinya. Pengadilan mengabulkan permohonan itu. Kini dia tinggal di Perancis bersama suami dan putrinya.
Saya dibesarkan di Giza, Mesir. Ayah saya adalah seorang kontraktor bangunan dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan Islam. Ia adalah ketua salah satu asosiasi Islam lokal dan bertugas untuk menyuarakan adzan. Ia juga memberi pelajaran-pelajaran tentang Islam dan kadangkala berceramah di mesjid pada hari Jumat.
Ayah saya membenci orang Kristen. Ia mengajari saya bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang berselisih dengan sesamanya sendiri dengan mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan sementara kitab (Alkitab) mereka yang dipalsukan itu mempunyai ayat-ayat yang membuktikan bahwa Yesus hanyalah seorang nabi. Itu semua adalah bagian dari retorika yang biasa kami dengar dari pengeras suara di mesjid yang memekakkan, dan dari radio dan kaset yang diputar di jalan-jalan. Dalam atmosfir seperti itu, seorang anak Muslim di Mesir disusui dengan ASI dan kebencian.
Asosiasi ayah saya bergerak di berbagai bidang. Mengelola asrama putri, sebuah bengkel, klinik, taman kanak-kanak, sebuah madrasah untuk mempelajari Qur’an, dan sebuah seksi untuk dakwah Islam. Tujuan utamanya adalah untuk mengislamkan orang dengan cara apa pun.
Selama masa pemerintahan almarhum presiden Anwar El Sadat, Imam Besar di El Azhar Mohammad Abdel Halim Mahmoud, terlibat dalam persekongkolan dengan wakil presiden Mr.Hussein el Shafei. Sheikh Keshk juga terlibat dalam perencanaan bersama Mohammad Osman Ismail, mantan gubernur Assiut, dan mohammad Abdel Mohsen Saleh. Baik Ismail dan Saleh adalah pendiri berbagai asosiasi yang mengislamkan orang yang bermunculan, dan ayah saya terlibat di dalamnya.
Tujuan dari kelompok-kelompok ini adalah untuk menjadikan Mesir sebagai negara Islam dalam periode 50 tahun. Para anggota keluarga bangsawan Saudi, yang berhubungan dengan gerakan Wahabi dan raja-raja minyak dari Teluk, mendanai rencana ini. Uang dihamburkan untuk menipu wanita-wanita dan gadis-gadis Kristen dengan cara apapun. Biaya yang dikeluarkan di tahun 70-an dan awal 80-an kira-kira sebesar 5000 pound Mesir untuk menjerat tiap gadis. Uang itu dibagikan sehingga si pria Muslim yang menjerat wanita Kristen dan mentobatkannya kepada Islam dapat memperoleh separoh dari uang itu dan anggota-anggota polisi dan asosiasi yang bekerjasama untuk hal ini akan mendapatkan yang separohnya lagi.
Upaya asosiasi ini terus berlanjut di Mesir dan bayaran untuk menobatkan orang dengan penipuan ini menjadi semakin tinggi. Sekarang rata-rata bayaran untuk seorang gadis biasa adalah 10.000 pound Mesir dan bayaran itu akan menjadi 200.000 pound Mesir jika gadis itu berasal dari keluarga Kristen yang ternama, atau putri dari seorang profesor di perguruan tinggi, seorang wakil menteri, atau kerabat dari seorang rohaniwan.
Sama seperti ayah saya, saya juga terlibat dalam asosiasi ini. Setelah kami berhasil mentobatkan seorang wanita Kristen, kami akan mengejek orang-orang Kristen dengan mengarak gadis yang telah menjadi Islam itu di jalanan. Kami memainkan musik keras-keras dan melambaikan bendera-bendera sambil berteriak “Allahu Akbar” untuk mendeklarasikan kemenangan Islam. Kami juga akan mengumandangkan slogan-slogan untuk mempermalukan orang Kristen. Tidak ada orang Kristen yang menghalangi parade yang dijaga ketat polisi ini.
Ini adalah sebuah praktek yang normal hingga tahun 1985, ketika parade semacam itu mulai dilarang. Namun demikian, kami terus melanjutkan kampanye kami untuk mentobatkan wanita-wanita Kristen. Kami berfokus untuk mentobatkan mereka kepada Islam karena kami percaya ini adalah suatu bentuk penghinaan yang besar terhadap orang Kristen. Di dunia Timur, kehormatan seorang pria terletak pada putrinya, saudari atau istrinya, maka dengan mempermalukan salah satu dari antara mereka adalah penghinaan yang luar biasa terhadap pria itu.
Kami menggunakan segala macam tipuan untuk memerangkap mereka. Terutama kami akan mempermainkan emosi dan hati mereka. Kami juga akan membuat para wanita itu terlibat dalam skandal moral dan menggunakan hal itu untuk memaksa mereka melakukan apa yang kami inginkan. Inilah yang saya lakukan ketika saya terlibat dengan asosiasi itu. Selain menerima bayaran untuk pekerjaan itu, saya yakin saya akan menerima pahala tambahan atas tiap keberhasilan saya membuat seorang wanita Kristen masuk Islam, saya akan mendapatkan sebidang tanah di surga. Kisah-kisah berikut ini adalah tentang wanita-wanita yang sudah saya perangkap ke dalam Islam dengan cara-cara menipu.
Fatima sebenarnya berasal dari Kairo dan masuk ke perguruan tinggi di kota tempat tinggal keluarga saya. Waktu itu adalah tahun pertama saya di perguruan tinggi, dan ini adalah tugas pertama saya untuk mentobatkan orang. Dia sangat cantik. Dia mempunyai beberapa teman wanita Muslim yang mengatakan pada saya bahwa dia mudah sekali diperangkap. Mereka mengatur supaya saya dapat bertemu dengannya dan saya bersikap seolah-olah saya jatuh cinta berat padanya, menatapnya dengan penuh hasrat dan suara bergetar yang dibuat-buat.
Saat pertama kali saya berbicara dengan Fatima, saya menanyakannya beberapa hal mengenai iman Kristen. Saya sadar bahwa saya harus mengubah taktik saya jika saya ingin menjebaknya. Saya mulai menyakinkannya bahwa saya mencintainya dan saya berjuang keras sampai ia takluk kepada saya. Teman-teman wanitanya sadar apa yang sedang terjadi dan menolong saya dengan cara menceritakan padanya tentang cinta saya kepadanya. Saya mengatakan padanya bahwa kita dapat menikah dan mempertahankan agama kita masing-masing, karena Islam mengijinkan orang Muslim untuk menikahi Para Ahli Kitab (orang Yahudi dan Kristen - Red) karena mereka percaya kepada Tuhan. Saya berhasil dan kemudian dia hamil.
Diam-diam saya pergi ke gereja beberapa kali dengannya dan saya bahkan membeli buku-buku Kristen, lambang-lambang Kristen, dan roti perjamuan untuk meyakinkannya bahwa saya pengagum kekristenan. Saya mengatakan padanya bahwa saya akan sangat senang menjadi orang Kristen, tapi saya tidak dapat melakukannya karena saya akan dibunuh. Kemudian saya mengatakan padanya bahwa saya mencintainya dan tidak dapat hidup tanpanya dan jika dia masuk Islam, dia tidak akan dibunuh, karena dia sedang mengandung anak kami – buah cinta kami.
Dia ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa. Pada waktu itu, saya memintanya untuk tidak memutuskan hubungannya dengan gereja, tetap bersikap seperti biasa, dan sebagai kamuflase pergi ke gereja pada hari Kamis untuk pengakuan dosa, hari Jumat untuk komuni, dan pada hari Minggu mengikuti Misa. Dia mengikuti instruksi saya dan pada suatu hari, sesuai instruksi saya, dia datang dengan membawa koper dan perhiasan emas, dan kami bermalam di rumah saya di jalan Gameat El Dewal El Arabia. Pada Sabtu pagi, dia ada janji untuk bertemu dengan orang yang berwenang di El Azhar. Saya merancangkan pelariannya ke kota tempat studinya dan tempat tinggal saya sampai ia menyelesaikan studinya. Kemudian saya mengganti namanya menjadi Fatima El Zahra Mohammad Ali El Mahdi.
Upaya keluarganya dan orang Kristen lainnya untuk membawanya pulang hanyalah sia-sia. Saya memastikan bahwa dialah yang berkeras menolak pulang dan saya mencuci otaknya. Usaha saya berhasil dan ia menjadi sangat yakin bahwa dia sekarang menyembah Tuhan Islam yang benar.
Setelah lima minggu kemenangan saya untuk Islam dan menerima uang bayaran saya, saya memutuskan untuk menceraikan pelacur tidak beriman ini. Bagi saya dia murahan dan hanyalah obyek untuk memuaskan nafsu. Saya beralasan bagaimana mungkin saya memiliki anak darinya yang dalam darahnya mengalir darah orang-orang kafir Kristen. Saya memerintahkannya untuk melakukan aborsi dan saya menggunakan hak saya yang sah (sebagai pria Muslim – Red) untuk memukulinya. Saya juga mewajibkannya bekerja untuk mencari makan bagi dirinya. Saya mengatakan padanya bahwa dia harus melayani para tuan Muslimnya yang memberinya tempat bernaung dan yang telah menyelamatkannya dari hal yang mempermalukannya.
Saya mulai berpikir untuk mengulangi permainan yang sama dengan wanita lain, sehingga saya dapat mengabdikan hidup saya, agama saya, dan hidup saya di akhirat. Saya percaya bahwa dengan melakukan hal ini saya menjalankan agama saya dengan membuat orang kafir memeluk Islam; saya hidup dengan baik dengan mendapat bayaran; dan saya mempersiapkan diri untuk akhirat dengan memiliki banyak lahan atas nama saya di Surga. Saya juga mempunyai tukang bersih-bersih rumah yang tidak usah dibayar. Dia harus bekerja untuk dapat makan dan jika saya ingin memakai dia untuk bersenang-senang, dia akan menjadi pelacur saya.
Saya menikmati ketika menyakiti, memukuli, dan menghina Fatima. Saya sangat yakin dia tidak benar-benar memeluk Islam dan bahwa dia hanya menuruti insting kewanitaannya saja. Semua ini membuat saya semakin berniat untuk balas dendam padanya. Fatima tinggal bersama saya selama 3 tahun, 7 bulan dan 12 hari. Selama itu, waktu dia tinggal bersama saya, saya telah mentobatkan 8 gadis kepada Islam.
Ketika saya berjumpa dengan Abir, dia sedang menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi yang terletak satu setengah jam dari rumahnya. Dia berasal dari keluarga kaya. Kedua orang-tuanya adalah dokter dan saudara-saudara laki-lakinya adalah dokter angkatan bersenjata Mesir. Walaupun dia pergi ke gereja, dia bukanlah soerang yang religius. Abir adalah orang yang mudah bergaul dan bersahabat baik dengan orang Muslim maupun Kristen. Selain dari keramahannya, tidak mudah bagi kami untuk menjangkaunya dan terpaksa kami harus melakukan sesuatu yang curang. Sebagai pria Muslim kami percaya bahwa kami sedang berada dalam perang yang tak henti-hentinya dengan “orang-orang kafir yang najis”, dan oleh karena itu tidak apa-apa jika kami menipu mereka.
Pada suatu hari saya didatangi seorang pria muda Muslim yang mengatakan pada saya bahwa ia ingin menikahi Abir dan meminta saya menolongnya untuk membujuk Abir supaya masuk Islam. Setelah melakukan banyak perencanaan, saya mendapati bahwa sahabat karib Abir adalah seorang gadis Muslim yang religius. Namun, ia menganggap Abir sebagai saudarinya dan saya sangat terusik dengan hal itu. Maka saya mengunjungi gadis Muslim itu dan berbicara padanya mengenai iman Kristen yang merusak itu dan mengingatkannya akan apa yang dikatakan Allah di dalam Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);...Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (Surah 5:51). Saya mengatakan padanya bahwa jihad terhadap mereka adalah tugas setiap Muslim dan dia harus memberi sumbangsih untuk kemenangan Islam. Gadis Muslim itu percaya bahwa saya benar dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Saya mengatakan padanya agar ia tidak menunjukkan kebencian terhadap teman Kristennya itu, tetapi memperlakukannya sebagaimana biasa dan bahkan berusaha untuk mempererat persahabatan mereka dan mengikuti semua instruksi saya.
Kemudian saya pergi ke seorang ahli farmasi Muslim yang adalah anggota asosiasi kami dan meminta padanya obat untuk menghasilkan halusinasi. Saya mengatakan padanya mengapa saya memerlukan obat itu. Ia mengatakan pada saya bahwa ia juga ingin memberi sumbangsih bagi kemenangan Islam dan oleh karena itu ia setuju untuk menyiapkan obat itu. Lalu saya memberikan obat itu kepada gadis Muslim itu dan mengatakan padanya untuk melarutkan 2 tablet dalam segelas susu dan memberikannya pada Abir untuk diminum, dan kemudian segera memanggil kami jika ia melihat ada perubahan pada Abir.
Gadis Muslim itu segera memanggil kami ketika Abir mulai berhalusinasi dan kehilangan kontrol di apartemennya. Kami tiba disana dengan membawa sebuah kamera dan video perekam. Kami mulai bercanda dengan Abir dan dia menanggapi, tidak sadar dengan apa yang sedang kami lakukan sampai teman saya berhasil menelanjanginya dan membawanya ke kamar tidur.
Saya merekam semuanya dengan video dan mengambil gambar selama kira-kira 3 jam. Ketika Abir mulai siuman, ia menyadari apa yang telah terjadi dan mulai menjerit dan menangis. Ia menghina kami, Islam, dan nabi Islam, dan mencoba merobek Qur’an milik sahabatnya. Saya menunjukkan rekaman video dan foto-fotonya dan mengancam akan memperbanyak dan membagikannya kepada keluarganya, juga kepada keluarga-keluarga Kristen lainnya. Saya mengingatkannya bahwa ia akan dipermalukan oleh karena skandal ini. Ia menangis dan tersungkur di lantai, menciumi sepatu kami dan memohon agar kami tidak melakukan hal itu, tetapi kami bersikeras bahwa dia harus melakukan apa yang kami perintahkan padanya, karena dia tahu bahwa saudara-saudara laki-lakinya dan kerabatnya bahkan mungkin akan membunuhnya jika mereka melihat isi video itu.
Dia menyerah. Air mata dan keputus-asaannya membuat saya bersukacita. Selama beberapa minggu berikutnya, dia mengikuti kami ke asosiasi dimana otaknya dicuci oleh para sheikh. Ia tidak dapat membantah apapun yang dikatakan mereka. Dia sangat bersusah hati dan tidak pernah berhenti menangis.
Kami mengajarinya apa yang harus dikatakannya sebelum saatnya untuk dia pergi ke kantor polisi. Dia mengikuti instruksi-instruksi kami ketika dia diwawancarai oleh polisi. Dan ketika seorang petugas polisi bertanya padanya mengapa dia ingin masuk Islam, ia berkata bahwa nabi Muhammad datang padanya dalam sebuah mimpi dan menyapanya dengan salam Islam, memanggilnya “Aisha”. Yesus juga ada dalam mimpi itu, menyapanya dengan sapaan Islam, dan mencela semua orang Kristen, berkata bahwa tiada Tuhan selain Allah. Ia berkata Yesus mengatakan padanya bahwa Dia (Yesus) adalah hamba dan nabi Allah dan Muhammad adalah nabi Allah. Lalu katanya, Yesus mencium kepala Muhammad dan memintanya untuk mengulangi ucapannya yang merupakan kata-kata Allah yang terdapat di dalam Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Surah 3:85)
Dia mengatakan hal ini tidak hanya kepada petugas polisi, tetapi juga kepada anggota keluarganya dan pendeta-pendeta yang datang mengunjunginya. Reaksinya selama kunjungan-kunjungan itu, yang disebut sesi konseling, kami awasi dan telah mendapat persetujuan dari polisi sebelumnya. Semuanya hanyalah kebohongan dan walaupun ia dikunjungi oleh pendeta yang berbeda-beda, ia hanya dapat mengatakan apa yang telah kami ajarkan padanya.
Setelah semua prosedur resmi selesai, kami memberinya identitas baru dan nama Islam: Aisha Abdalla Elmahdy. Kami telah menuntaskan rencana kami dan pria Muslim itu, Yasser, seorang mujahid, mendapatkan gadis yang diinginkannya dan juga bayarannya yang cukup banyak karena Abir berasal dari sebuah keluarga Kristen yang terpandang. Saya menerima bayaran 25% dari bagiannya, ditambah bagian saya dari jumlah yang saya bayarkan kepada pihak-pihak yang turut terlibat.
Keluarga Aisha kehilangan kehormatannya dan sangat dipermalukan. Akibatnya, ibunya menutup apotiknya dan ayahnya menjual kliniknya. Mereka pindah ke tempat lain dimana mereka dapat menghilang di keramaian orang banyak dan terlepas dari skandal itu. Lalu Aisha menikah dengan Yasser dan hidup sebagai orang buangan, karena ia tidak disukai keluarga suaminya. Ia baru menjalani pernikahannya selama 2 bulan ketika Yasser mengatakan padanya bahwa ia sudah muak dengan Aisha dan ingin menceraikannya. Yasser menceraikannya dan membuangnya ke jalanan.
Oleh karena dia adalah saudari kami dalam Islam maka ia tidak boleh tinggal di jalanan, saya membawanya ke asosiasi, disana ia tinggal dan bekerja sebagai pembantu, membersihkan klinik supaya ia dapat membayar sewa dan membeli makanan. Dia tinggal disana selama 3 bulan hingga telah diijinkan secara sah untuk menikah lagi. Calon pengantin prianya adalah seorang Muslim yang tahu kisah hidup Aisha. Dia adalah seorang kuli, sudah menikah dan mempunyai 6 anak. Pada siang hari, ia bekerja di bengkel pemeliharaan di kantor administrasi pemerintah. Aisha tidak mau menikahinya dan memohon kepada kami agar ia tidak usah menjalaninya. Kami mengabaikannya, dan ia dipaksa menikahi pria yang tidak disukainya.
Aisha hidup dalam kesengsaraan. Ia bekerja sebagai pembantu untuk membersihkan rumah dan menjual sayur-mayur supaya dapat memberi makan suaminya dan anak-anak suaminya. Sulit sekali membayangkan bahwa dulunya dia adalah seorang mahasiswi dari keluarga dokter yang kaya raya. Hidupnya sudah hancur. Setelah 5 bulan menikah suaminya yang kedua menceraikannya. Oleh karena dia sudah pernah menikah 2 kali, maka ia tidak menikah lagi dan oleh karena banyak orang sudah mengetahui soal rekaman video dan foto-fotonya waktu ia dibius, ia dianggap najis. Ia menjadi gelandangan dan harus bermalam di tenda-tenda darurat dimana ia hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi. Ketika ia telah sangat terpuruk ia berteriak: “Tuhan kasihanilah saya”.
Tuhan berbelas-kasihan dan menjawab doanya.
Ketika ia masih menjadi gelandangan, saya menjadi orang Kristen dan saya berusaha mencari gadis-gadis yang telah saya tipu untuk masuk Islam. Saya menemukannya dan mengunjunginya bersama istri saya, yang telah kembali ke gereja. Saya dan istri saya memeliharanya di rumah kami. Kami berusaha menginformasikan pada orang-tuanya tentang situasi Aisha, sehingga saya mengirim seorang kerabat istri saya bersama dengan seorang pendeta, yang berbincang dengan mereka. Mereka semua menangis mendengar berita itu dan menunjukkan kerinduan mereka untuk bertemu dengannya. Reuni keluarga itu diadakan di sebuah gereja di Kairo. Sebuah reuni yang sangat berkesan. Saya menyangka keluarganya akan memukulinya, namun ternyata tidak, dan mereka sangat gembira karena telah bertemu dengannya.
Ketika keluarganya memeluk dan menciuminya, saya sangat tersentuh oleh kasih yang saya lihat sehingga membuat saya keheranan mengapa kami menyakiti orang-orang Kristen begitu rupa. Saya dulu selalu menghina senyum di wajah mereka ketika kami mengkritik, menyakiti, atau mempermalukan mereka. Biasanya saya berkata pada diri sendiri senyuman mereka adalah senyuman kelicikan karena mereka adalah kaum minoritas dan tidak dapat menandingi kami orang Muslim. Sekarang saya tahu alasan di balik senyuman itu. Itulah kasih mereka, pengampunan, dan toleransi terhadap musuh-musuh mereka. Itulah karakter Kristen yang membawa damai.
Setelah Abir bertemu dengan keluarganya, ia kembali pulang bersama mereka. Mereka menyambutnya dengan kasih dan kebaikan seperti kisah anak yang hilang yang dicatat dalam Alkitab. Ibunya membelikannya pakaian yang bagus dan ayahnya membelikannya perhiasan. Mereka merayakan kepulangannya dan mengulangi kalimat di dalam Alkitab (“Putri kami sudah mati dan sekarang hidup kembali, ia terhilang dan sekarang telah ditemukan”).
Sebuah permohonan disampaikan kepada Konsil Rohaniwan untuk mengesahkan kembalinya Abir ke kekristenan, dan itu disetujui. Seorang pengacara Kristen dengan sukarela memberikan petisi kepada pengadilan untuk mengembalikan lagi padanya nama Kristennya dan kartu identitas dirinya. Pengadilan mengabulkan permohonan itu. Kini dia tinggal di Perancis bersama suami dan putrinya.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 4 - Wajah Islam Yang Sebenarnya
Pada 11 September 2001, saya melihat wajah Islam yang sebenarnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena ada begitu banyak orang kafir yang dibantai dengan mudahnya....Saya melihat banyak orang mulai bersyukur kepada Allah atas pembantaian massal ini”.
“Pada 11 September”, ujar Khaled, “Saya melihat wajah Islam yang sebenarnya”. Pada 11 September, limabelas dari sembilan belas orang pembajak yang menyerang Amerika Serikat adalah warga negara Arab Saudi. Ditambah lagi, Osama Bin Laden – tersangka utama penyerangan atas World Trade Center dan Pentagon yang memakan korban lebih dari 3000 jiwa – juga kelahiran Saudi, walaupun kewarganegaraannya telah dicopot oleh pemerintah pada tahun 1994. Jadi bagaimana Arab Saudi membuat beberapa warganya merasa bahwa adalah kewajiban mereka untuk melaksanakan misi bunuh diri di belahan dunia lain? Khaled Waleed percaya bahwa apa yang telah diajarkan padanya di mesjid di Arab Saudi sama persis dengan pengajaran yang diterima bin Laden dan itulah sebabnya ada begitu banyak orang muda Muslim di Arab Saudi mendukungnya. Khaled percaya bahwa 11 September mendemonstrasikan wajah Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan di Kerajaan. Kesaksiannya mengundang kita untuk memiliki pemahaman yang lebih jelas mengenai pengajaran-pengajaran itu dan pola pikir dari perancaang-perancang peristiwa 11 September. Khaled mengalami secara langsung pengajaran-pengajaran Islam. Ia tidak percaya bahwa beberapa teroris hanyalah oknum yang merusak Islam. Ia percaya bahwa tindakan-tindakan teroris justru konsisten dengan Islam. Itulah sebabnya mengapa ia meninggalkan Islam. Itulah sebabnya mengapa ia mengingatkan kita agar berdiri melawan Islam. Itulah sebabnya ia mengkhawatirkan masa depan negara-negara Barat.
Pada 11 September 2001, saya melihat wajah Islam yang sebenarnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena ada begitu banyak orang kafir yang dibantai dengan mudahnya....Saya melihat banyak orang mulai bersyukur kepada Allah atas pembantaian massal ini”.
“Pada 11 September”, ujar Khaled, “Saya melihat wajah Islam yang sebenarnya”. Pada 11 September, limabelas dari sembilan belas orang pembajak yang menyerang Amerika Serikat adalah warga negara Arab Saudi. Ditambah lagi, Osama Bin Laden – tersangka utama penyerangan atas World Trade Center dan Pentagon yang memakan korban lebih dari 3000 jiwa – juga kelahiran Saudi, walaupun kewarganegaraannya telah dicopot oleh pemerintah pada tahun 1994. Jadi bagaimana Arab Saudi membuat beberapa warganya merasa bahwa adalah kewajiban mereka untuk melaksanakan misi bunuh diri di belahan dunia lain? Khaled Waleed percaya bahwa apa yang telah diajarkan padanya di mesjid di Arab Saudi sama persis dengan pengajaran yang diterima bin Laden dan itulah sebabnya ada begitu banyak orang muda Muslim di Arab Saudi mendukungnya. Khaled percaya bahwa 11 September mendemonstrasikan wajah Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan di Kerajaan. Kesaksiannya mengundang kita untuk memiliki pemahaman yang lebih jelas mengenai pengajaran-pengajaran itu dan pola pikir dari perancaang-perancang peristiwa 11 September. Khaled mengalami secara langsung pengajaran-pengajaran Islam. Ia tidak percaya bahwa beberapa teroris hanyalah oknum yang merusak Islam. Ia percaya bahwa tindakan-tindakan teroris justru konsisten dengan Islam. Itulah sebabnya mengapa ia meninggalkan Islam. Itulah sebabnya mengapa ia mengingatkan kita agar berdiri melawan Islam. Itulah sebabnya ia mengkhawatirkan masa depan negara-negara Barat.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Kesaksian Khaled
Ketika saya masih kanak-kanak, saya telah terbiasa untuk pergi ke mesjid setiap hari. Saya selalu pergi kesana untuk sembahyang, membaca Qur’an, membaca ahadith, dan mempelajari tafsir.
Guru kami dan sarjana-sarjana Islam lainnya mengatakan kepada kami bahwa sebagai seorang Muslim, kami adalah umat yang paling hebat di dunia. Kami juga diberitahu bahwa Muslim Arab Saudi adalah satu-satunya Muslim sejati di dunia, dan dengan demikian, dunia harus meneladani kami (orang Muslim Saudi). Tanpa bertanya lagi, kami benar-benar mampercayai para sarjana Islam itu dan heran mengapa, walau ada anjuran seperti itu, dunia dan sebahagian besar orang tidak meniru kami. Kami sangat bangga karena kamilah Muslim sejati. Sekarang, menurut saya ini adalah sebuah kebohongan.
Para pembaca sekalian, saya berani bersumpah bahwa apa yang saya pelajari di mesjid adalah sama persis dengan apa yang dipelajari bin Laden. Bisa saja anda mengatakan bahwa dia adalah sosok Muslim yang ideal. Percayalah pada saya, hampir semua rakyat kami (di Arab Saudi) mendukungnya dan sangat mengasihinya. Kita tidak dapat menyalahkan bin Laden akan hal ini; sebaliknya, kita harus menyalahkan Islam, agama dari bin Laden. Dia semata-mata hanya mengikuti agamanya huruf per huruf. Tidak diragukan lagi, dia adalah seorang Muslim sejati.
Kisah saya meninggalkan Islam dimulai ketika saya masih kelas 5. Saya membaca Surah al-kahf, ayat 86 (18:86) ketika Zu-Alqarnain telah mencapai titik terbenamnya matahari, disana ia mendapati banyak orang yang menderita oleh karena panas yang amat sangat. Ini karena mereka berada terlalu dekat dengan matahari. Hal yang sama terjadi padanya ketika matahari terbit.
Saya mulai berpikir: Bumi ini tidak datar; bumi ini hampir sama seperti bola, jadi bagaimana mungkin ia dapat mencapai ujung bumi? Saya menanyakan hal ini pada guru saya. Ia jadi bingung dengan pertanyaan saya itu. Ia tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengatakan bahwa yang penting saya harus mempercayai apa yang dikatakan Qur’an.
Inilah awal kecurigaan saya terhadap kebenaran di dalam Qur’an.
Kemudian saya sangat terkejut ketika saya menemukan bahwa jika saya ingin menjadi seorang Muslim yang baik saya harus menjauhi orang-orang non-Muslim. Saya lebih terkejut lagi ketika saya mendapati bahwa jika saya mengasihi orang-orang non-Muslim saya akan menjadi seorang kafir.
Saya suka melakukan banyak hal, termasuk nonton di bioskop, mendengarkan musik, dan berteman dengan atlet dan penyanyi – umumnya mereka bukan Muslim. Artinya sebenarnya saya sudah menjadi kafir. Saya diajari bahwa, supaya dapat masuk surga, saya harus benar-benar mengasihi Nabi Muhammad, yang belum pernah saya lihat, lebih dari siapapun, kalau tidak maka saya akan masuk neraka. Saya sangat dibingungkan. Saya mendengarkan para Imam yang mengajar saya dan saya terusik ketika mereka menggunakan bahasa yang kasar dengan menggambarkan bahwa orang-orang non-Muslim adalah anak cucu monyet dan babi. Saya berpikir jika seseorang berdosa, mestinya itu bukan masalah kita; Allah, pada waktu yang sudah ditentukan-Nya, akan menghukum orang itu. Mengapa para imam kami harus menghukum mereka dengan cara yang sangat keji seperti itu? Lagi-lagi saya terkejut, banyak teman-teman Muslim saya dan para imam kami mengatakan kepada saya bahwa adalah tugas saya untuk menjahati dan menghina orang-orang non-Muslim, karena mereka adalah musuh Muslim. Ketika saya menolak untuk menuruti ajaran Islam untuk mencemoohkan orang-orang kafir, mereka mencap saya sebagai seorang Muslim yang lemah. Mereka bahkan memberitahu saya bahwa seorang asing yang Muslim lebih baik daripada seorang sahabat kafir yang telah lama dikenal dan dipercayai.
Namun, saya berkeras dengan pertanyaan-pertanyaan saya – saya tidak akan membiarkannya tidak terjawab. Pertanyaan terpenting dalam pikiran saya adalah: Bagaimana mungkin ada “Tuhan” yang mengklaim diri-Nya sebagai maha pemurah tapi pada saat yang sama memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling membenci? Mengapa “Tuhan” harus mengancam untuk membakar dan menyiksa orang yang tidak percaya kepada-Nya? Apakah Ia benar-benar memerlukan hal itu? Sepenting itukah kita harus menyembah Dia?
Saya mulai memikirkan hal ini secara mendalam. Saya mempelajari Qur’an dan menemukan bahwa takdir semua orang telah ditentukan oleh Tuhan. Tuhan telah menentukan siapa saja yang akan masuk neraka dan siapa saja yang akan masuk surga! Oleh karena itu, secara logis, manusia tidak perlu berdoa. Ketika saya menanyakan hal ini kepada teman-teman saya yang religius, mereka jadi marah. Mereka bertanya pada saya bagaimana saya bisa tahu kalau nantinya saya akan masuk surga atau masuk neraka. Saya mengatakan pada mereka, oleh karena takdir kita telah ditentukan Tuhan, maka berdoa atau tidak, tidak ada bedanya. Pikir mereka saya sudah gila karena saya meragukan Allah dan Qur’an.
Inilah awal saya membenci Islam. Namun, saya tidak berdaya. Dalam masyarakat tempat saya tinggal, saya tidak dapat secara terbuka melakukan hal-hal yang menentang Islam.
Pada tahun 1999, ibu saya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ini adalah titik balik dalam hidup saya. Saya berpikir: Kami, orang Muslim, bukanlah umat yang terhebat di dunia. Sama seperti manusia lain, kami juga jatuh sakit dan mati. Saya juga menyimpulkan bahwa jika kami bekerja keras maka kami akan berhasil; jika tidak, maka kami juga akan gagal. Hal-hal seperti “kehendak Allah” itu tidak ada. Tidak ada yang istimewa untuk orang Muslim.
Ketika saya memperhatikan dunia Islam, yang saya temukan hanyalah ketidakadilan semata, diskriminasi yang luarbiasa terhadap wanita dan orang kafir, kejahatan dan pelecehan terhadap hak-hak azasi manusia, ditambah lagi korupsi politik yang mutlak di negara-negara Islam. Kenyataannya, tidak ada hal yang baik yang dapat disebutkan di dalam dunia Islam. Pada umunya dunia Islam berada dalam masalah besar, sedangkan di negara-negara non-Muslim lebih ada damai, kemakmuran dan kebebasan.
Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apakah penyebab dari semua ini?” Jawaban yang ada untuk saya hanyalah: Islam.
Walaupun kebencian saya terhadap Islam semakin bertambah, saya tidak dapat meninggalkannya. Saya masih belum dapat membawa diri saya kepada realita bahwa Islam dapat menjadi seburuk itu. Saya berpikir mungkin masalahnya terletak pada umatnya dan bukan agamanya.
Namun, pada 11 September 2001, saya melhat wajah Islam yang sesungguhnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena ada begitu banyak orang kafir yang dibantai dengan mudahnya. Saya syok melihat rakusnya bangsa kami membunuhi orang-orang kafir yang tidak berdosa. Saya melihat banyak orang mulai bersyukur kepada Allah atas pembantaian massal ini. Bangsa kami yang islami ini berkata bahwa Allah telah mengabulkan permohonan kami, dan ini adalah awal penghancuran negara-negara kafir.
Bagi saya, ini sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Kemudian, imam memohon kepada Allah agar menolong Taliban memerangi tentara Amerika. Saya marah. Sejak itulah saya berhenti sembahyang.
Pada tahun 2007, saya bertemu dengan manajer saya seorang Pakistan, yang menurut saya adalah seorang yang anti Islam. Dia membuat saya merasa lagi bahwa saya adalah seorang manusia. Dia meyakinkan saya bahwa sebenarnya saya tidak gila. Saya tidak lagi pergi ke mesjid, saya berhenti sembahyang, saya tidak menjalankan ibadah puasa. Bulan Ramadan silam saya tidak berpuasa seharipun.
Sekarang saya merasa bahagia dan lega. Saya dapat menonton film dan mendengarkan musik tanpa rasa bersalah atau takut. Saya merasa benar-benar sebagai seorang manusia dan saya bebas melakukan apa yang saya inginkan. Mulai dari sekarang, saya akan menceritakan kebenaran tentang agama Islam yang jahat ini.
Ketika saya masih kanak-kanak, saya telah terbiasa untuk pergi ke mesjid setiap hari. Saya selalu pergi kesana untuk sembahyang, membaca Qur’an, membaca ahadith, dan mempelajari tafsir.
Guru kami dan sarjana-sarjana Islam lainnya mengatakan kepada kami bahwa sebagai seorang Muslim, kami adalah umat yang paling hebat di dunia. Kami juga diberitahu bahwa Muslim Arab Saudi adalah satu-satunya Muslim sejati di dunia, dan dengan demikian, dunia harus meneladani kami (orang Muslim Saudi). Tanpa bertanya lagi, kami benar-benar mampercayai para sarjana Islam itu dan heran mengapa, walau ada anjuran seperti itu, dunia dan sebahagian besar orang tidak meniru kami. Kami sangat bangga karena kamilah Muslim sejati. Sekarang, menurut saya ini adalah sebuah kebohongan.
Para pembaca sekalian, saya berani bersumpah bahwa apa yang saya pelajari di mesjid adalah sama persis dengan apa yang dipelajari bin Laden. Bisa saja anda mengatakan bahwa dia adalah sosok Muslim yang ideal. Percayalah pada saya, hampir semua rakyat kami (di Arab Saudi) mendukungnya dan sangat mengasihinya. Kita tidak dapat menyalahkan bin Laden akan hal ini; sebaliknya, kita harus menyalahkan Islam, agama dari bin Laden. Dia semata-mata hanya mengikuti agamanya huruf per huruf. Tidak diragukan lagi, dia adalah seorang Muslim sejati.
Kisah saya meninggalkan Islam dimulai ketika saya masih kelas 5. Saya membaca Surah al-kahf, ayat 86 (18:86) ketika Zu-Alqarnain telah mencapai titik terbenamnya matahari, disana ia mendapati banyak orang yang menderita oleh karena panas yang amat sangat. Ini karena mereka berada terlalu dekat dengan matahari. Hal yang sama terjadi padanya ketika matahari terbit.
Saya mulai berpikir: Bumi ini tidak datar; bumi ini hampir sama seperti bola, jadi bagaimana mungkin ia dapat mencapai ujung bumi? Saya menanyakan hal ini pada guru saya. Ia jadi bingung dengan pertanyaan saya itu. Ia tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengatakan bahwa yang penting saya harus mempercayai apa yang dikatakan Qur’an.
Inilah awal kecurigaan saya terhadap kebenaran di dalam Qur’an.
Kemudian saya sangat terkejut ketika saya menemukan bahwa jika saya ingin menjadi seorang Muslim yang baik saya harus menjauhi orang-orang non-Muslim. Saya lebih terkejut lagi ketika saya mendapati bahwa jika saya mengasihi orang-orang non-Muslim saya akan menjadi seorang kafir.
Saya suka melakukan banyak hal, termasuk nonton di bioskop, mendengarkan musik, dan berteman dengan atlet dan penyanyi – umumnya mereka bukan Muslim. Artinya sebenarnya saya sudah menjadi kafir. Saya diajari bahwa, supaya dapat masuk surga, saya harus benar-benar mengasihi Nabi Muhammad, yang belum pernah saya lihat, lebih dari siapapun, kalau tidak maka saya akan masuk neraka. Saya sangat dibingungkan. Saya mendengarkan para Imam yang mengajar saya dan saya terusik ketika mereka menggunakan bahasa yang kasar dengan menggambarkan bahwa orang-orang non-Muslim adalah anak cucu monyet dan babi. Saya berpikir jika seseorang berdosa, mestinya itu bukan masalah kita; Allah, pada waktu yang sudah ditentukan-Nya, akan menghukum orang itu. Mengapa para imam kami harus menghukum mereka dengan cara yang sangat keji seperti itu? Lagi-lagi saya terkejut, banyak teman-teman Muslim saya dan para imam kami mengatakan kepada saya bahwa adalah tugas saya untuk menjahati dan menghina orang-orang non-Muslim, karena mereka adalah musuh Muslim. Ketika saya menolak untuk menuruti ajaran Islam untuk mencemoohkan orang-orang kafir, mereka mencap saya sebagai seorang Muslim yang lemah. Mereka bahkan memberitahu saya bahwa seorang asing yang Muslim lebih baik daripada seorang sahabat kafir yang telah lama dikenal dan dipercayai.
Namun, saya berkeras dengan pertanyaan-pertanyaan saya – saya tidak akan membiarkannya tidak terjawab. Pertanyaan terpenting dalam pikiran saya adalah: Bagaimana mungkin ada “Tuhan” yang mengklaim diri-Nya sebagai maha pemurah tapi pada saat yang sama memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling membenci? Mengapa “Tuhan” harus mengancam untuk membakar dan menyiksa orang yang tidak percaya kepada-Nya? Apakah Ia benar-benar memerlukan hal itu? Sepenting itukah kita harus menyembah Dia?
Saya mulai memikirkan hal ini secara mendalam. Saya mempelajari Qur’an dan menemukan bahwa takdir semua orang telah ditentukan oleh Tuhan. Tuhan telah menentukan siapa saja yang akan masuk neraka dan siapa saja yang akan masuk surga! Oleh karena itu, secara logis, manusia tidak perlu berdoa. Ketika saya menanyakan hal ini kepada teman-teman saya yang religius, mereka jadi marah. Mereka bertanya pada saya bagaimana saya bisa tahu kalau nantinya saya akan masuk surga atau masuk neraka. Saya mengatakan pada mereka, oleh karena takdir kita telah ditentukan Tuhan, maka berdoa atau tidak, tidak ada bedanya. Pikir mereka saya sudah gila karena saya meragukan Allah dan Qur’an.
Inilah awal saya membenci Islam. Namun, saya tidak berdaya. Dalam masyarakat tempat saya tinggal, saya tidak dapat secara terbuka melakukan hal-hal yang menentang Islam.
Pada tahun 1999, ibu saya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ini adalah titik balik dalam hidup saya. Saya berpikir: Kami, orang Muslim, bukanlah umat yang terhebat di dunia. Sama seperti manusia lain, kami juga jatuh sakit dan mati. Saya juga menyimpulkan bahwa jika kami bekerja keras maka kami akan berhasil; jika tidak, maka kami juga akan gagal. Hal-hal seperti “kehendak Allah” itu tidak ada. Tidak ada yang istimewa untuk orang Muslim.
Ketika saya memperhatikan dunia Islam, yang saya temukan hanyalah ketidakadilan semata, diskriminasi yang luarbiasa terhadap wanita dan orang kafir, kejahatan dan pelecehan terhadap hak-hak azasi manusia, ditambah lagi korupsi politik yang mutlak di negara-negara Islam. Kenyataannya, tidak ada hal yang baik yang dapat disebutkan di dalam dunia Islam. Pada umunya dunia Islam berada dalam masalah besar, sedangkan di negara-negara non-Muslim lebih ada damai, kemakmuran dan kebebasan.
Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apakah penyebab dari semua ini?” Jawaban yang ada untuk saya hanyalah: Islam.
Walaupun kebencian saya terhadap Islam semakin bertambah, saya tidak dapat meninggalkannya. Saya masih belum dapat membawa diri saya kepada realita bahwa Islam dapat menjadi seburuk itu. Saya berpikir mungkin masalahnya terletak pada umatnya dan bukan agamanya.
Namun, pada 11 September 2001, saya melhat wajah Islam yang sesungguhnya. Saya melihat kegembiraan di wajah bangsa kami karena ada begitu banyak orang kafir yang dibantai dengan mudahnya. Saya syok melihat rakusnya bangsa kami membunuhi orang-orang kafir yang tidak berdosa. Saya melihat banyak orang mulai bersyukur kepada Allah atas pembantaian massal ini. Bangsa kami yang islami ini berkata bahwa Allah telah mengabulkan permohonan kami, dan ini adalah awal penghancuran negara-negara kafir.
Bagi saya, ini sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Kemudian, imam memohon kepada Allah agar menolong Taliban memerangi tentara Amerika. Saya marah. Sejak itulah saya berhenti sembahyang.
Pada tahun 2007, saya bertemu dengan manajer saya seorang Pakistan, yang menurut saya adalah seorang yang anti Islam. Dia membuat saya merasa lagi bahwa saya adalah seorang manusia. Dia meyakinkan saya bahwa sebenarnya saya tidak gila. Saya tidak lagi pergi ke mesjid, saya berhenti sembahyang, saya tidak menjalankan ibadah puasa. Bulan Ramadan silam saya tidak berpuasa seharipun.
Sekarang saya merasa bahagia dan lega. Saya dapat menonton film dan mendengarkan musik tanpa rasa bersalah atau takut. Saya merasa benar-benar sebagai seorang manusia dan saya bebas melakukan apa yang saya inginkan. Mulai dari sekarang, saya akan menceritakan kebenaran tentang agama Islam yang jahat ini.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 5 - Dari Percaya Menuju Pencerahan
“Allah sangat tidak peduli. Qur’an penuh dengan kesalahan...Allah tidak eksis dimanapun kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras.
...Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya berdoa kepada sebuah fantasi”.
Memang mudah menyebut orang yang meninggalkan Islam sebagai “orang yang sesat”, namun tidak mudah menjalani hidup sebagai orang yang sesat. “Proses berjalan dari iman kepada pencerahan adalah sesuatu yang sulit dan menyakitkan”, dan menurut Ali Sina hal itu bukanlah sebuah keputusan yang mudah.
Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang religius, Ali menjadi sangat prihatin terhadap ajaran-ajaran fanatik dari para mullah di mesjid keluarganya. Lebih jauh lagi, ia tidak dapat mengerti kebencian banyak orang Muslim yang dialamatkan kepada hampir semua orang non-Muslim. Ali juga menyaksikan bagaimana pengajaran yang ia terima mengenai Qur’an berisi kebencian dan menganjurkan prasangka buruk. Ketika ia merasa sulit menerima hal ini, ia mulai bertanya bagaimana Pencipta alam semesta ini dapat begitu kejam dan berpikiran sempit, terutama berkenaan dengan kaum wanita yang adalah embisil (kaum yang dipandang lebih rendah daripada idiot – Red). Dalam negara Islam, kesaksian seorang wanita dianggap tidak dapat dipercaya di pengadilan, dan jika seorang wanita diperkosa ia tidak dapat menggugat pemerkosanya. Karena menyaksikan pelecehan seperti itu terhadap kaum wanita dan hak-hak mereka, Ali akhirnya membuka sebuah situs untuk menjangkau orang-orang Muslim lainnya yang berhati baik, yang mungkin mempunyai keprihatinan yang sama dengannya. Para penganut Islam segera membungkamnya. Namun, ia mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk memulai lagi dan hari ini ia percaya bahwa cara-cara lama dengan membunuh orang-orang sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam mereka tidak akan berhasil. Dalam jaman modern ini, Ali percaya tidak seorang pun dapat menghentikan orang untuk membaca dan berpikir secara kritis, dan bahwa sekarang pintu untuk kebebasan berpikir telah terbuka dan tidak akan ditutup lagi.Walaupun situs Ali dilarang di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara Islam lainnya, ia percaya bahwa ada sejumlah besar orang Muslim lainnya yang tidak pernah mengetahui kebenaran, terekspos dengan kebenaran itu dan untuk pertama kalinya dikejutkan dengan realitas. Kesaksiannya merupakan kisah yang panjang hingga tiba pada menemukan sendiri. Tragedi yang tertulis di halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah orang-orang yang dibunuh dalam nama Allah.
“Allah sangat tidak peduli. Qur’an penuh dengan kesalahan...Allah tidak eksis dimanapun kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras.
...Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya berdoa kepada sebuah fantasi”.
Memang mudah menyebut orang yang meninggalkan Islam sebagai “orang yang sesat”, namun tidak mudah menjalani hidup sebagai orang yang sesat. “Proses berjalan dari iman kepada pencerahan adalah sesuatu yang sulit dan menyakitkan”, dan menurut Ali Sina hal itu bukanlah sebuah keputusan yang mudah.
Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang religius, Ali menjadi sangat prihatin terhadap ajaran-ajaran fanatik dari para mullah di mesjid keluarganya. Lebih jauh lagi, ia tidak dapat mengerti kebencian banyak orang Muslim yang dialamatkan kepada hampir semua orang non-Muslim. Ali juga menyaksikan bagaimana pengajaran yang ia terima mengenai Qur’an berisi kebencian dan menganjurkan prasangka buruk. Ketika ia merasa sulit menerima hal ini, ia mulai bertanya bagaimana Pencipta alam semesta ini dapat begitu kejam dan berpikiran sempit, terutama berkenaan dengan kaum wanita yang adalah embisil (kaum yang dipandang lebih rendah daripada idiot – Red). Dalam negara Islam, kesaksian seorang wanita dianggap tidak dapat dipercaya di pengadilan, dan jika seorang wanita diperkosa ia tidak dapat menggugat pemerkosanya. Karena menyaksikan pelecehan seperti itu terhadap kaum wanita dan hak-hak mereka, Ali akhirnya membuka sebuah situs untuk menjangkau orang-orang Muslim lainnya yang berhati baik, yang mungkin mempunyai keprihatinan yang sama dengannya. Para penganut Islam segera membungkamnya. Namun, ia mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk memulai lagi dan hari ini ia percaya bahwa cara-cara lama dengan membunuh orang-orang sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam mereka tidak akan berhasil. Dalam jaman modern ini, Ali percaya tidak seorang pun dapat menghentikan orang untuk membaca dan berpikir secara kritis, dan bahwa sekarang pintu untuk kebebasan berpikir telah terbuka dan tidak akan ditutup lagi.Walaupun situs Ali dilarang di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara Islam lainnya, ia percaya bahwa ada sejumlah besar orang Muslim lainnya yang tidak pernah mengetahui kebenaran, terekspos dengan kebenaran itu dan untuk pertama kalinya dikejutkan dengan realitas. Kesaksiannya merupakan kisah yang panjang hingga tiba pada menemukan sendiri. Tragedi yang tertulis di halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah orang-orang yang dibunuh dalam nama Allah.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Kesaksian Ali
Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga religius moderat. Dari pihak ibu saya, saya mempunyai beberapa kerabat yang adalah para ayatollah. Walaupun kakek saya (yang tidak pernah saya lihat) nampaknya lebih skeptis, kami adalah orang-orang beriman. Orangtua saya tidak terlalu menyukai para mullah. Kenyataannya, kami tidak terlalu berhubungan dengan para kerabat kami yang fundamentalis. Kami suka menganggap diri kami sebagai orang-orang yang percaya kepada “Islam yang sejati”, bukan Islam seperti yang diajarkan dan dipraktekkan oleh para mullah.
Saya teringat satu ketika saya mendiskusikan soal agama dengan suami dari salah satu bibi saya ketika saya masih kira-kira berumur 15 tahun. Ia adalah seorang Muslim yang fanatik yang sangat tertarik kepada fiqh (yurisprudensi Islam). Fiqh menjelaskan bagaimana caranya seorang Muslim harus berdoa, berpuasa, menjalankan hidup pribadi dan bermasyarakat mereka, membersihkan diri, menggunakan toilet, bahkan bersetubuh. Menurut saya ini tidak ada hubungannya dengan Islam sejati, itu hanya karangan para mullah, perhatian berlebihan terhadap fiqh mengurangi dampak dan pentingnya kemurnian berita Islam – yaitu penyatuan manusia dengan Penciptanya. Pandangan ini banyak diispirasikan oleh kaum Sufi. Banyak orang Iran, berterimakasih atas puisi-puisi Rumi, dalam penampilan mereka adalah kaum Sufi pada tingkatan yang tinggi.
Di awal masa muda, saya melihat adanya diskriminasi dan kekejaman terhadap pemeluk agama minoritas di Iran. Ini sangat terlihat di kota-kota propinsi yang tingkat pendidikannya rendah dan para mullah sangat menguasai orang-orang yang mudah tertipu. Oleh karena pekerjaan ayah saya, kami lebih sering tinggal di kota-kota kecil di luar ibukota. Saya teringat suatu kali guru kami ingin membawa kelas kami pergi berenang. Kami sangat gembira dan sangat menanti-nantikan hari itu. Di kelas kami ada beberapa anak yang menganut agama Baha’i dan Yahudi. Pak guru tidak mengijinkan mereka untuk ikut serta. Ia berkata bahwa mereka tidak diijinkan untuk berenang di kolam yang sama dengan orang Muslim. Saya tidak dapat melupakan kekecewaan anak-anak itu saat mereka meninggalkan sekolah sambil menangis, tertunduk dan hancur hati. Pada usia itu, kira-kira 9 atau 10 tahun, saya menganggap ketidakadilan itu sangat tidak masuk akal dan menyedihkan.Menurut saya itulah kesalahan anak-anak itu – karena mereka bukan Muslim.
Saya percaya bahwa saya adalah orang yang beruntung karena mempunyai orangtua yang berpikiran terbuka yang mendorong saya untuk berpikir secara kritis. Mereka berusaha menanamkan pada saya kasih Tuhan dan utusan-Nya, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti persamaan hak antara pria dan wanita, dan kasih untuk semua umat manusia. Dengan kata lain, beginilah gambaran keluarga-keluarga Iran modern pada umumnya. Kenyataannya, mayoritas Muslim yang berpendidikan percaya bahwa Islam adalah agama yang manusiawi yang menghormati hak-hak azasi manusia, yang meninggikan status wanita dan melindungi hak-hak mereka. Banyak orang Muslim percaya bahwa Islam berarti damai. Jelas bahwa hanya sedikit diantara mereka yang sudah membaca Qur’an.
Saya menghabiskan awal masa remaja saya dengan mimpi indah ini, mendukung “Islam sejati” karena menurut saya memang sudah seharusnya demikian, dan mengkritik para mullah dan penyimpangan mereka dari ajaran Islam yang sejati. Saya memuja Islam yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang saya anut. Tentu saja Islam dalam bayangan saya adalah sebuah agama yang indah. Islam adalah agama kesetaraan dan damai. Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk mencari ilmu dan mempunyai sifat ingin tahu. Islam adalah agama yang harmonis dengan sains dan akal. Kenyataannya, saya berpikir bahwa sains terinspirasi oleh Islam. Islam yang saya percayai adalah agama yang memancarkan sains modern, yang akhirnya menghasilkan buah di dunia Barat, dan memungkinkan adanya penciptaan dan penemuan-penemuan modern. Saya percaya bahwa Islam adalah tujuan sejati peradaban modern. Menurut saya, alasan mengapa orang-orang Muslim hidup dalam kebebalan yang sangat menyedihkan adalah karena kesalahan para mullah yang lebih mementingkan diri sendiri dan para pemimpin agama yang telah salah menafsirkan ajaran Islam yang sejati hanya untuk keuntungan pribadi mereka semata.
Banyak orang Muslim percaya bahwa peradaban Barat yang luarbiasa itu sesungguhnya berakar dalam Islam. Mereka berpandangan bahwa pikiran-pikiran ilmiah Timur Tengah yang luarbiasa itu, yang telah banyak memberi kontribusi pada sains, memegang peranan penting dalam kelahiran sains modern. Omar Khayyam adalah ahli matematika yang luarbiasa yang dengan tepat mengkalkulasikan panjangnya satu tahun menjadi .74% dari sedetik. Zakaria Razi dipandang sebagai salah seorang dari pendiri mula-mula sains empiris yang mendasarkan pengetahuannya pada riset dan percobaan. Ensiklopedia medis bersejarah dari Avicenna (Bu Ali Sina) diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama berabad-abad. Masih ada begitu banyak lagi orang-orang yang memberikan pencerahan-pencerahan besar yang mempunyai nama yang berbau Islam yang merupakan pelopor-pelopor sains modern ketika Eropa sedang merana dengan Abad Kegelapan dari masa pertengahan. Seperti orang Muslim lainnya, saya bercaya bahwa semua orang besar itu adalah Muslim, bahwa mereka terinspirasi oleh kekayaan pengetahuan yang tersembunyi dalam Qur’an, dan jika orang-orang Muslim jaman sekarang dapat memperoleh kembali kemurnian Islam yang mula-mula, hari-hari kejayaan Islam yang telah hilang akan kembali dan orang-orang Muslim akan memimpin kemajuan peradaban dunia ini sekali lagi.
Iran adalah sebuah negara Muslim, tetapi juga sebuah negara yang rusak. Kesempatan untuk masuk perguruan tinggi sangat tipis. Hanya satu dari 10 orang yang mendaftar dapat masuk perguruan tinggi. Seringkali mereka dipaksa untuk memilih mata kuliah yang tidak ingin mereka pelajari karena mereka tidak dapat mencapai poin yang cukup untuk mata kuliah pilihan mereka. Siswa yang mempunyai koneksi yang tepat seringkali mendapatkan bangku di perguruan tinggi.
Standar pendidikan di Iran tidaklah tinggi. Perguruan-perguruan tinggi kurang mendapatkan dukungan biaya, karena Shah lebih suka membangun kekuatan militer guna membangun infrastruktur negara itu dan berinvestasi pada pendidkan rakyat. Inilah alasan mengapa ayah saya berpikir lebih baik saya meninggalkan Iran untuk melanjutkan pendidikan saya dimana saja.
Kami mempertimbangkan Amerika dan Eropa, tetapi ayah saya, bertindak menuruti nasehat dari beberapa teman nya yang religius, berpikir bahwa sebuah negara Islam yang lain adalah pilihan yang tepat untuk seorang anak berusia 16 tahun. Mereka mengatakan kepada kami bahwa moralitas Barat itu terlalu rendah, banyak orang tersesat, pantai-pantainya dipenuhi orang yang telanjang, dan mereka minum minuman keras dan memiliki gaya hidup yang tidak bermoral, semuanya itu berbahaya untuk orang muda. Jadi akhirnya saya dikirim ke Pakistan, dimana orang-orangnya religius, maka negara itu dinilai aman dan bermoral. Seorang sahabat keluarga kami mengatakan bahwa Pakistan itu sama seperti Inggris, hanya biaya hidup disana lebih murah.
Tentunya hal ini terbukti tidak benar. Saya mendapati ternyata orang-orang Pakistan sama jahatnya dan sama tidak bermoralnya dengan orang-orang Iran. Betul, mereka sangat religius. Mereka tidak makan babi dan saya tidak melihat mereka minum alkohol di depan umum, tetapi saya perhatikan banyak diantara mereka yang mempunyai pikiran yang kotor, berdusta, munafik dan kejam terhadap wanita, dan terlebih lagi, sangat membenci orang India. Menurut saya mereka tidak lebih baik daripada orang Iran dalam hal apa pun. Mereka memang religius, tetapi tidak bermoral dan tidak etis.
Di perguruan tinggi, alih-alih mengambil Kebudayaan Urdu, saya mengambil Kebudayaan Pakistan untuk menyelesaikan level A FSc (Fellow of Science). Saya mempelajari alasan berpisahnya Pakistan dari India dan untuk pertama kalinya saya mendengar tentang Mohammad Ali Jinah, yang disebut oleh orang Pakistan sebagai Qaid-e A’zam, sang Pemimpin Besar. Ia digambarkan sebagai seorang yang pandai, bapak bangsa, sedangkan Gandhi sangat direndahkan. Namun demikian, saya lebih berpihak pada Gandhi dan mengutuk Jinah sebagai seorang yang sombong, ambisius, penjahat yang memecah-belah negara dan yang menyebabkan kematian jutaan orang. Saya selalu mempunyai pikiran saya sendiri dan selalu berpikiran maju. Tak peduli apa yang diajarkan pada saya, saya selalu mempunyai kesimpulan saya sendiri dan tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh orang lain kepada saya.
Saya tidak melihat perbedaan-perbedaan agama sebagai alasan yang kuat untuk memecah-belah negara. Kata “Pakistan” adalah sebuah penghinaan bagi orang India. Orang-orang Pakistan menyebut diri mereka pak (bersih) untuk membedakan mereka dari orang-orang India yang najis (tidak bersih). Ironisnya, saya belum pernah melihat ada orang yang lebih kotor daripada orang Pakistan, baik secara fisik maupun secara mental. Sangat mengecewakan melihat ada negara Islam lain yang begitu rusak secara intelektual dan moral. Dalam diskusi dengan teman-teman saya, saya gagal meyakinkan mereka akan “Islam yang sejati”. Saya mengutuk sikap keras hati dan fanatisme mereka sedangkan mereka tidak menyetujui pandangan-pandangan saya yang tidak islami.
Saya menyampaikan semua ini pada ayah saya dan memutuskan untuk pergi ke Italia untuk melanjutkan studi saya di perguruan tinggi. Di Italia, orang minum alkohol dan makan babi, tetapi mereka lebih murah hati, ramah, dan tidak semunafik orang Muslim. Saya mendapati bahwa orang-orang disana rela menolong sesama tanpa pamrih. Saya bertemu dengan sepasang orangtua yang sangat ramah, mereka mengundang saya untuk makan siang dengan mereka setiap hari Minggu, sehingga saya tidak usah tinggal di rumah sendirian. Mereka tidak menginginkan apa-apa dari saya. Mereka hanya menginginkan seseorang untuk dikasihi. Saya sudah seperti cucu mereka sendiri. Hanyalah orang asing di sebuah negara lain, yang tidak kenal siapapun dan tidak mengenal bahasa setempat, yang dapat menghargai nilai dan makna keramahan dan pertolongan penduduk lokal.
Rumah mereka bersih mengkilap, berlantai keramik yang berkilau. Ini bertentangan dengan apa yang saya pikirkan tentang orang Barat. Walaupun keluarga saya bersikap terbuka terhadap orang lain, Islam mengajarkan saya bahwa orang non-Muslim adalah orang yang najis (Sura 9: dan tidak seorangpun boleh bersahabat dengan mereka. Saya masih menyimpan salinan Qur’an terjemahan Farsi yang biasa saya baca. Salah satu ayat yang digarisbawahi adalah:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya (sahabat, pelindung, penolong, dsb), mereka adalah awliya bagi mereka sendiri”. Sura 5:51.
Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga religius moderat. Dari pihak ibu saya, saya mempunyai beberapa kerabat yang adalah para ayatollah. Walaupun kakek saya (yang tidak pernah saya lihat) nampaknya lebih skeptis, kami adalah orang-orang beriman. Orangtua saya tidak terlalu menyukai para mullah. Kenyataannya, kami tidak terlalu berhubungan dengan para kerabat kami yang fundamentalis. Kami suka menganggap diri kami sebagai orang-orang yang percaya kepada “Islam yang sejati”, bukan Islam seperti yang diajarkan dan dipraktekkan oleh para mullah.
Saya teringat satu ketika saya mendiskusikan soal agama dengan suami dari salah satu bibi saya ketika saya masih kira-kira berumur 15 tahun. Ia adalah seorang Muslim yang fanatik yang sangat tertarik kepada fiqh (yurisprudensi Islam). Fiqh menjelaskan bagaimana caranya seorang Muslim harus berdoa, berpuasa, menjalankan hidup pribadi dan bermasyarakat mereka, membersihkan diri, menggunakan toilet, bahkan bersetubuh. Menurut saya ini tidak ada hubungannya dengan Islam sejati, itu hanya karangan para mullah, perhatian berlebihan terhadap fiqh mengurangi dampak dan pentingnya kemurnian berita Islam – yaitu penyatuan manusia dengan Penciptanya. Pandangan ini banyak diispirasikan oleh kaum Sufi. Banyak orang Iran, berterimakasih atas puisi-puisi Rumi, dalam penampilan mereka adalah kaum Sufi pada tingkatan yang tinggi.
Di awal masa muda, saya melihat adanya diskriminasi dan kekejaman terhadap pemeluk agama minoritas di Iran. Ini sangat terlihat di kota-kota propinsi yang tingkat pendidikannya rendah dan para mullah sangat menguasai orang-orang yang mudah tertipu. Oleh karena pekerjaan ayah saya, kami lebih sering tinggal di kota-kota kecil di luar ibukota. Saya teringat suatu kali guru kami ingin membawa kelas kami pergi berenang. Kami sangat gembira dan sangat menanti-nantikan hari itu. Di kelas kami ada beberapa anak yang menganut agama Baha’i dan Yahudi. Pak guru tidak mengijinkan mereka untuk ikut serta. Ia berkata bahwa mereka tidak diijinkan untuk berenang di kolam yang sama dengan orang Muslim. Saya tidak dapat melupakan kekecewaan anak-anak itu saat mereka meninggalkan sekolah sambil menangis, tertunduk dan hancur hati. Pada usia itu, kira-kira 9 atau 10 tahun, saya menganggap ketidakadilan itu sangat tidak masuk akal dan menyedihkan.Menurut saya itulah kesalahan anak-anak itu – karena mereka bukan Muslim.
Saya percaya bahwa saya adalah orang yang beruntung karena mempunyai orangtua yang berpikiran terbuka yang mendorong saya untuk berpikir secara kritis. Mereka berusaha menanamkan pada saya kasih Tuhan dan utusan-Nya, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti persamaan hak antara pria dan wanita, dan kasih untuk semua umat manusia. Dengan kata lain, beginilah gambaran keluarga-keluarga Iran modern pada umumnya. Kenyataannya, mayoritas Muslim yang berpendidikan percaya bahwa Islam adalah agama yang manusiawi yang menghormati hak-hak azasi manusia, yang meninggikan status wanita dan melindungi hak-hak mereka. Banyak orang Muslim percaya bahwa Islam berarti damai. Jelas bahwa hanya sedikit diantara mereka yang sudah membaca Qur’an.
Saya menghabiskan awal masa remaja saya dengan mimpi indah ini, mendukung “Islam sejati” karena menurut saya memang sudah seharusnya demikian, dan mengkritik para mullah dan penyimpangan mereka dari ajaran Islam yang sejati. Saya memuja Islam yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang saya anut. Tentu saja Islam dalam bayangan saya adalah sebuah agama yang indah. Islam adalah agama kesetaraan dan damai. Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk mencari ilmu dan mempunyai sifat ingin tahu. Islam adalah agama yang harmonis dengan sains dan akal. Kenyataannya, saya berpikir bahwa sains terinspirasi oleh Islam. Islam yang saya percayai adalah agama yang memancarkan sains modern, yang akhirnya menghasilkan buah di dunia Barat, dan memungkinkan adanya penciptaan dan penemuan-penemuan modern. Saya percaya bahwa Islam adalah tujuan sejati peradaban modern. Menurut saya, alasan mengapa orang-orang Muslim hidup dalam kebebalan yang sangat menyedihkan adalah karena kesalahan para mullah yang lebih mementingkan diri sendiri dan para pemimpin agama yang telah salah menafsirkan ajaran Islam yang sejati hanya untuk keuntungan pribadi mereka semata.
Banyak orang Muslim percaya bahwa peradaban Barat yang luarbiasa itu sesungguhnya berakar dalam Islam. Mereka berpandangan bahwa pikiran-pikiran ilmiah Timur Tengah yang luarbiasa itu, yang telah banyak memberi kontribusi pada sains, memegang peranan penting dalam kelahiran sains modern. Omar Khayyam adalah ahli matematika yang luarbiasa yang dengan tepat mengkalkulasikan panjangnya satu tahun menjadi .74% dari sedetik. Zakaria Razi dipandang sebagai salah seorang dari pendiri mula-mula sains empiris yang mendasarkan pengetahuannya pada riset dan percobaan. Ensiklopedia medis bersejarah dari Avicenna (Bu Ali Sina) diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama berabad-abad. Masih ada begitu banyak lagi orang-orang yang memberikan pencerahan-pencerahan besar yang mempunyai nama yang berbau Islam yang merupakan pelopor-pelopor sains modern ketika Eropa sedang merana dengan Abad Kegelapan dari masa pertengahan. Seperti orang Muslim lainnya, saya bercaya bahwa semua orang besar itu adalah Muslim, bahwa mereka terinspirasi oleh kekayaan pengetahuan yang tersembunyi dalam Qur’an, dan jika orang-orang Muslim jaman sekarang dapat memperoleh kembali kemurnian Islam yang mula-mula, hari-hari kejayaan Islam yang telah hilang akan kembali dan orang-orang Muslim akan memimpin kemajuan peradaban dunia ini sekali lagi.
Iran adalah sebuah negara Muslim, tetapi juga sebuah negara yang rusak. Kesempatan untuk masuk perguruan tinggi sangat tipis. Hanya satu dari 10 orang yang mendaftar dapat masuk perguruan tinggi. Seringkali mereka dipaksa untuk memilih mata kuliah yang tidak ingin mereka pelajari karena mereka tidak dapat mencapai poin yang cukup untuk mata kuliah pilihan mereka. Siswa yang mempunyai koneksi yang tepat seringkali mendapatkan bangku di perguruan tinggi.
Standar pendidikan di Iran tidaklah tinggi. Perguruan-perguruan tinggi kurang mendapatkan dukungan biaya, karena Shah lebih suka membangun kekuatan militer guna membangun infrastruktur negara itu dan berinvestasi pada pendidkan rakyat. Inilah alasan mengapa ayah saya berpikir lebih baik saya meninggalkan Iran untuk melanjutkan pendidikan saya dimana saja.
Kami mempertimbangkan Amerika dan Eropa, tetapi ayah saya, bertindak menuruti nasehat dari beberapa teman nya yang religius, berpikir bahwa sebuah negara Islam yang lain adalah pilihan yang tepat untuk seorang anak berusia 16 tahun. Mereka mengatakan kepada kami bahwa moralitas Barat itu terlalu rendah, banyak orang tersesat, pantai-pantainya dipenuhi orang yang telanjang, dan mereka minum minuman keras dan memiliki gaya hidup yang tidak bermoral, semuanya itu berbahaya untuk orang muda. Jadi akhirnya saya dikirim ke Pakistan, dimana orang-orangnya religius, maka negara itu dinilai aman dan bermoral. Seorang sahabat keluarga kami mengatakan bahwa Pakistan itu sama seperti Inggris, hanya biaya hidup disana lebih murah.
Tentunya hal ini terbukti tidak benar. Saya mendapati ternyata orang-orang Pakistan sama jahatnya dan sama tidak bermoralnya dengan orang-orang Iran. Betul, mereka sangat religius. Mereka tidak makan babi dan saya tidak melihat mereka minum alkohol di depan umum, tetapi saya perhatikan banyak diantara mereka yang mempunyai pikiran yang kotor, berdusta, munafik dan kejam terhadap wanita, dan terlebih lagi, sangat membenci orang India. Menurut saya mereka tidak lebih baik daripada orang Iran dalam hal apa pun. Mereka memang religius, tetapi tidak bermoral dan tidak etis.
Di perguruan tinggi, alih-alih mengambil Kebudayaan Urdu, saya mengambil Kebudayaan Pakistan untuk menyelesaikan level A FSc (Fellow of Science). Saya mempelajari alasan berpisahnya Pakistan dari India dan untuk pertama kalinya saya mendengar tentang Mohammad Ali Jinah, yang disebut oleh orang Pakistan sebagai Qaid-e A’zam, sang Pemimpin Besar. Ia digambarkan sebagai seorang yang pandai, bapak bangsa, sedangkan Gandhi sangat direndahkan. Namun demikian, saya lebih berpihak pada Gandhi dan mengutuk Jinah sebagai seorang yang sombong, ambisius, penjahat yang memecah-belah negara dan yang menyebabkan kematian jutaan orang. Saya selalu mempunyai pikiran saya sendiri dan selalu berpikiran maju. Tak peduli apa yang diajarkan pada saya, saya selalu mempunyai kesimpulan saya sendiri dan tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh orang lain kepada saya.
Saya tidak melihat perbedaan-perbedaan agama sebagai alasan yang kuat untuk memecah-belah negara. Kata “Pakistan” adalah sebuah penghinaan bagi orang India. Orang-orang Pakistan menyebut diri mereka pak (bersih) untuk membedakan mereka dari orang-orang India yang najis (tidak bersih). Ironisnya, saya belum pernah melihat ada orang yang lebih kotor daripada orang Pakistan, baik secara fisik maupun secara mental. Sangat mengecewakan melihat ada negara Islam lain yang begitu rusak secara intelektual dan moral. Dalam diskusi dengan teman-teman saya, saya gagal meyakinkan mereka akan “Islam yang sejati”. Saya mengutuk sikap keras hati dan fanatisme mereka sedangkan mereka tidak menyetujui pandangan-pandangan saya yang tidak islami.
Saya menyampaikan semua ini pada ayah saya dan memutuskan untuk pergi ke Italia untuk melanjutkan studi saya di perguruan tinggi. Di Italia, orang minum alkohol dan makan babi, tetapi mereka lebih murah hati, ramah, dan tidak semunafik orang Muslim. Saya mendapati bahwa orang-orang disana rela menolong sesama tanpa pamrih. Saya bertemu dengan sepasang orangtua yang sangat ramah, mereka mengundang saya untuk makan siang dengan mereka setiap hari Minggu, sehingga saya tidak usah tinggal di rumah sendirian. Mereka tidak menginginkan apa-apa dari saya. Mereka hanya menginginkan seseorang untuk dikasihi. Saya sudah seperti cucu mereka sendiri. Hanyalah orang asing di sebuah negara lain, yang tidak kenal siapapun dan tidak mengenal bahasa setempat, yang dapat menghargai nilai dan makna keramahan dan pertolongan penduduk lokal.
Rumah mereka bersih mengkilap, berlantai keramik yang berkilau. Ini bertentangan dengan apa yang saya pikirkan tentang orang Barat. Walaupun keluarga saya bersikap terbuka terhadap orang lain, Islam mengajarkan saya bahwa orang non-Muslim adalah orang yang najis (Sura 9: dan tidak seorangpun boleh bersahabat dengan mereka. Saya masih menyimpan salinan Qur’an terjemahan Farsi yang biasa saya baca. Salah satu ayat yang digarisbawahi adalah:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya (sahabat, pelindung, penolong, dsb), mereka adalah awliya bagi mereka sendiri”. Sura 5:51.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Saya mengalami kesulitan untuk memahami hikmat dari ayat seperti ini. Saya tidak mengerti mengapa saya tidak boleh berteman dengan sepasang orang-tua yang tidak punya maksud tersembunyi saat mereka menunjukkan keramahan mereka selain dari hanya ingin membuat saya merasa seperti di rumah sendiri. Menurut saya mereka adalah “Muslim sejati” dan saya mencoba mengangkat masalah agama, berharap bahwa mereka akan melihat kebenaran Islam dan kemudian memeluk Islam. Tapi mereka tidak berminat dan dengan sopan mengalihkan pembicaraan. Saya tidaklah sebodoh itu dalam hidup saya untuk percaya bahwa semua orang yang tidak beriman akan masuk neraka. Saya membaca tentang hal itu di dalam Qur’an sebelumnya namun tidak pernah ingin memikirkannya. Saya tidak menghiraukan hal itu. Tentu saja, saya tahu Tuhan tidak akan senang jika ada orang yang mengakui utusan-Nya tapi tidak pernah berpikir bahwa Ia akan sungguh-sungguh bertindak kejam dengan membakar orang itu selamanya di neraka hanya karena orang itu bukan Muslim, bahkan jika orang itu hanya melakukan perbuatan-perbuatan baik. Saya membaca peringatan berikut ini:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Surah 3:85.
Namun saya tidak terlalu memperhatikannya dan berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa arti sebenarnya dari ayat itu bukanlah seperti apa yang dikatakan ayat itu. Pada waktu itu, saya tidak siap untuk menghadapi hal semacam ini. Jadi saya tidak memikirkannya.
Saya berkumpul bersama teman-teman Muslim saya dan saya perhatikan pada umumnya mereka menjalani hidup yang sangat tidak bermoral dengan standar ganda. Banyak diantara mereka yang berpacaran dan tidur dengan teman-teman wanitanya. Itu sangat tidak islami, begitulah menurut saya waktu itu. Yang sangat mengusik saya adalah mereka tidak menilai gadis-gadis itu sebagai manusia yang harus dihargai. Gadis-gadis itu bukanlah gadis-gadis Muslim dan oleh karena itu mereka hanya digunakan untuk berhubungan seks. Perbuatan ini tidak umum dilakukan. Mereka yang tidak terlalu religius bersikap lebih tulus dan menghargai teman-teman wanita Barat mereka, dan ada pula yang mencintai dan ingin menikahi mereka. Sebaliknya, mereka yang lebih religius tidak terlalu setia terhadap teman wanita mereka. Saya selalu beranggapan bahwa Islam yang sejati itulah yang benar. Jika ada sesuatu yang tidak bermoral, tidak etis, tidak jujur, atau kejam, maka itu bukanlah Islam. Saya tidak dapat melihat bagaimana tindakan yang tidak bermoral dan tidak berperasaan dari orang-orang Muslim ini adalah hasil dari ajaran Islam.
Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa kebenaran sesungguhnya bertentangan (dengan Qur’an). Saya menemukan banyak ayat yang mengusik dan membuat saya mengubah seluruh pandangan saya mengenai Islam). Yang saya lihat, tragisnya orang-orang yang hidup tidak etis dan tidak bermoral adalah mereka yang menyebut dirinya Muslim, bersembahyang, berpuasa, dan merekalah yang pertama-tama maju membela Islam dengan penuh kemarahan jika ada orang yang mempertanyakan Islam. Merekalah yang panas hati dan memulai perkelahian jika ada orang yang berani mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Suatu ketika saya berjumpa dengan seorang Iran di restoran kampus, kemudian memperkenalkannya dengan 2 orang Muslim lain yang adalah teman-teman saya. Usia kami kira-kira sama. Dia adalah seorang pria muda yang baik, bijak dan terpelajar. Saya dan 2 orang teman saya sangat terpukau oleh pesonanya dan nilai-nilai moralnya yang tinggi. Kami selalu menunggunya dan duduk di dekatnya pada jam makan siang, dan kami selalu belajar sesuatu darinya. Kami selalu makan banyak spaghetti dan risotto dan tergila-gila dengan ghorme sabzi dan chelow (makanan Persia) yang lezat. Teman kami itu mengatakan bahwa ibunya mengirim beberapa sayuran yang telah dikeringkan dan ia mengundang kami untuk makan siang di rumahnya pada hari Minggu mendatang. Sesampainya kami disana, kami melihat bahwa apartemennya yang memiliki 2 kamar itu sangat bersih, tidak seperti rumah teman-teman lain. Ia memasak ghorme sabzi yang sangat lezat untuk kami, dan kami menyantapnya dengan lahap, kemudian kami duduk ngobrol sambil menyeruput teh. Kemudian saya memperhatikan bahwa ia memiliki buku-buku Baha’i. Ketika kami bertanya padanya soal buku-buku itu, ia menjelaskan bahwa ia adalah seorang penganut agama Baha’i.
Itu sama sekali tidak mengganggu saya, namun dalam perjalanan pulang kedua orang teman saya mengatakan bahwa mereka tidak ingin lagi meneruskan persahabatan mereka dengannya. Saya terkejut dan bertanya mengapa. Mereka mengatakan bahwa dengan menjadi seorang penganut Baha’i membuat teman kami itu menjadi najis dan seandainya mereka tahu sebelumnya bahwa dia adalah seorang Baha’i, mereka tidak akan bersahabat dengannya. Saya jadi tidak mengerti dan bertanya pada mereka mengapa mereka berpendapat bahwa dia adalah seorang yang najis jika tadi kami bertiga memuji-muji kebersihan rumahnya. Kami bertiga sepakat bahwa secara moral dia jauh lebih hebat daripada semua orang muda Muslim yang kami kenal, lalu mengapa sekarang tiba-tiba ada perubahan sikap? Tanggapan mereka sangat mengusik saya. Mereka berkata bahwa nama Baha’i itu sendiri memiliki sesuatu didalamnya yang membuat mereka tidak menyukai agama ini. Mereka bertanya kepada saya apakah saya tahu mengapa semua orang tidak menyukai para penganut Baha’i. Saya katakan pada mereka bahwa saya tidak tahu, dan bahwa saya menyukai semua orang. Tetapi oleh karena mereka tidak menyukai penganut Baha’i, maka seharusnya mereka dapat memberikan alasannya. Dan ternyata mereka juga tidak tahu mengapa! Ini adalah penganut Baha’i pertama yang mereka kenal dekat, dan ia adalah seorang yang memberikan teladan yang baik. Saya ingin mengetahui alasan utama mereka tidak menyukainya. Namun mereka mengatakan tidak ada alasan. Hanya karena menurut mereka penganut Baha’i itu jahat.
Saya senang karena saya tidak melanjutkan persahabatan saya dengan 2 orang fanatik ini. Dari mereka saya belajar bagaimana buruk sangka dibentuk dan beroperasi.
Kemudian saya menyadari bahwa buruk sangka dan kebencian yang dialamatkan orang Muslim kepada hampir semua orang non-Muslim bukanlah karena salah menginterpretasi ajaran-ajaran Qur’an, tetapi justru karena kitab inilah yang mengajarkan kebencian dan mendorong orang untuk berburuk sangka. Orang-orang Muslim yang pergi ke mesjid dan mendengarkan ceramah-ceramah para mullah sangat dipengaruhi dengan hal itu. Ada banyak ayat di dalam Qur’an yang mengajak orang-orang beriman untuk membenci orang-orang yang tidak beriman, memerangi mereka, menyebut mereka najis, menaklukkan dan menghina mereka, memenggal kepala dan tangan mereka, menyalibkan mereka dan membunuh mereka dimanapun mereka ditemukan.
Saya telah sama sekali meninggalkan agama Islam selama beberapa tahun. Bukan karena pandangan saya mengenai agama telah berubah atau karena saya tidak lagi menganggap diri saya sebagai seorang yang religius. Ada banyak hal yang harus saya lakukan sehingga menghabiskan banyak waktu untuk agama telah menjadi suatu hal yang sulit. Sementara itu, saya lebih banyak belajar tentang demokrasi, hak-hak azasi manusia, dan nilai-nilai lain, seperti kesamaan hak antara pria dan wanita, dan saya menyukai apa yang saya pelajari. Apakah saya berdoa? Kalau saya bisa, tetapi tidak dengan sikap fanatik. Lagipula, saya hidup dan bekerja di sebuah negara Barat dan sama tidak mau kelihatan terlalu berbeda. Suatu hari saya memutuskan bahwa sudah waktunya bagi saya untuk memperdalam pengetahuan saya mengenai Islam dan membaca Qur’an dari berbagai versi. Saya menemukan sebuah salinan Quran Arab dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebelumnya saya hanya membaca Qur’an sepotong-sepotong. Kali ini saya membacanya secara menyeluruh. Saya membaca sebuah ayat dalam bahasa Arab, lalu terjemahan Inggrisnya, lalu kembali ke bahasa Arab, dan tidak membaca ayat berikutnya hingga saya benar-benar puas dan memahami versi Arabnya.
Hanya sebentar saja saya sudah mendapatkan ayat-ayat yang sulit saya terima. Salah-satunya adalah:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. Surah 4:48
Sulit bagi saya untuk menerima bahwa Gandhi akan dibakar di neraka selamanya karena dia adalah seorang politeis yang tidak mempunyai pengharapan akan penebusan, seorang Muslim yang adalah pembunuh dapat berharap akan menerima pengampunan Allah. Ini memunculkan sebuah pertanyaan yang mengusik: Mengapa Allah begitu berhasrat untuk dikenal sebagai satu-satunya Tuhan? Jika memang tidak ada Tuhan selain Dia, mengapa Dia sangat repot mengurus masalah ini? Dengan siapakah Dia bersaing? Mengapa Dia sangat ambil pusing jika ada orang yang mengenal-Nya dan memuji-Nya dan ada pula yang tidak?
Kini setelah saya menetap di Barat dan memiliki banyak teman orang Barat yang baik pada saya, membuka hati dan rumah mereka untuk saya, dan menerima saya sebagai teman mereka, sulit sekali bagi saya untuk menerima bahwa Allah tidak ingin saya bersahabat dengan mereka.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah...” Surah 3:28.
Bukankah Allah juga Pencipta orang-orang yang tidak beriman? Bukankah Ia adalah Tuhan atas semua orang? Mengapa Ia begitu jahat terhadap orang-orang yang tidak beriman? Bukankah lebih baik jika orang-orang Muslim bersahabat dengan orang-orang yang tidak beriman dan mengajarkan Islam pada mereka dengan teladan yang baik? Dengan menyisihkan diri dan menjauhkan diri dari orang-orang yang tidak beriman, jurang kesalahpahaman tidak akan pernah terjembatani. Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak beriman dapat belajar tentang Islam jika kita tidak bergaul dengan mereka? Ini adalah beberapa pertanyaan yang saya tanyakan pada diri saya sendiri. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terdapat dalam sebuah ayat yang membingungkan. Perintah Allah adalah “bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka” (Sura 2:191).
Saya memikirkan teman-teman saya, mengingat kebaikan-kebaikan dan kasih mereka pada saya, dan saya tidak mengerti bagaimana bisa Tuhan yang sejati memerintahkan orang untuk membunuh sesamanya manusia hanya karena sesamanya itu adalah orang yang tidak beriman. Itu nampaknya tidak masuk akal, namun konsep ini seringkali diulang di dalam Qur’an sehingga orang tidak meragukannya lagi. Dalam Sura 8:65, Allah berkata pada nabi-Nya:
“Hai nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan duaratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari antara orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Saya tidak mengerti mengapa Allah mengirimkan seorang utusan untuk berperang. Bukankah Tuhan seharusnya mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan bertoleransi terhadap para pemeluk agama yang lain? Dan jika Allah benar-benar bergumul untuk membuat orang percaya pada-Nya sehingga Ia akan membunuh mereka yang tidak percaya kepada-Nya, mengapa Ia sendiri tidak membunuh mereka? Mengapa Ia menyuruh kita untuk melakukan pekerjaan kotor-Nya? Memangnya kita ini tukang pukulnya Allah?
Walaupun saya tahu tentang jihad dan tidak pernah mempertanyakan hal itu sebelumnya, saya sulit menerima bahwa Tuhan dengan tegas menganjurkan tindakan-tindakan yang kejam seperti itu. Yang lebih mengejutkan adalah kekejaman Allah dalam menindak orang-orang yang tidak beriman:
“Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah ujung-ujung jari mereka”. Sura 8:12.
Seakan-akan Allah tidak puas kalau hanya membunuh orang-orang yang tidak beriman, Ia juga menikmati menyiksa mereka sebelum mereka dibunuh. Memenggal kepala orang dan memotong ujung-ujung jari mereka adalah tindakan yang teramat sangat kejam. Apakah Tuhan benar-benar memberikan perintah seperti itu? Tambahan lagi, masih ada hal yang paling mengerikan yang akan dilakukan-Nya terhadap orang-orang yang tidak beriman di akhirat.
Bagaimana mungkin Pencipta alam semesta ini bisa begitu kejam? Saya sangat syok saat mengetahui bahwa Qur’an memerintahkan untuk membunuh orang tidak beriman dimana saja mereka ditemukan (Sura 2:191), membunuh mereka dan memperlakukan mereka dengan keras (Sura 9:123), memerangi mereka (Sura 8:65), hingga tidak ada lagi agama lain yang tersisa selain Islam (Sura 2:193), menghina mereka dan memaksa mereka membayar pajak jika mereka adalah orang Kristen atau Yahudi (Sura 9:29), membantai mereka jika mereka adalah penyembah berhala (Sura 9:5), menyalibkan , atau memotong tangan dan kaki mereka, dan mengusir mereka dari negeri mereka dengan rasa malu. Dan jika ini belum cukup, kepada orang Muslim diberitahukan bahwa orang-orang yang tidak beriman “akan mendapat siksaan yang besar di akhirat” (Sura 5:33), tidak bersahabat dengan bapak-bapak dan saudara-saudara mereka sendiri jika mereka bukanlah orang-orang yang beriman (Sura 3:28, 9:23), membunuh keluarga mereka sendiri di perang Badr dan Uhud, dan “berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar” (Sura 25:52) dan bersikap keras terhadap mereka karena tempat mereka adalah di neraka (Sura 66:9).
Bagaimana mungkin orang yang waras tidak akan bereaksi ketika ia membaca apa yang ditulis dalam Qur’an: “memancung batang leher orang-orang kafir” dan setelah “membantai banyak diantara mereka, ikatlah mereka sebagai tawanan” (Sura 47:4)?
Saya sangat syok ketika mengetahui bahwa tidak menerima adanya kebebasan untuk berkeyakinan bagi semua orang dan dengan jelas mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang dapat diterima (Sura 3:85). Allah memindahkan mereka yang tidak percaya pada Qur’an ke neraka (Sura 5:11) dan menyebut mereka najis (kotor, tidak boleh disentuh, tidak murni) (Sura 9:28). Ia mengatakan bahwa orang-orang yang tidak beriman akan pergi ke neraka dan minum air yang mendidih (Sura 14:17). Lebih jauh lagi, “maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga (kulit) mereka. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi” (Sura 2:19-21). Betapa sadisnya!
Kitab Allah mengatakan bahwa kaum wanita lebih rendah daripada pria dan suami-suami mereka berhak memukuli mereka (Sura 4:34), dan wanita akan pergi ke neraka jika tidak menaati suaminya (Sura 66:10). Dikatakan bahwa pria mempunyai keuntungan atas wanita (Sura 2:228). Qur’an tidak hanya menyangkali kesamaan hak waris wanita (Sura 4:11-12), tapi juga menganggap wanita sebagai embisil (lebih rendah daripada idiot – Red) dan menetapkan bahwa kesaksian mereka tidak dianggap sah di pengadilan ( Sura 2:282). Ini berarti bahwa wanita yang diperkosa tidak dapat menggugat pemerkosanya kecuali ia dapat menghadirkan seorang saksi pria, yang tentu saja ini adalah sebuah lelucon. Pemerkosa tidak akan memperkosa seseorang dihadapan saksi. Tapi ayat yang paling mengejutkan adalah ayat yang mengatakan bahwa Allah mengijinkan seorang Muslim untuk memperkosa wanita yang ditangkap dalam peperangan bahkan jika mereka sudah menikah sebelum mereka ditawan (Sura 4:3, 24). Nabi memperkosa wanita-wanita tercantik yang ditawannya dalam penyerangan pada hari yang sama setelah ia membunuh suami-suami mereka dan orang-orang yang dikasihi wanita-wanita itu. Inilah sebabnya mengapa setiap kali tentara Muslim menaklukkan bangsa lain, mereka menyebut bangsa itu kafir dan memperkosa para wanitanya.
Tentara-tentara negara Islam Pakistan telah memperkosa sekitar 250.000 wanita Bengali pada tahun 1971 dan membantai tiga juta warga sipil yang tidak bersenjata ketika pemimpin agama mereka menetapkan bahwa orang Bangladesh adalah non-Islam. Itulah sebabnya mengapa para penjaga penjara di rejim Islam Iran memperkosa para wanita dan kemudian membunuh mereka setelah menyebut mereka sebagai orang sesat dan musuh-musuh Allah.
Qur’an dipenuhi ayat –ayat yang mengajarkan untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman dan bagaimana Allah akan menyiksa mereka setelah mereka mati. Tidak ada ajaran mengenai moralitas, keadilan, kejujuran, atau kasih. Satu-satunya pesan di dalam Qur’an adalah agar percaya kepada Allah dan utusan-Nya. Qur’an membujuk orang dengan pahala berupa hubungan seks yang tidak terbatas di surga dan mengancam orang dengan api neraka yang menyambar-nyambar. Ketika Qur’an berbicara tentang kebenaran, itu bukanlah kebenaran seperti yang kita pahami, melainkan percaya pada Allah dan utusan-Nya. Seorang Muslim dapat menjadi seorang pembunuh dan membunuh seorang non-Muslim, dan dapat tetap menjadi seorang yang benar. Perbuatan-perbuatan yang baik adalah nomor dua. Percaya pada Allah dan utusan-Nya adalah tujuan utama dalam kehidupan.
Setelah membaca Qur’an saya menjadi sangat tertekan. Sulit bagi saya untuk menerima semuanya itu. Pada awalnya saya menyangkalinya dan mencoba mencari makna yang lebih dalam dari ayat-ayat Qur’an yang kejam ini, namun semuanya sia-sia. Tidak ada kesalahpahaman dalam hal ini! Qur’an sangatlah tidak manusiawi. Sudah barang tentu Qur’an mengandung banyak penyesatan ilmiah dan absurditas, tetapi itu bukanlah hal yang sangat mengganggu saya. Kekejaman dalam kitab inilah yang sangat menohok saya dan mengguncangkan dasar iman saya.
Setelah pengalaman pahit saya dengan Qur’an saya mendapati diri saya berkelana di jalan yang menyakitkan dan penuh dengan siksaan. Saya ditendang keluar dari taman indah ketidakpedulian, dimana semua pertanyaan saya terjawab. Disana saya tidak perlu berpikir. Apa yang harus saya lakukan hanyalah percaya. Kini, pintu masuk ke taman itu telah tertutup untukku selamanya. Saya telah melakukan dosa yang sangat keji, yaitu: berpikir. Saya telah makan dari pohon pengetahuan yang terlarang, dan mata saya telah dibukakan. Saya dapat melihat ketidakbenaran dari semuanya itu dan ketelanjangan saya sendiri. Saya tahu saya tidak lagi diperbolehkan memasuki “surga ketidakpedulian” itu. Sekali anda mulai berpikir, anda tidak boleh ada disana lagi. Hanya ada satu jalan untuk saya: terus maju.
Jalan menuju pencerahan terbukti lebih sulit dari yang saya perkirakan. Jalan itu licin. Ada banyak gunung rintangan yang harus didaki dan tebing-tebing curam yang harus dihindari. Saya berkelana di daerah-daerah tak dikenal sendirian, tanpa tahu apa yang akan saya temukan. Itu menjadi pengembaraan saya dalam alam pengertian dan menemukan kebenaran, yang akhirnya membawa saya ke negeri pencerahan dan kebebasan.
Saya akan mendaftarkan daerah-daerah ini untuk semua yang juga melakukan dosa berpikir, mendapati diri mereka ditendang keluar dari surga ketidakpedulian, dan berada di jalan menuju tujuan yang tidak diketahui.
Jika anda ragu, jika jaket ketidakpedulian yang anda pakai untuk menyelubungi diri terkoyak menjadi potongan-potongan kecil dan anda mendapati diri anda telanjang, maka ketahuilah bahwa anda tidak dapat tinggal di surga ketidakpedulian lebih lama lagi. Anda telah diusir dari sana untuk selamanya. Sama seperti seorang anak yang telah keluar dari rahim ibunya, maka ia tidak bisa kembali lagi kesana, anda tidak akan diijinkan untuk memasuki “surga ketidakpedulian” yang indah itu. Dengarkanlah suara orang yang pernah ada disana dan mengalaminya, dan janganlah berusaha untuk tetap menempel di pintu gerbangnya. Pintu itu sudah terkunci.
Tetapi tataplah ke depan. Ada sebuah perjalanan menanti anda. Anda dapat terbang ke tujuan anda ataupun merangkak. Saya merangkak! Tetapi karena saya merangkak, maka saya mengenal jalan ini dengan sangat baik. Saya akan menggambarkan jalannya, sehingga mudah-mudahan anda tidak perlu merangkak.
Jalan dari iman menuju kepada pencerahan mempunyai 7 lembah.
Lembah pertama adalah syok. Setelah membaca Qur’an, perspektif saya terguncang. Saya mendapati diri saya berhadapan muka dengan kebenaran dan saya takut untuk melihatnya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin saya lihat. Saya tidak dapat menyalahkan siapapun, mengutuk dan mengatainya sebagai pendusta. Dengan membaca Qur’an saya menemukan absurditas Islam dan tidak manusiawinya pengarangnya. Dan saya syok. Namun syok ini menyadarkan saya dan menghadapkan saya pada kebenaran. Sayangnya, ini adalah sebuah proses yang sangat sulit dan menyakitkan. Kita tidak dapat terus membungkus kebenaran dengan gula. Kebenaran itu pahit, dan itu harus diterima. Kenyataan itu ‘keras kepala’ dan tidak mau pergi. Hanya dengan begitu proses pencerahan bisa dimulai.
Tetapi oleh karena kadar kepekaan tiap orang berbeda, apa yang mengejutkan orang lain belum tentu juga akan mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang pria saya terkejut ketika saya membaca bahwa Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk memukuli istri-istri mereka dan ia menyebut kaum wanita sebagai makhluk yang “kurang kecerdasannya”. Padahal saya telah berjumpa dengan banyak wanita Muslim yang tidak mengalami kesulitan untuk menerima pernyataan yang merendahkan ini yang disampaikan oleh nabi mereka. Bukan karena mereka setuju bahwa mereka memiliki inteligensi yang rendah atau mereka percaya bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kaum wanita hanya karena nabi berkata demikian, namun hanya karena mereka dihalangi untuk mendapatkan informasi itu. Mereka membacanya, tapi tidak menghayatinya. Mereka menyangkalinya. Penyangkalan adalah sebuah perisai yang menutupi dan melindungi mereka, yang menyelamatkan mereka agar mereka tidak usah menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Jika perisai itu disingkirkan, tidak ada yang dapat mengembalikannya lagi. Pada titik ini iman mereka harus diserang dari berbagai arah yang berbeda. Kita harus membombardir mereka dengan pengajaran Qur’an lainnya yang mengejutkan. Pastilah ada salah-satu yang menjadi kelemahan mereka. Itulah yang mereka butuhkan: sebuah kejutan yang baik. Kejutan itu sangat menyakitkan, tapi dapat menyelamatkan hidup. Kejutan biasa digunakan para dokter untuk menghidupkan kembali pasien yang sudah mati.
Untuk pertama kalinya, internet telah mengubah keseimbangan kekuatan. Kini kekuatan brutal dari senjata api, penjara dan laskar kematian tidak berdaya dan pena berkuasa. Untuk pertama kalinya, orang Muslim tidak dapat membunuh kebenaran dengan membunuh utusan kebenaran. Kini sejumlah besar orang Muslim terhubung dengan kebenaran dan mereka merasa tidak berdaya. Mereka ingin membungkam suara ini, namun tidak sanggup. Mereka berusaha melarang dan menutup situs-situs yang mengekspos kepercayaan mereka yang mereka agungkan; kadang untuk sementara waktu mereka berhasil, tapi banyak kali mereka gagal. Saya menciptakan sebuah situs untuk mendidik orang Muslim mengenai Islam yang sejati. Saya mengalamatkannya di Tripod.com. Para penganut Islam memaksa Tripod untuk menutupnya dan para eksekutif Tripod bersikap pengecut dengan menuruti orang-orang Muslim itu. Saya mendapatkan tempat saya dan situs itu kembali lagi setelah beberapa minggu. Oleh karena itu, cara-cara lama dengan membunuh orang-orang sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam mereka dengan teror tidak akan berhasil. Mereka tidak dapat menghentikan orang agar tidak membaca. Walaupun situs saya dilarang di Arab Saudi, Uni emirat Arab dan di banyak negara Islam lainnya, sejumlah besar orang Muslim yang tidak pernah tahu kebenaran tentang Islam terekspos dengan kebenaran untuk pertama kalinya, dan mereka terkejut.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Surah 3:85.
Namun saya tidak terlalu memperhatikannya dan berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa arti sebenarnya dari ayat itu bukanlah seperti apa yang dikatakan ayat itu. Pada waktu itu, saya tidak siap untuk menghadapi hal semacam ini. Jadi saya tidak memikirkannya.
Saya berkumpul bersama teman-teman Muslim saya dan saya perhatikan pada umumnya mereka menjalani hidup yang sangat tidak bermoral dengan standar ganda. Banyak diantara mereka yang berpacaran dan tidur dengan teman-teman wanitanya. Itu sangat tidak islami, begitulah menurut saya waktu itu. Yang sangat mengusik saya adalah mereka tidak menilai gadis-gadis itu sebagai manusia yang harus dihargai. Gadis-gadis itu bukanlah gadis-gadis Muslim dan oleh karena itu mereka hanya digunakan untuk berhubungan seks. Perbuatan ini tidak umum dilakukan. Mereka yang tidak terlalu religius bersikap lebih tulus dan menghargai teman-teman wanita Barat mereka, dan ada pula yang mencintai dan ingin menikahi mereka. Sebaliknya, mereka yang lebih religius tidak terlalu setia terhadap teman wanita mereka. Saya selalu beranggapan bahwa Islam yang sejati itulah yang benar. Jika ada sesuatu yang tidak bermoral, tidak etis, tidak jujur, atau kejam, maka itu bukanlah Islam. Saya tidak dapat melihat bagaimana tindakan yang tidak bermoral dan tidak berperasaan dari orang-orang Muslim ini adalah hasil dari ajaran Islam.
Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa kebenaran sesungguhnya bertentangan (dengan Qur’an). Saya menemukan banyak ayat yang mengusik dan membuat saya mengubah seluruh pandangan saya mengenai Islam). Yang saya lihat, tragisnya orang-orang yang hidup tidak etis dan tidak bermoral adalah mereka yang menyebut dirinya Muslim, bersembahyang, berpuasa, dan merekalah yang pertama-tama maju membela Islam dengan penuh kemarahan jika ada orang yang mempertanyakan Islam. Merekalah yang panas hati dan memulai perkelahian jika ada orang yang berani mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Suatu ketika saya berjumpa dengan seorang Iran di restoran kampus, kemudian memperkenalkannya dengan 2 orang Muslim lain yang adalah teman-teman saya. Usia kami kira-kira sama. Dia adalah seorang pria muda yang baik, bijak dan terpelajar. Saya dan 2 orang teman saya sangat terpukau oleh pesonanya dan nilai-nilai moralnya yang tinggi. Kami selalu menunggunya dan duduk di dekatnya pada jam makan siang, dan kami selalu belajar sesuatu darinya. Kami selalu makan banyak spaghetti dan risotto dan tergila-gila dengan ghorme sabzi dan chelow (makanan Persia) yang lezat. Teman kami itu mengatakan bahwa ibunya mengirim beberapa sayuran yang telah dikeringkan dan ia mengundang kami untuk makan siang di rumahnya pada hari Minggu mendatang. Sesampainya kami disana, kami melihat bahwa apartemennya yang memiliki 2 kamar itu sangat bersih, tidak seperti rumah teman-teman lain. Ia memasak ghorme sabzi yang sangat lezat untuk kami, dan kami menyantapnya dengan lahap, kemudian kami duduk ngobrol sambil menyeruput teh. Kemudian saya memperhatikan bahwa ia memiliki buku-buku Baha’i. Ketika kami bertanya padanya soal buku-buku itu, ia menjelaskan bahwa ia adalah seorang penganut agama Baha’i.
Itu sama sekali tidak mengganggu saya, namun dalam perjalanan pulang kedua orang teman saya mengatakan bahwa mereka tidak ingin lagi meneruskan persahabatan mereka dengannya. Saya terkejut dan bertanya mengapa. Mereka mengatakan bahwa dengan menjadi seorang penganut Baha’i membuat teman kami itu menjadi najis dan seandainya mereka tahu sebelumnya bahwa dia adalah seorang Baha’i, mereka tidak akan bersahabat dengannya. Saya jadi tidak mengerti dan bertanya pada mereka mengapa mereka berpendapat bahwa dia adalah seorang yang najis jika tadi kami bertiga memuji-muji kebersihan rumahnya. Kami bertiga sepakat bahwa secara moral dia jauh lebih hebat daripada semua orang muda Muslim yang kami kenal, lalu mengapa sekarang tiba-tiba ada perubahan sikap? Tanggapan mereka sangat mengusik saya. Mereka berkata bahwa nama Baha’i itu sendiri memiliki sesuatu didalamnya yang membuat mereka tidak menyukai agama ini. Mereka bertanya kepada saya apakah saya tahu mengapa semua orang tidak menyukai para penganut Baha’i. Saya katakan pada mereka bahwa saya tidak tahu, dan bahwa saya menyukai semua orang. Tetapi oleh karena mereka tidak menyukai penganut Baha’i, maka seharusnya mereka dapat memberikan alasannya. Dan ternyata mereka juga tidak tahu mengapa! Ini adalah penganut Baha’i pertama yang mereka kenal dekat, dan ia adalah seorang yang memberikan teladan yang baik. Saya ingin mengetahui alasan utama mereka tidak menyukainya. Namun mereka mengatakan tidak ada alasan. Hanya karena menurut mereka penganut Baha’i itu jahat.
Saya senang karena saya tidak melanjutkan persahabatan saya dengan 2 orang fanatik ini. Dari mereka saya belajar bagaimana buruk sangka dibentuk dan beroperasi.
Kemudian saya menyadari bahwa buruk sangka dan kebencian yang dialamatkan orang Muslim kepada hampir semua orang non-Muslim bukanlah karena salah menginterpretasi ajaran-ajaran Qur’an, tetapi justru karena kitab inilah yang mengajarkan kebencian dan mendorong orang untuk berburuk sangka. Orang-orang Muslim yang pergi ke mesjid dan mendengarkan ceramah-ceramah para mullah sangat dipengaruhi dengan hal itu. Ada banyak ayat di dalam Qur’an yang mengajak orang-orang beriman untuk membenci orang-orang yang tidak beriman, memerangi mereka, menyebut mereka najis, menaklukkan dan menghina mereka, memenggal kepala dan tangan mereka, menyalibkan mereka dan membunuh mereka dimanapun mereka ditemukan.
Saya telah sama sekali meninggalkan agama Islam selama beberapa tahun. Bukan karena pandangan saya mengenai agama telah berubah atau karena saya tidak lagi menganggap diri saya sebagai seorang yang religius. Ada banyak hal yang harus saya lakukan sehingga menghabiskan banyak waktu untuk agama telah menjadi suatu hal yang sulit. Sementara itu, saya lebih banyak belajar tentang demokrasi, hak-hak azasi manusia, dan nilai-nilai lain, seperti kesamaan hak antara pria dan wanita, dan saya menyukai apa yang saya pelajari. Apakah saya berdoa? Kalau saya bisa, tetapi tidak dengan sikap fanatik. Lagipula, saya hidup dan bekerja di sebuah negara Barat dan sama tidak mau kelihatan terlalu berbeda. Suatu hari saya memutuskan bahwa sudah waktunya bagi saya untuk memperdalam pengetahuan saya mengenai Islam dan membaca Qur’an dari berbagai versi. Saya menemukan sebuah salinan Quran Arab dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebelumnya saya hanya membaca Qur’an sepotong-sepotong. Kali ini saya membacanya secara menyeluruh. Saya membaca sebuah ayat dalam bahasa Arab, lalu terjemahan Inggrisnya, lalu kembali ke bahasa Arab, dan tidak membaca ayat berikutnya hingga saya benar-benar puas dan memahami versi Arabnya.
Hanya sebentar saja saya sudah mendapatkan ayat-ayat yang sulit saya terima. Salah-satunya adalah:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. Surah 4:48
Sulit bagi saya untuk menerima bahwa Gandhi akan dibakar di neraka selamanya karena dia adalah seorang politeis yang tidak mempunyai pengharapan akan penebusan, seorang Muslim yang adalah pembunuh dapat berharap akan menerima pengampunan Allah. Ini memunculkan sebuah pertanyaan yang mengusik: Mengapa Allah begitu berhasrat untuk dikenal sebagai satu-satunya Tuhan? Jika memang tidak ada Tuhan selain Dia, mengapa Dia sangat repot mengurus masalah ini? Dengan siapakah Dia bersaing? Mengapa Dia sangat ambil pusing jika ada orang yang mengenal-Nya dan memuji-Nya dan ada pula yang tidak?
Kini setelah saya menetap di Barat dan memiliki banyak teman orang Barat yang baik pada saya, membuka hati dan rumah mereka untuk saya, dan menerima saya sebagai teman mereka, sulit sekali bagi saya untuk menerima bahwa Allah tidak ingin saya bersahabat dengan mereka.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah...” Surah 3:28.
Bukankah Allah juga Pencipta orang-orang yang tidak beriman? Bukankah Ia adalah Tuhan atas semua orang? Mengapa Ia begitu jahat terhadap orang-orang yang tidak beriman? Bukankah lebih baik jika orang-orang Muslim bersahabat dengan orang-orang yang tidak beriman dan mengajarkan Islam pada mereka dengan teladan yang baik? Dengan menyisihkan diri dan menjauhkan diri dari orang-orang yang tidak beriman, jurang kesalahpahaman tidak akan pernah terjembatani. Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak beriman dapat belajar tentang Islam jika kita tidak bergaul dengan mereka? Ini adalah beberapa pertanyaan yang saya tanyakan pada diri saya sendiri. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terdapat dalam sebuah ayat yang membingungkan. Perintah Allah adalah “bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka” (Sura 2:191).
Saya memikirkan teman-teman saya, mengingat kebaikan-kebaikan dan kasih mereka pada saya, dan saya tidak mengerti bagaimana bisa Tuhan yang sejati memerintahkan orang untuk membunuh sesamanya manusia hanya karena sesamanya itu adalah orang yang tidak beriman. Itu nampaknya tidak masuk akal, namun konsep ini seringkali diulang di dalam Qur’an sehingga orang tidak meragukannya lagi. Dalam Sura 8:65, Allah berkata pada nabi-Nya:
“Hai nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan duaratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari antara orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Saya tidak mengerti mengapa Allah mengirimkan seorang utusan untuk berperang. Bukankah Tuhan seharusnya mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan bertoleransi terhadap para pemeluk agama yang lain? Dan jika Allah benar-benar bergumul untuk membuat orang percaya pada-Nya sehingga Ia akan membunuh mereka yang tidak percaya kepada-Nya, mengapa Ia sendiri tidak membunuh mereka? Mengapa Ia menyuruh kita untuk melakukan pekerjaan kotor-Nya? Memangnya kita ini tukang pukulnya Allah?
Walaupun saya tahu tentang jihad dan tidak pernah mempertanyakan hal itu sebelumnya, saya sulit menerima bahwa Tuhan dengan tegas menganjurkan tindakan-tindakan yang kejam seperti itu. Yang lebih mengejutkan adalah kekejaman Allah dalam menindak orang-orang yang tidak beriman:
“Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah ujung-ujung jari mereka”. Sura 8:12.
Seakan-akan Allah tidak puas kalau hanya membunuh orang-orang yang tidak beriman, Ia juga menikmati menyiksa mereka sebelum mereka dibunuh. Memenggal kepala orang dan memotong ujung-ujung jari mereka adalah tindakan yang teramat sangat kejam. Apakah Tuhan benar-benar memberikan perintah seperti itu? Tambahan lagi, masih ada hal yang paling mengerikan yang akan dilakukan-Nya terhadap orang-orang yang tidak beriman di akhirat.
Bagaimana mungkin Pencipta alam semesta ini bisa begitu kejam? Saya sangat syok saat mengetahui bahwa Qur’an memerintahkan untuk membunuh orang tidak beriman dimana saja mereka ditemukan (Sura 2:191), membunuh mereka dan memperlakukan mereka dengan keras (Sura 9:123), memerangi mereka (Sura 8:65), hingga tidak ada lagi agama lain yang tersisa selain Islam (Sura 2:193), menghina mereka dan memaksa mereka membayar pajak jika mereka adalah orang Kristen atau Yahudi (Sura 9:29), membantai mereka jika mereka adalah penyembah berhala (Sura 9:5), menyalibkan , atau memotong tangan dan kaki mereka, dan mengusir mereka dari negeri mereka dengan rasa malu. Dan jika ini belum cukup, kepada orang Muslim diberitahukan bahwa orang-orang yang tidak beriman “akan mendapat siksaan yang besar di akhirat” (Sura 5:33), tidak bersahabat dengan bapak-bapak dan saudara-saudara mereka sendiri jika mereka bukanlah orang-orang yang beriman (Sura 3:28, 9:23), membunuh keluarga mereka sendiri di perang Badr dan Uhud, dan “berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar” (Sura 25:52) dan bersikap keras terhadap mereka karena tempat mereka adalah di neraka (Sura 66:9).
Bagaimana mungkin orang yang waras tidak akan bereaksi ketika ia membaca apa yang ditulis dalam Qur’an: “memancung batang leher orang-orang kafir” dan setelah “membantai banyak diantara mereka, ikatlah mereka sebagai tawanan” (Sura 47:4)?
Saya sangat syok ketika mengetahui bahwa tidak menerima adanya kebebasan untuk berkeyakinan bagi semua orang dan dengan jelas mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang dapat diterima (Sura 3:85). Allah memindahkan mereka yang tidak percaya pada Qur’an ke neraka (Sura 5:11) dan menyebut mereka najis (kotor, tidak boleh disentuh, tidak murni) (Sura 9:28). Ia mengatakan bahwa orang-orang yang tidak beriman akan pergi ke neraka dan minum air yang mendidih (Sura 14:17). Lebih jauh lagi, “maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga (kulit) mereka. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi” (Sura 2:19-21). Betapa sadisnya!
Kitab Allah mengatakan bahwa kaum wanita lebih rendah daripada pria dan suami-suami mereka berhak memukuli mereka (Sura 4:34), dan wanita akan pergi ke neraka jika tidak menaati suaminya (Sura 66:10). Dikatakan bahwa pria mempunyai keuntungan atas wanita (Sura 2:228). Qur’an tidak hanya menyangkali kesamaan hak waris wanita (Sura 4:11-12), tapi juga menganggap wanita sebagai embisil (lebih rendah daripada idiot – Red) dan menetapkan bahwa kesaksian mereka tidak dianggap sah di pengadilan ( Sura 2:282). Ini berarti bahwa wanita yang diperkosa tidak dapat menggugat pemerkosanya kecuali ia dapat menghadirkan seorang saksi pria, yang tentu saja ini adalah sebuah lelucon. Pemerkosa tidak akan memperkosa seseorang dihadapan saksi. Tapi ayat yang paling mengejutkan adalah ayat yang mengatakan bahwa Allah mengijinkan seorang Muslim untuk memperkosa wanita yang ditangkap dalam peperangan bahkan jika mereka sudah menikah sebelum mereka ditawan (Sura 4:3, 24). Nabi memperkosa wanita-wanita tercantik yang ditawannya dalam penyerangan pada hari yang sama setelah ia membunuh suami-suami mereka dan orang-orang yang dikasihi wanita-wanita itu. Inilah sebabnya mengapa setiap kali tentara Muslim menaklukkan bangsa lain, mereka menyebut bangsa itu kafir dan memperkosa para wanitanya.
Tentara-tentara negara Islam Pakistan telah memperkosa sekitar 250.000 wanita Bengali pada tahun 1971 dan membantai tiga juta warga sipil yang tidak bersenjata ketika pemimpin agama mereka menetapkan bahwa orang Bangladesh adalah non-Islam. Itulah sebabnya mengapa para penjaga penjara di rejim Islam Iran memperkosa para wanita dan kemudian membunuh mereka setelah menyebut mereka sebagai orang sesat dan musuh-musuh Allah.
Qur’an dipenuhi ayat –ayat yang mengajarkan untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman dan bagaimana Allah akan menyiksa mereka setelah mereka mati. Tidak ada ajaran mengenai moralitas, keadilan, kejujuran, atau kasih. Satu-satunya pesan di dalam Qur’an adalah agar percaya kepada Allah dan utusan-Nya. Qur’an membujuk orang dengan pahala berupa hubungan seks yang tidak terbatas di surga dan mengancam orang dengan api neraka yang menyambar-nyambar. Ketika Qur’an berbicara tentang kebenaran, itu bukanlah kebenaran seperti yang kita pahami, melainkan percaya pada Allah dan utusan-Nya. Seorang Muslim dapat menjadi seorang pembunuh dan membunuh seorang non-Muslim, dan dapat tetap menjadi seorang yang benar. Perbuatan-perbuatan yang baik adalah nomor dua. Percaya pada Allah dan utusan-Nya adalah tujuan utama dalam kehidupan.
Setelah membaca Qur’an saya menjadi sangat tertekan. Sulit bagi saya untuk menerima semuanya itu. Pada awalnya saya menyangkalinya dan mencoba mencari makna yang lebih dalam dari ayat-ayat Qur’an yang kejam ini, namun semuanya sia-sia. Tidak ada kesalahpahaman dalam hal ini! Qur’an sangatlah tidak manusiawi. Sudah barang tentu Qur’an mengandung banyak penyesatan ilmiah dan absurditas, tetapi itu bukanlah hal yang sangat mengganggu saya. Kekejaman dalam kitab inilah yang sangat menohok saya dan mengguncangkan dasar iman saya.
Setelah pengalaman pahit saya dengan Qur’an saya mendapati diri saya berkelana di jalan yang menyakitkan dan penuh dengan siksaan. Saya ditendang keluar dari taman indah ketidakpedulian, dimana semua pertanyaan saya terjawab. Disana saya tidak perlu berpikir. Apa yang harus saya lakukan hanyalah percaya. Kini, pintu masuk ke taman itu telah tertutup untukku selamanya. Saya telah melakukan dosa yang sangat keji, yaitu: berpikir. Saya telah makan dari pohon pengetahuan yang terlarang, dan mata saya telah dibukakan. Saya dapat melihat ketidakbenaran dari semuanya itu dan ketelanjangan saya sendiri. Saya tahu saya tidak lagi diperbolehkan memasuki “surga ketidakpedulian” itu. Sekali anda mulai berpikir, anda tidak boleh ada disana lagi. Hanya ada satu jalan untuk saya: terus maju.
Jalan menuju pencerahan terbukti lebih sulit dari yang saya perkirakan. Jalan itu licin. Ada banyak gunung rintangan yang harus didaki dan tebing-tebing curam yang harus dihindari. Saya berkelana di daerah-daerah tak dikenal sendirian, tanpa tahu apa yang akan saya temukan. Itu menjadi pengembaraan saya dalam alam pengertian dan menemukan kebenaran, yang akhirnya membawa saya ke negeri pencerahan dan kebebasan.
Saya akan mendaftarkan daerah-daerah ini untuk semua yang juga melakukan dosa berpikir, mendapati diri mereka ditendang keluar dari surga ketidakpedulian, dan berada di jalan menuju tujuan yang tidak diketahui.
Jika anda ragu, jika jaket ketidakpedulian yang anda pakai untuk menyelubungi diri terkoyak menjadi potongan-potongan kecil dan anda mendapati diri anda telanjang, maka ketahuilah bahwa anda tidak dapat tinggal di surga ketidakpedulian lebih lama lagi. Anda telah diusir dari sana untuk selamanya. Sama seperti seorang anak yang telah keluar dari rahim ibunya, maka ia tidak bisa kembali lagi kesana, anda tidak akan diijinkan untuk memasuki “surga ketidakpedulian” yang indah itu. Dengarkanlah suara orang yang pernah ada disana dan mengalaminya, dan janganlah berusaha untuk tetap menempel di pintu gerbangnya. Pintu itu sudah terkunci.
Tetapi tataplah ke depan. Ada sebuah perjalanan menanti anda. Anda dapat terbang ke tujuan anda ataupun merangkak. Saya merangkak! Tetapi karena saya merangkak, maka saya mengenal jalan ini dengan sangat baik. Saya akan menggambarkan jalannya, sehingga mudah-mudahan anda tidak perlu merangkak.
Jalan dari iman menuju kepada pencerahan mempunyai 7 lembah.
Lembah pertama adalah syok. Setelah membaca Qur’an, perspektif saya terguncang. Saya mendapati diri saya berhadapan muka dengan kebenaran dan saya takut untuk melihatnya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin saya lihat. Saya tidak dapat menyalahkan siapapun, mengutuk dan mengatainya sebagai pendusta. Dengan membaca Qur’an saya menemukan absurditas Islam dan tidak manusiawinya pengarangnya. Dan saya syok. Namun syok ini menyadarkan saya dan menghadapkan saya pada kebenaran. Sayangnya, ini adalah sebuah proses yang sangat sulit dan menyakitkan. Kita tidak dapat terus membungkus kebenaran dengan gula. Kebenaran itu pahit, dan itu harus diterima. Kenyataan itu ‘keras kepala’ dan tidak mau pergi. Hanya dengan begitu proses pencerahan bisa dimulai.
Tetapi oleh karena kadar kepekaan tiap orang berbeda, apa yang mengejutkan orang lain belum tentu juga akan mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang pria saya terkejut ketika saya membaca bahwa Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk memukuli istri-istri mereka dan ia menyebut kaum wanita sebagai makhluk yang “kurang kecerdasannya”. Padahal saya telah berjumpa dengan banyak wanita Muslim yang tidak mengalami kesulitan untuk menerima pernyataan yang merendahkan ini yang disampaikan oleh nabi mereka. Bukan karena mereka setuju bahwa mereka memiliki inteligensi yang rendah atau mereka percaya bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kaum wanita hanya karena nabi berkata demikian, namun hanya karena mereka dihalangi untuk mendapatkan informasi itu. Mereka membacanya, tapi tidak menghayatinya. Mereka menyangkalinya. Penyangkalan adalah sebuah perisai yang menutupi dan melindungi mereka, yang menyelamatkan mereka agar mereka tidak usah menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Jika perisai itu disingkirkan, tidak ada yang dapat mengembalikannya lagi. Pada titik ini iman mereka harus diserang dari berbagai arah yang berbeda. Kita harus membombardir mereka dengan pengajaran Qur’an lainnya yang mengejutkan. Pastilah ada salah-satu yang menjadi kelemahan mereka. Itulah yang mereka butuhkan: sebuah kejutan yang baik. Kejutan itu sangat menyakitkan, tapi dapat menyelamatkan hidup. Kejutan biasa digunakan para dokter untuk menghidupkan kembali pasien yang sudah mati.
Untuk pertama kalinya, internet telah mengubah keseimbangan kekuatan. Kini kekuatan brutal dari senjata api, penjara dan laskar kematian tidak berdaya dan pena berkuasa. Untuk pertama kalinya, orang Muslim tidak dapat membunuh kebenaran dengan membunuh utusan kebenaran. Kini sejumlah besar orang Muslim terhubung dengan kebenaran dan mereka merasa tidak berdaya. Mereka ingin membungkam suara ini, namun tidak sanggup. Mereka berusaha melarang dan menutup situs-situs yang mengekspos kepercayaan mereka yang mereka agungkan; kadang untuk sementara waktu mereka berhasil, tapi banyak kali mereka gagal. Saya menciptakan sebuah situs untuk mendidik orang Muslim mengenai Islam yang sejati. Saya mengalamatkannya di Tripod.com. Para penganut Islam memaksa Tripod untuk menutupnya dan para eksekutif Tripod bersikap pengecut dengan menuruti orang-orang Muslim itu. Saya mendapatkan tempat saya dan situs itu kembali lagi setelah beberapa minggu. Oleh karena itu, cara-cara lama dengan membunuh orang-orang sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam mereka dengan teror tidak akan berhasil. Mereka tidak dapat menghentikan orang agar tidak membaca. Walaupun situs saya dilarang di Arab Saudi, Uni emirat Arab dan di banyak negara Islam lainnya, sejumlah besar orang Muslim yang tidak pernah tahu kebenaran tentang Islam terekspos dengan kebenaran untuk pertama kalinya, dan mereka terkejut.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Saya bertemu dengan seorang wanita di internet yang bertobat kepada Islam dan mulai mengenakan jilbab. Dia memiliki sebuah situs yang memuat gambar dirinya tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pakaian hitam dan kerudung hitam, dan juga kisah bagaimana ia menjadi seorang Muslim. Ia sangat aktif dan ia selalu menasehati orang agar tidak membaca tulisan-tulisan saya. Namun, ketika ia membaca tulisan saya mengenai Safiyah, wanita Yahudi yang ditawan dan diperkosa Muhammad setelah nabi membunuh suaminya dan juga ayahnya, dan banyak kerabatnya, ia pun terkejut. Ia bertanya pada orang-orang Muslim lainnya mengenai hal ini, namun sia-sia. Lalu pintu itu terbuka dan ia diusir dari surga ketidakpedulian. Ia terus menulis kepada saya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Akhirnya, ia melewati tahap berikut dari iman yang buta kepada pencerahan dengan sangat cepat dan berterimakasih pada saya karena telah membimbingnya menjalani jalan yang sulit ini. Kemudian ia mengundurkan diri dari klub-klub islami Yahoo!
Ketika orang mengetahui kehidupan Muhammad yang tidak suci dan absurditas Qur’an, mereka terkejut. Saya ingin mengekspos Islam; menulis kebenaran mengenai kotornya hidup Muhammad, perkataan-perkataannya yang penuh kebencian, gagasan-gagasannya yang tidak masuk akal; dan membombardir orang Muslim dengan kenyataan-kenyataan. Mereka akan jadi marah. Mereka akan mengutuk saya, menghina saya, dan mengatakan pada saya bahwa setelah mereka membaca artikel-artikel saya iman mereka pada Islam semakin “dikuatkan”. Tapi itu terjadi ketika saya tahu bahwa saya telah menabur benih keraguan dalam benak mereka. Mereka mengatakan semua itu karena mereka terkejut dan telah masuk ke tahap penyangkalan. Benih keraguan telah ditanamkan, dan akan bertunas. Untuk beberapa orang hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun jika diberi kesempatan tunas itu pada akhirnya akan berkembang.
Keraguan adalah karunia terbesar yang dapat kita berikan pada sesama kita. Keraguan adalah karunia pencerahan. Keraguan akan membebaskan kita, akan mengembangkan pengetahuan, dan akan menyingkapkan misteri alam semesta ini.
Salah-satu rintangan yang harus diatasi adalah tradisi dan nilai-nilai palsu yang dicekokkan pada kita melalui pendidikan agama selama ribuan tahun. Dunia ini masih menghargai iman dan menganggap keraguan sebagai sebuah tanda kelemahan. Orang membicarakan tokoh-tokoh iman dengan hormat dan menghina orang-orang yang imannya sedikit. Kita terbelit kusut dalam nilai-nilai kita.
Keraguan, di lain pihak, berarti kebalikan dari yang di atas. Keraguan berarti mampu berpikir secara mandiri, mempertanyakan, dan bersikap skeptis. Kita berhutang sains dan peradaban modern yang saat ini kita miliki pada para pria dan wanita yang mempunyai keraguan – bukan pada orang-orang yang beriman. Mereka yang ragu adalah para pelopor; merekalah para pemimpin pemikiran. Mereka adalah para filsuf, para pencipta dan penemu. Mereka yang beriman menjalani hidup dan mati sebagai pengikut-pengikut, dan hanya sedikit berkontribusi, atau bahkan tidak sama sekali, terhadap kemajuan sains dan pemahaman manusia.
Setelah dikejutkan, atau juga terus menerus dikejutkan, orang akan menyangkal. Mayoritas orang Muslim terperangkap dalam penyangkalan. Mereka tidak mampu dan tidak ingin mengakui bahwa Qur’an adalah sebuah cerita bohong. Mereka berusaha keras menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan, menemukan mujizat di dalamnya, dan dengan rela membengkokkan semua aturan logis untuk membuktikan bahwa Qur’an itu benar. Tiap kali mereka diperhadapkan dengan suatu pernyataan yang mengejutkan di dalam Qur’an atau suatu perbuatan tercela yang dilakukan Muhammad, mereka mengundurkan diri ke dalam penyangkalan. Inilah yang saya lakukan dalam tahap pertama perjalanan saya. Penyangkalan adalah tempat yang aman. Penyangkalan adalah ketidakmauan untuk mengakui bahwa anda telah ditendang keluar dari surga ketidakpedulian. Anda mencoba untuk kembali, enggan mengambil langkah maju. Dalam penyangkalan anda menemukan zona nyaman anda. Dalam penyangkalan anda tidak akan disakiti, semuanya oke, semuanya baik-baik saja.
Kebenaran itu teramat sangat menyakitkan, terutama jika orang sudah terbiasa berbohong selama hidupnya. Tidaklah mudah bagi seorang Muslim untuk memandang Muhammad sebagaimana adanya dia. Itu rasanya seperti mengatakan pada seorang anak bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh, seorang pemerkosa dan pencuri. Seorang anak yang memuja ayahnya tidak dapat menerima hal itu sekalipun semua bukti yang ada di seluruh dunia diperlihatkan padanya. Kejutan itu terlalu keras sehingga yang dapat dilakukannya adalah menyangkal. Ia akan menyebut anda seorang pembohong, ia akan membenci anda karena anda telah menyakitinya, mengutuk anda, menganggap anda sebagai musuhnya, dan bahkan meledak dalam kemarahan dan akan menyerang anda secara fisik.
Ini adalah tahap penyangkalan. Ini adalah mekanisme pertahanan diri. Jika terlalu menyakitkan, penyangkalan akan membuang rasa sakit itu. Jika seorang ibu diberitahu bahwa anaknya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, seringkali reaksi pertamanya adalah menyangkal. Dalam masa kekacauan besar, orang biasanya terhanyut dalam perasaan bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan pada akhirnya ia akan terbangun dan semuanya akan baik-baik saja. Sayangnya, kenyataan itu keras dan tidak mau pergi. Orang dapat hidup dalam penyangkalan untuk sementara waktu, namun cepat atau lambat kebenaran harus diterima.
Orang-orang Muslim terbungkus rapat dalam kebohongan. Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah kejahatan yang harus dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani mengatakan kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan hidup lama. Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu kebenaran kalau semua yang anda dengar hanyalah kebohongan? D satu pihak Qur’an mengklaim dirinya sebagai sebuah mujizat dan menantang setiap orang untuk menghasilkan sebuah Surah seperti itu:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. Sura 2:23.
Lalu Qur’an memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh siapapun yang berani mengkritik atau menantang Qur’an. Jika anda berani menanggapi tantangan itu dan membuat sebuah Sura yang ditulis seburuk Qur’an, anda akan dituduh telah mengolok-olok Islam, dan harus dihukum mati. Dalam atmosfir ketidaktulusan dan penipuan ini, kebenaran dikorbankan.
Rasa sakit yang dialami saat berhadapan muka dengan kebenaran dan menyadari bahwa semua yang kita percayai selama ini ternyata hanyalah kebohongan adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Satu-satunya mekanisme dan cara alamiah untuk mengatasinya adalah dengan menyangkal. Penyangkalan mengusir kepedihan. Penyangkalan adalah angin yang menyejukkan, walau sesungguhnya bagai menyembunyikan kepala di dalam pasir.
Tidak ada seorangpun yang dapat tinggal dalam penyangkalan selamanya. Malam akan segera tiba dan angin dingin kenyataan akan berhembus membekukan tulang, lalu anda akan menyadari bahwa anda tidak lagi berada di dalam surga ketidakpedulian. Pintu itu telah tertutup dan kuncinya sudah dibuang. Anda tahu terlalu banyak. Anda adalah orang yang terbuang. Dengan rasa takut anda menatap kegelapan dan jalan berkelok hampir-hampir tidak dapat anda lihat dalam temaram ketidakpastian anda, dan memantapkan hati anda mengambil langkah-langkah pertama menuju takdir yang tidak anda ketahui. Anda bergulat dan meraba-raba, dengan hati enggan berusaha untuk tetap fokus. Tetapi ketakutan menyelubungi anda dan setiap kali anda mencoba berlari kembali ke taman itu, anda sekali lagi diperhadapkan dengan pintu yang tertutup.
Mayoritas besar orang Muslim hidup dalam penyangkalan. Mereka tinggal di balik pintu-pintu yang tertutup. Mereka tidak dapat kembali dan juga tidak berani untuk berpaling. Mereka yang ada di dalam taman adalah orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya. Pintu taman itu hanya akan mengeluarkan anda. Anda tidak dapat masuk. Taman yang indah itu adalah taman ketidakpastian. Taman itu disediakan untuk orang-orang yang setia, bagi mereka yang tidak pernah ragu, bagi mereka yang tidak berpikir. Mereka mempercayai apa saja. Mereka percaya dan akan tetap percaya bahwa malam itu siang, dan siang adalah malam. Mereka percaya bahwa Muhammad naik ke langit ke-7, bertemu dengan Tuhan, membelah bulan, dan bergumul dengan jin-jin.
Orang-orang beriman ini tidak akan melihat kebenaran jika mereka terbungkus rapat dalam kebohongan secara permanen. Sejauh ini apa yang telah mereka dengar adalah dusta yang mengatakan bahwa Islam itu baik dan jika saja orang-orang Muslim mempraktekkan Islam yang sejati, maka dunia akan menjadi surga; bahwa semua permasalahan yang dihadapi Islam adalah kesalahan dari orang-orang Muslim semata. Ini adalah kebohongan. Banyak orang Muslim yang baik. Mereka tidak lebih buruk dan tidak lebih baik dari orang lain. Islamlah yang membuat mereka melakukan kejahatan-kejahatan. Orang Muslim yang melakukan hal-hal yang buruk adalah mereka yang mengikuti Islam. Islam memicu insting kriminal dalam diri manusia. Semakin kuat keislaman seseorang, semakin ia haus darah, penuh kebencian, dan semakin menjadi zombie.
Saya ingin menyangkali apa yang telah saya baca. Saya ingin percaya bahwa makna Qur’an yang sesungguhnya bukanlah seperti yang saya baca, tapi saya tidak bisa. Saya tidak dapat lagi membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa ayat-ayat yang tidak manusiawi ini telah dikeluarkan dari konteksnya. Qur’an tidak mempunyai konteks! Ayat-ayat dikumpulkan secara acak, dan seringkali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang membaca artikel saya dan tersakiti oleh apa yang saya katakan mengenai Qur’an dan Islam adalah orang-orang yang beruntung. Mereka dapat menyalahkan saya. Mereka dapat membenci saya, mengutuk saya, dan mengarahkan semua kemarahan mereka pada saya. Namun, ketika saya membaca Qur’an dan mempelajari isinya, saya tidak dapat menyalahkan siapapun. Setelah menjalani tahap syok dan penyangkalan, saya bingung dan menyalahkan diri sendiri. Saya membenci diri saya sendiri karena saya berpikir, meragukan, dan karena saya menemukan kesalahan dari apa yang saya percayai sebagai perkataan-perkataan Allah.
Seperti halnya semua orang Muslim, saya diperhadapkan dan menerima begitu banyak kebohongan, absurditas, dan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Saya dibesarkan sebagai orang yang religius. Saya mempercayai apa saja yang dikatakan kepada saya. Kebohongan-kebohongan itu diberikan pada saya dalam dosis yang kecil, secara bertahap, sejak saya masih kanak-kanak. Saya tidak pernah diberikan pilihan lain sebagai pembanding. Itu seperti vaksinasi. Saya jadi kebal terhadap kebenaran. Tetapi ketika saya mulai membaca Qur’an secara serius dari depan sampai belakang dan memahami apa yang dikatakan kitab ini, saya merasa mual. Semua kebohongan ini tiba-tiba muncul di hadapan saya.
Saya telah mendengar semuanya itu dan telah menerimanya. Pemikiran rasional saya mati rasa. Saya telah menjadi tidak peka terhadap absurditas Qur’an. Ketika saya menemukan sesuatu yang tidak masuk akal, saya menyingkirkannya dan mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya harus melihat “gambar besarnya”. Namun gambar besar yang indah itu tidak dapat saya temukan dimanapun kecuali dalam pikiran saya sendiri. Saya menggambarkan Islam yang sempurna; sehingga semua absurditas itu tidak mengganggu saya karena saya tidak memperhatikannya. Ketika saya membaca Qur’an secara menyeluruh, saya menemukan gambaran yang berbeda dari apa yang ada dalam pikiran saya. Gambaran yang baru mengenai Islam timbul dari halaman-halaman Qur’an yang kejam, tidak bertoleransi, tidak rasional, sombong; jauh dari gambaran Islam sebagai agama yang damai, yang mengajarkan kesetaraan dan toleransi.
Di hadapan banyak absurditas ini, saya harus menyangkalinya agar saya tetap waras. Namun demikian, berapa lama saya dapat terus menyangkali kebenaran sedangkan kebenaran itu bersinar dengan terang benderang di hadapan saya? Saya membaca Qur’an dalam bahasa Arab, jadi saya tidak dapat menyalahkan penerjemahan yang buruk/tidak tepat. Di kemudian hari saya membaca terjemahan-terjemahan lain. Saya menyadari bahwa banyak terjemahan dalam bahasa Inggris tidak sepenuhnya tepat. Para penerjemah telah berusaha keras untuk menyembunyikan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan dan kekejaman di dalam Qur’an dengan memutar-balikkan kata-kata di dalam Qur’an dan menambahkan perkataan mereka sendiri, kadang-kadang dalam tanda kurung, untuk memperhalus kekerasan. Qur’an dalam bahasa Arab lebih mengejutkan dari pada terjemahan-terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris.
Saya bingung dan tidak tahu kemana harus bertanya. Iman saya telah digoncangkan dan dunia saya runtuh. Saya tidak dapat lagi menyangkali apa yang saya baca. Namun, saya tidak dapat menerima kemungkinan bahwa semua ini hanyalah kebohongan besar. Bagaimana bisa? Saya terus bertanya pada diri sendiri, begitu banyak orang yang belum pernah melihat kebenaran sedangkan saya dapat melihatnya? Bagaimana mungkin orang berhikmat seperti Jalaleddin Rumi tidak melihat kalau Muhammad adalah seorang penipu dan bahwa Qur’an adalah sebuah kebohongan, sedangkan saya dapat melihat semua itu? Maka kemudian saya memasuki tahap rasa bersalah.
Rasa bersalah itu berlangsung selama berbulan-bulan. Saya membenci diri saya sendiri karena memiliki pikiran-pikiran ini. Saya merasa Tuhan sedang menguji iman saya. Saya merasa malu. Saya berbicara dengan orang-orang terpelajar yang saya percayai, orang-orang yang tidak hanya berilmu namun juga yang saya anggap bijaksana. Saya hanya mendapatkan sedikit jawaban yang dapat memadamkan api yang menyala-nyala dalam diri saya. Salah seorang dari kaum terpelajar itu mengatakan agar saya berhenti membaca Qur’an untuk sementara waktu. Ia menganjurkan agar saya berdoa dan hanya membaca buku-buku yang dapat menguatkan iman saya. Saya melakukannya, tapi itu sama sekali tidak menolong. Pikiran-pikiran mengenai absurditas, kadang kekerasan dan ayat-ayat aneh dalam Qur’an terus berdentam dalam kepala saya. Setiap kali saya menatap rak buku saya dan melihat kitab itu, saya merasa sakit. Saya mengambilnya dan menyembunyikannya di balik buku-buku lain. Saya berpikir jika saya tidak memikirkannya untuk sementara waktu, pikiran-pikiran negatif saya akan pergi dan saya akan memperoleh iman saya kembali. Ternyata tidak. Saya menyangkal dengan segenap kemampuan saya, sampai saya sudah tidak sanggup lagi. Saya terkejut, bingung, merasa bersalah, dan semua itu menyakitkan.
Ketika orang mengetahui kehidupan Muhammad yang tidak suci dan absurditas Qur’an, mereka terkejut. Saya ingin mengekspos Islam; menulis kebenaran mengenai kotornya hidup Muhammad, perkataan-perkataannya yang penuh kebencian, gagasan-gagasannya yang tidak masuk akal; dan membombardir orang Muslim dengan kenyataan-kenyataan. Mereka akan jadi marah. Mereka akan mengutuk saya, menghina saya, dan mengatakan pada saya bahwa setelah mereka membaca artikel-artikel saya iman mereka pada Islam semakin “dikuatkan”. Tapi itu terjadi ketika saya tahu bahwa saya telah menabur benih keraguan dalam benak mereka. Mereka mengatakan semua itu karena mereka terkejut dan telah masuk ke tahap penyangkalan. Benih keraguan telah ditanamkan, dan akan bertunas. Untuk beberapa orang hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun jika diberi kesempatan tunas itu pada akhirnya akan berkembang.
Keraguan adalah karunia terbesar yang dapat kita berikan pada sesama kita. Keraguan adalah karunia pencerahan. Keraguan akan membebaskan kita, akan mengembangkan pengetahuan, dan akan menyingkapkan misteri alam semesta ini.
Salah-satu rintangan yang harus diatasi adalah tradisi dan nilai-nilai palsu yang dicekokkan pada kita melalui pendidikan agama selama ribuan tahun. Dunia ini masih menghargai iman dan menganggap keraguan sebagai sebuah tanda kelemahan. Orang membicarakan tokoh-tokoh iman dengan hormat dan menghina orang-orang yang imannya sedikit. Kita terbelit kusut dalam nilai-nilai kita.
Keraguan, di lain pihak, berarti kebalikan dari yang di atas. Keraguan berarti mampu berpikir secara mandiri, mempertanyakan, dan bersikap skeptis. Kita berhutang sains dan peradaban modern yang saat ini kita miliki pada para pria dan wanita yang mempunyai keraguan – bukan pada orang-orang yang beriman. Mereka yang ragu adalah para pelopor; merekalah para pemimpin pemikiran. Mereka adalah para filsuf, para pencipta dan penemu. Mereka yang beriman menjalani hidup dan mati sebagai pengikut-pengikut, dan hanya sedikit berkontribusi, atau bahkan tidak sama sekali, terhadap kemajuan sains dan pemahaman manusia.
Setelah dikejutkan, atau juga terus menerus dikejutkan, orang akan menyangkal. Mayoritas orang Muslim terperangkap dalam penyangkalan. Mereka tidak mampu dan tidak ingin mengakui bahwa Qur’an adalah sebuah cerita bohong. Mereka berusaha keras menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan, menemukan mujizat di dalamnya, dan dengan rela membengkokkan semua aturan logis untuk membuktikan bahwa Qur’an itu benar. Tiap kali mereka diperhadapkan dengan suatu pernyataan yang mengejutkan di dalam Qur’an atau suatu perbuatan tercela yang dilakukan Muhammad, mereka mengundurkan diri ke dalam penyangkalan. Inilah yang saya lakukan dalam tahap pertama perjalanan saya. Penyangkalan adalah tempat yang aman. Penyangkalan adalah ketidakmauan untuk mengakui bahwa anda telah ditendang keluar dari surga ketidakpedulian. Anda mencoba untuk kembali, enggan mengambil langkah maju. Dalam penyangkalan anda menemukan zona nyaman anda. Dalam penyangkalan anda tidak akan disakiti, semuanya oke, semuanya baik-baik saja.
Kebenaran itu teramat sangat menyakitkan, terutama jika orang sudah terbiasa berbohong selama hidupnya. Tidaklah mudah bagi seorang Muslim untuk memandang Muhammad sebagaimana adanya dia. Itu rasanya seperti mengatakan pada seorang anak bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh, seorang pemerkosa dan pencuri. Seorang anak yang memuja ayahnya tidak dapat menerima hal itu sekalipun semua bukti yang ada di seluruh dunia diperlihatkan padanya. Kejutan itu terlalu keras sehingga yang dapat dilakukannya adalah menyangkal. Ia akan menyebut anda seorang pembohong, ia akan membenci anda karena anda telah menyakitinya, mengutuk anda, menganggap anda sebagai musuhnya, dan bahkan meledak dalam kemarahan dan akan menyerang anda secara fisik.
Ini adalah tahap penyangkalan. Ini adalah mekanisme pertahanan diri. Jika terlalu menyakitkan, penyangkalan akan membuang rasa sakit itu. Jika seorang ibu diberitahu bahwa anaknya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, seringkali reaksi pertamanya adalah menyangkal. Dalam masa kekacauan besar, orang biasanya terhanyut dalam perasaan bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan pada akhirnya ia akan terbangun dan semuanya akan baik-baik saja. Sayangnya, kenyataan itu keras dan tidak mau pergi. Orang dapat hidup dalam penyangkalan untuk sementara waktu, namun cepat atau lambat kebenaran harus diterima.
Orang-orang Muslim terbungkus rapat dalam kebohongan. Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah kejahatan yang harus dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani mengatakan kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan hidup lama. Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu kebenaran kalau semua yang anda dengar hanyalah kebohongan? D satu pihak Qur’an mengklaim dirinya sebagai sebuah mujizat dan menantang setiap orang untuk menghasilkan sebuah Surah seperti itu:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. Sura 2:23.
Lalu Qur’an memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh siapapun yang berani mengkritik atau menantang Qur’an. Jika anda berani menanggapi tantangan itu dan membuat sebuah Sura yang ditulis seburuk Qur’an, anda akan dituduh telah mengolok-olok Islam, dan harus dihukum mati. Dalam atmosfir ketidaktulusan dan penipuan ini, kebenaran dikorbankan.
Rasa sakit yang dialami saat berhadapan muka dengan kebenaran dan menyadari bahwa semua yang kita percayai selama ini ternyata hanyalah kebohongan adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Satu-satunya mekanisme dan cara alamiah untuk mengatasinya adalah dengan menyangkal. Penyangkalan mengusir kepedihan. Penyangkalan adalah angin yang menyejukkan, walau sesungguhnya bagai menyembunyikan kepala di dalam pasir.
Tidak ada seorangpun yang dapat tinggal dalam penyangkalan selamanya. Malam akan segera tiba dan angin dingin kenyataan akan berhembus membekukan tulang, lalu anda akan menyadari bahwa anda tidak lagi berada di dalam surga ketidakpedulian. Pintu itu telah tertutup dan kuncinya sudah dibuang. Anda tahu terlalu banyak. Anda adalah orang yang terbuang. Dengan rasa takut anda menatap kegelapan dan jalan berkelok hampir-hampir tidak dapat anda lihat dalam temaram ketidakpastian anda, dan memantapkan hati anda mengambil langkah-langkah pertama menuju takdir yang tidak anda ketahui. Anda bergulat dan meraba-raba, dengan hati enggan berusaha untuk tetap fokus. Tetapi ketakutan menyelubungi anda dan setiap kali anda mencoba berlari kembali ke taman itu, anda sekali lagi diperhadapkan dengan pintu yang tertutup.
Mayoritas besar orang Muslim hidup dalam penyangkalan. Mereka tinggal di balik pintu-pintu yang tertutup. Mereka tidak dapat kembali dan juga tidak berani untuk berpaling. Mereka yang ada di dalam taman adalah orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya. Pintu taman itu hanya akan mengeluarkan anda. Anda tidak dapat masuk. Taman yang indah itu adalah taman ketidakpastian. Taman itu disediakan untuk orang-orang yang setia, bagi mereka yang tidak pernah ragu, bagi mereka yang tidak berpikir. Mereka mempercayai apa saja. Mereka percaya dan akan tetap percaya bahwa malam itu siang, dan siang adalah malam. Mereka percaya bahwa Muhammad naik ke langit ke-7, bertemu dengan Tuhan, membelah bulan, dan bergumul dengan jin-jin.
Orang-orang beriman ini tidak akan melihat kebenaran jika mereka terbungkus rapat dalam kebohongan secara permanen. Sejauh ini apa yang telah mereka dengar adalah dusta yang mengatakan bahwa Islam itu baik dan jika saja orang-orang Muslim mempraktekkan Islam yang sejati, maka dunia akan menjadi surga; bahwa semua permasalahan yang dihadapi Islam adalah kesalahan dari orang-orang Muslim semata. Ini adalah kebohongan. Banyak orang Muslim yang baik. Mereka tidak lebih buruk dan tidak lebih baik dari orang lain. Islamlah yang membuat mereka melakukan kejahatan-kejahatan. Orang Muslim yang melakukan hal-hal yang buruk adalah mereka yang mengikuti Islam. Islam memicu insting kriminal dalam diri manusia. Semakin kuat keislaman seseorang, semakin ia haus darah, penuh kebencian, dan semakin menjadi zombie.
Saya ingin menyangkali apa yang telah saya baca. Saya ingin percaya bahwa makna Qur’an yang sesungguhnya bukanlah seperti yang saya baca, tapi saya tidak bisa. Saya tidak dapat lagi membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa ayat-ayat yang tidak manusiawi ini telah dikeluarkan dari konteksnya. Qur’an tidak mempunyai konteks! Ayat-ayat dikumpulkan secara acak, dan seringkali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang membaca artikel saya dan tersakiti oleh apa yang saya katakan mengenai Qur’an dan Islam adalah orang-orang yang beruntung. Mereka dapat menyalahkan saya. Mereka dapat membenci saya, mengutuk saya, dan mengarahkan semua kemarahan mereka pada saya. Namun, ketika saya membaca Qur’an dan mempelajari isinya, saya tidak dapat menyalahkan siapapun. Setelah menjalani tahap syok dan penyangkalan, saya bingung dan menyalahkan diri sendiri. Saya membenci diri saya sendiri karena saya berpikir, meragukan, dan karena saya menemukan kesalahan dari apa yang saya percayai sebagai perkataan-perkataan Allah.
Seperti halnya semua orang Muslim, saya diperhadapkan dan menerima begitu banyak kebohongan, absurditas, dan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Saya dibesarkan sebagai orang yang religius. Saya mempercayai apa saja yang dikatakan kepada saya. Kebohongan-kebohongan itu diberikan pada saya dalam dosis yang kecil, secara bertahap, sejak saya masih kanak-kanak. Saya tidak pernah diberikan pilihan lain sebagai pembanding. Itu seperti vaksinasi. Saya jadi kebal terhadap kebenaran. Tetapi ketika saya mulai membaca Qur’an secara serius dari depan sampai belakang dan memahami apa yang dikatakan kitab ini, saya merasa mual. Semua kebohongan ini tiba-tiba muncul di hadapan saya.
Saya telah mendengar semuanya itu dan telah menerimanya. Pemikiran rasional saya mati rasa. Saya telah menjadi tidak peka terhadap absurditas Qur’an. Ketika saya menemukan sesuatu yang tidak masuk akal, saya menyingkirkannya dan mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya harus melihat “gambar besarnya”. Namun gambar besar yang indah itu tidak dapat saya temukan dimanapun kecuali dalam pikiran saya sendiri. Saya menggambarkan Islam yang sempurna; sehingga semua absurditas itu tidak mengganggu saya karena saya tidak memperhatikannya. Ketika saya membaca Qur’an secara menyeluruh, saya menemukan gambaran yang berbeda dari apa yang ada dalam pikiran saya. Gambaran yang baru mengenai Islam timbul dari halaman-halaman Qur’an yang kejam, tidak bertoleransi, tidak rasional, sombong; jauh dari gambaran Islam sebagai agama yang damai, yang mengajarkan kesetaraan dan toleransi.
Di hadapan banyak absurditas ini, saya harus menyangkalinya agar saya tetap waras. Namun demikian, berapa lama saya dapat terus menyangkali kebenaran sedangkan kebenaran itu bersinar dengan terang benderang di hadapan saya? Saya membaca Qur’an dalam bahasa Arab, jadi saya tidak dapat menyalahkan penerjemahan yang buruk/tidak tepat. Di kemudian hari saya membaca terjemahan-terjemahan lain. Saya menyadari bahwa banyak terjemahan dalam bahasa Inggris tidak sepenuhnya tepat. Para penerjemah telah berusaha keras untuk menyembunyikan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan dan kekejaman di dalam Qur’an dengan memutar-balikkan kata-kata di dalam Qur’an dan menambahkan perkataan mereka sendiri, kadang-kadang dalam tanda kurung, untuk memperhalus kekerasan. Qur’an dalam bahasa Arab lebih mengejutkan dari pada terjemahan-terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris.
Saya bingung dan tidak tahu kemana harus bertanya. Iman saya telah digoncangkan dan dunia saya runtuh. Saya tidak dapat lagi menyangkali apa yang saya baca. Namun, saya tidak dapat menerima kemungkinan bahwa semua ini hanyalah kebohongan besar. Bagaimana bisa? Saya terus bertanya pada diri sendiri, begitu banyak orang yang belum pernah melihat kebenaran sedangkan saya dapat melihatnya? Bagaimana mungkin orang berhikmat seperti Jalaleddin Rumi tidak melihat kalau Muhammad adalah seorang penipu dan bahwa Qur’an adalah sebuah kebohongan, sedangkan saya dapat melihat semua itu? Maka kemudian saya memasuki tahap rasa bersalah.
Rasa bersalah itu berlangsung selama berbulan-bulan. Saya membenci diri saya sendiri karena memiliki pikiran-pikiran ini. Saya merasa Tuhan sedang menguji iman saya. Saya merasa malu. Saya berbicara dengan orang-orang terpelajar yang saya percayai, orang-orang yang tidak hanya berilmu namun juga yang saya anggap bijaksana. Saya hanya mendapatkan sedikit jawaban yang dapat memadamkan api yang menyala-nyala dalam diri saya. Salah seorang dari kaum terpelajar itu mengatakan agar saya berhenti membaca Qur’an untuk sementara waktu. Ia menganjurkan agar saya berdoa dan hanya membaca buku-buku yang dapat menguatkan iman saya. Saya melakukannya, tapi itu sama sekali tidak menolong. Pikiran-pikiran mengenai absurditas, kadang kekerasan dan ayat-ayat aneh dalam Qur’an terus berdentam dalam kepala saya. Setiap kali saya menatap rak buku saya dan melihat kitab itu, saya merasa sakit. Saya mengambilnya dan menyembunyikannya di balik buku-buku lain. Saya berpikir jika saya tidak memikirkannya untuk sementara waktu, pikiran-pikiran negatif saya akan pergi dan saya akan memperoleh iman saya kembali. Ternyata tidak. Saya menyangkal dengan segenap kemampuan saya, sampai saya sudah tidak sanggup lagi. Saya terkejut, bingung, merasa bersalah, dan semua itu menyakitkan.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Periode merasa bersalah ini berlangsung sangat lama. Suatu hari saya memutuskan bahwa ini cukup sampai disini saja. Saya mengatakan pada diri saya sendiri bahwa ini bukanlah kesalahan saya. Saya tidak ingin membawa rasa bersalah ini selamanya, memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal bagi saya. Jika Tuhan memberi saya otak, itu karena Ia ingin saya menggunakannya. Jika apa yang saya terima sebagai sesuatu yang benar dan salah telah dibengkokkan, maka itu bukan kesalahan saya.
Ia mengatakan pada saya bahwa membunuh adalah perbuatan yang jahat dan saya sadar bahwa membunuh itu jahat, karena itu saya tidak mau dibunuh. Lalu mengapa utusan-Nya membunuh begitu banyak orang yang tidak berdosa dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman? Jika memperkosa adalah perbuatan yang jahat, dan saya tahu bahwa itu jahat, karena saya tidak mau hal itu terjadi pada orang yang saya kasihi, mengapa Nabi Allah memperkosa wanita-wanita yang menjadi tawanan perangnya? Jika perbudakan itu jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka kehilangan kebebasan saya dan menjadi seorang budak, mengapa nabi Allah memperbudak begitu banyak orang dan memperkaya dirinya sendiri dengan menjual mereka? Jika pemaksaan agama adalah hal yang jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka ada orang yang memaksakan agamanya pada saya sedangkan saya tidak menginginkannya, lalu mengapa nabi menyanjung jihad dan mendorong para pengikutnya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman, merampok mereka, dan mendistribusikan kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang? Jika Tuhan mengatakan pada saya bahwa sesuatu hal itu baik, dan saya tahu bahwa itu baik karena mendatangkan kebaikan pada saya, lalu mengapa nabi-Nya melakukan hal yang sebaliknya?
Ketika rasa bersalah itu telah diangkat dari pundak saya, kecemasan, kekecewaan dan sinis pun datang. Saya menyesal karena telah menyia-nyiakan begitu banyak tahun dalam hidup saya, dan bagi semua orang Muslim yang masih terperangkap dalam kepercayaan-kepercayaan yang tolol ini, bagi semua yang telah kehilangan hidup mereka atas nama doktrin-doktrin yang palsu ini, bagi semua wanita di negara-negara Islam yang menderita segala macam penyiksaan dan penindasan. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka sedang disiksa.
Saya memikirkan semua perang yang dilakukan atas nama agama – begitu banyak orang mati sia-sia. Jutaan orang beriman meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk berperang dalam nama Allah, tidak pernah kembali, mereka mengira mereka sedang menyebarkan iman kepada Allah. Mereka membantai jutaan orang tidak berdosa. Peradaban-peradaban dihancurkan, perpustakaan-perpustakaan dibakar, dan begitu banyak pengetahuan hilang sia-sia. Saya teringat suatu kali ayah saya bangun waktu hari masih gelap sebelum fajar tiba dan ia mempraktekkan voodoo di air yang sangat dingin di musim salju. Saya ingat bagaimana dia pulang dengan lapar dan haus selama bulan puasa, dan saya memikirkan jutaan orang yang menyiksa dirinya sendiri dengan cara ini untuk sesuatu yang sia-sia saja. Kenyataan bahwa semua yang telah saya percayai adalah sebuah kebohongan dan semua yang telah saya lakukan hanyalah menyia-nyiakan hidup saya, serta masih ada jutaan orang yang tersesat di padang gurun ketidakpedulian yang gersang dan mengejar bayangan yang terlihat oleh mereka seperti air, maka semua hal itu ternyata mengecewakan.
Sebelumnya Tuhan selalu ada dalam pikiran saya. Dalam imajinasi saya, saya selalu berbicara dengan-Nya, dan percakapan-percakapan itu bagi saya adalah sesuatu yang nyata. Saya merasa Tuhan memperhatikan saya dan menghitung semua perbuatan baik yang saya lakukan. Perasaan bahwa ada yang yang memperhatikan saya, memimpin langkah-langkah saya, dan menjaga saya adalah hal yang menenteramkan. Sulit bagi saya untuk menerima bahwa Allah itu tidak ada dan seandainya pun Tuhan itu ada, maka itu bukanlah Allah. Saya tidak berhenti percaya kepada Tuhan, namun kemudian saya yakin bahwa jika alam semesta ini memiliki seseorang yang menciptakannya, maka itu bukanlah sesembahan yang diberitakan oleh Muhammad. Allah itu amat sangat tidak peduli. Qur’an itu penuh dengan kesalahan. Tidak ada Pencipta alam semesta ini yang sebodoh sesembahan yang digambarkan oleh Qur’an. Allah tidak eksis dimanapun, kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras. Saya menyadari bahwa Allah hanyalah isapan jempol dari imajinasi Muhammad, dan tidak lebih daripada itu. Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya telah berdoa kepada sebuah fantasi.
Perasaan kehilangan dan kekecewaan ini disertai dengan kesedihan, dan juga depresi. Seakan-akan dunia saya sudah hancur berkeping-keping. Saya merasa seakan-akan tanah tempat saya berpijak sudah tidak ada lagi dan saya jatuh ke dalam jurang yang tidak ada dasarnya. Tanpa bermaksud membesar-besarkannya, saya merasa seperti berada dalam neraka.
Saya tersesat, memohon pertolongan, namun tidak ada yang sanggup menolong saya. Saya merasa malu akan pikiran-pikiran saya dan membenci diri saya sendiri karena mempunyai pikiran-pikiran seperti itu. Perasaan bersalah itu disertai dengan perasaan kehilangan dan depresi yang kuat. Saya adalah orang yang berpikiran positif. Saya melihat sisi baik dari segala sesuatu. Saya selalu berpikiran bahwa esok akan lebih baik daripada hari ini. Saya bukanlah orang yang mudah depresi. Namun, perasaan kehilangan ini sangat mencengkeram saya. Saya masih merasakan beban itu dalam hati saya. Saya merasa Tuhan telah meninggalkan saya dan saya tidak tahu mengapa. “Inikah penghukuman Tuhan?” Saya terus bertanya pada diri sendiri. Seingat saya, saya tidak pernah menyakiti siapapun. Saya selalu berusaha menolong orang yang berpapasan dengan saya dan yang meminta pertolongan saya. Jadi, mengapa Tuhan ingin menghukum saya dengan cara seperti ini? Mengapa Ia tidak menjawab doa-doa saya? Mengapa Ia membiarkan saya bergumul dengan diriku sendiri dandengan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran saya yang tidak ada jawabannya? Apakah Ia ingin menguji saya? Lalu, mana jawaban untuk doa-doa saya? Apakah saya akan lulus dari ujian ini jika saya menjadi bodoh dan berhenti menggunakan otak saya? Jika demikian, mengapa ia memberikan otak pada saya? Apakah hanya orang-orang bodoh yang dapat lulus dari ujian iman ini?
Saya merasa dikhianati dan dijahati. Saya tidak dapat mengatakan perasaan apa yang palling dominan. Ada kalanya saya kecewa, sedih dan putus asa. Walaupun iman adalah sesuatu yang tidak benar, rasanya masih manis. Beriman itu sangat menenteramkan.
Saat saya mulai menyingkirkan perasaan sedih dan kehilangan itu, maka saya pun merasa terbebas. Tak lama kemudian saya tidak lagi merasa bersalah dan bingung. Saya yakin bahwa Qur’an adalah suatu kebohongan dan Muhammad adalah seorang penipu.
Untuk mengatasi kesedihan ini saya berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Saya bahkan belajar menari dan mengalami apa artinya hidup, bebas dari rasa bersalah, menikmati hidup dan menjadi normal. Saya menyadari betapa saya telah banyak kehilangan dan betapa dengan bodohnya saya telah melewatkan banyak kesenangan sederhana dalam hidup. Sudah barang tentu, penyangkalan adalah cara yang digunakan bidat untuk mengontrol para pengikutnya. Saya telah menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup, dulu hidup dalam ketakutan yang terus menerus terhadap Tuhan, dan saya pikir semua itu normal saja. Saya meninggalkan nikmatnya tidur di pagi buta, menari, berkencan, atau menyeruput segelas anggur yang baik.
Saat ini, saya memasuki tahap berikutnya dari perjalanan saya menuju pencerahan. Saya marah. Marah karena telah mempercayai kebohongan itu selama bertahun-tahun, marah karena telah menghabiskan banyak tahun dalam hidup saya untuk “mengejar angsa liar”. Marah terhadap kebudayaan saya karena telah mengkhianati saya, marah terhadap nilai-nilai yang salah yang diberikan oleh kebudayaan pada saya; karena orangtua saya mengajarkan kebohongan pada saya; marah pada diri sendiri karena saya tidak berpikir sebelumnya, karena percaya pada kebohongan, mempercayai seorang penipu; marah pada Tuhan karena telah mengewakan saya, karena tidak mengintervensi dan menghentikan kebohongan yang disebarkan dalam nama-Nya.
Ketika saya melihat gambar jutaan orang Muslim, yang dengan penuh kesungguhan pergi ke Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji, dengan menghabiskan uang tabungan mereka, saya jadi marah terhadap kebohongan-kebohongan yang diberikan pada mereka. Ketika saya membaca bagaimana seseorang telah ditobatkan kepada Islam, hal yang selalu diiklankan orang Muslim dengan senang dan dijadikan pemberitaan yang besar, saya jadi sedih dan marah. Saya sedih memikirkan orang malang itu (yang telah masuk Islam) dan saya marah terhadap kebohongan (yang diberikan padanya).
Saya marah pada seluruh dunia karena berusaha menjaga kebohongan ini, yang membelanya dan bahkan menyiksa anda jika anda angkat suara dan berusaha mengatakan pada mereka apa yang anda ketahui. Bukan cuma orang Muslim, tetapi juga orang-orang Barat yang tidak percaya pada Islam. Tidak apa-apa jika mengkritik apapun selain Islam. Yang mengherankan saya dan membuat saya menjadi lebih marah lagi adalah perlawanan yang saya hadapi ketika saya berusaha mengatakan kepada orang-orang lain bahwa Islam bukanlah kebenaran.
Untunglah kemarahan ini tidak berlangsung lama. Saya tahu bahwa Muhammad bukanlah utusan Tuhan namun seorang dukun, seorang penghasut yang hanya berniat untuk memperdayakan orang dan memuaskan ambisi pribadinya yang narsistik. Saya tahu semua semua cerita masa kanak-kanak tentang neraka dengan apinya yang menyala-nyala, dan surga dengan sungai anggurnya, susu dan madu yang hanyalah isapan jempol dan buah pikiran seorang yang sakit, liar, tidak aman dan suka melakukan kekerasan terhadap orang lain, seorang yang sangat berhasrat untuk mendominasi dan menegaskan otoritasnya sendiri.
Saya sadar seharusnya saya tidak marah terhadap orang-tua saya; karena mereka telah melakukan yang terbaik dan mengajari saya apa yang menurut mereka adalah yang terbaik pula. Saya tidak dapat marah pada masyarakat atau kebudayaan saya karena bangsaku juga sama mengalami ketidaktahuan seperti halnya orangtua saya dan saya sendiri. Setelah sejenak berpikir, saya sadar semua orang telah menjadi korban. Ada satu milyar korban, bahkan lebih. Bahkan mereka yang telah menindas orang yang tidak beriman juga adalah korban dari Islam. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang Muslim jika mereka tidak tahu apa yang diperjuangkan Islam, dan sejujurnya walaupun itu salah, mempercayai bahwa Islam adalah agama yang damai?
Bagaimana dengan Muhammad? Haruskah saya marah padanya karena ia berbohong, menipu dan menyesatkan orang? Bagaimana saya bisa marah pada orang yang sudah mati? Muhammad adalah seorang yang sakit secara emosi yang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu yang diasuh oleh 5 orangtua angkat yang berbeda sebelum ia mencapai usia 8 tahun. Saat ia dekat dengan seseorang, ia dipisahkan dari orang itu dan diberikan kepada orang lain lagi. Tentunya ini sulit baginya dan mengganggu kesehatan mentalnya. Sebagai seorang anak, yang kehilangan kasih dan perasaan dimiliki, ia bertumbuh dengan rasa takut yang sangat mendalam dan kurang percaya diri. Ia menjadi seorang yang narsistik. Orang yang narsistik adalah orang yang mengalami kekurangan kasih pada masa kanak-kanak, yang tidak mampu mengasihi, namun sangat ingin diperhatikan, dihormati dan diakui. Ia melihat nilai dirinya melalui cara pandang orang lain padanya.Tanpa pengakuan itu ia bukanlah siapa-siapa. Ia menjadi orang yang suka memanipulasi dan seorang pembohong besar.
Orang-orang yang narsistik adalah pemimpin besar. Mereka ingin menaklukkan dunia dan mendominasi semua orang. Hanya dalam lamunan megalomaniak mereka, sifat narsistik mereka dapat terpuaskan. Beberapa narsistik terkenal adalah Hitler, Mussolini, Stalin, Saddam Hussein, Idi Amin, Pol Pot, dan Mao. Orang-orang yang narsistik adalah orang-orang yang cerdas namun rusak emosinya. Mereka adalah orang-orang yang sangat sakit. Mereka menetapkan tujuan-tujuan yang sangat tinggi bagi diri mereka sendiri. Tujuan mereka selalu berhubungan dengan dominasi, kekuasaan, dan respek. Mereka bukan siapa-siapa jika mereka diabaikan. Orang-orang yang narsistik sering mencari pembenaran untuk mengontrol korbannya yang tidak waspada. Bagi Hitler, pembenaran itu berupa pesta dan balapan. Bagi Mussolini, fasisme atau bersatunya sebuah bangsa untuk melawan bangsa lain. Bagi Muhammad, agama.
Tujuan-tujuan ini hanyalah alat bagi mereka untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih mempromosikan dirinya sendiri, para narsistik mempromosikan sebuah tujuan, sebuah ideologi, atau agama, sambil menampilkan diri sebagai satu-satunya pihak yang berotoritas dan perwakilan dari tujuan-tujuan itu. Hitler tidak meminta orang-orang Jerman untuk mengasihinya sebagai seorang pribadi, tetapi supaya mereka mengasihi dan menghormatinya karena ia adalah Fuhrer. Muhammad tidak dapat menyuruh siapapun untuk menaatinya. Namun, ia dapat dengan mudah menuntut para pengikutnya untuk menaati Allah dan utusan-Nya. Tentu saja, Allah adalah pribadi Muhammad yang kedua, sehingga pada akhirnya semua ketaatan hanyalah kepadanya. Dengan cara ini Muhammad dapat mengontrol hidup semua orang dengan mengatakan pada mereka bahwa ia adalah representasi Allah dan apa yang dikatakannya adalah penetapan Allah.
Muhammad adalah orang yang kasar dan tidak berperasaan. Ketika ia memutuskan bahwa orang Yahudi sudah tidak menguntungkannya lagi, ia berhenti menjilat mereka dan kemudian memusnahkan mereka. Ia membantai semua pria dari Bani Qurayza dan membuang atau membunuh semua orang Yahudi lainnya dan juga orang Kristen dari Arabia. Tentulah jika Allah ingin menghancurkan orang-orang itu ia tidak akan membutuhkan pertolongan dari utusan-Nya.
Oleh karena itu, saya tidak menemukan alasan untuk marah pada orang yang sakit secara emosi, yang telah meninggal bertahun-tahun silam. Muhammad sendiri adalah korban dari kebudayaan yang bodoh yang dimiliki bangsanya, korban dari ketidakpedulian ibunya yang alih-alih mengasuhnya pada tahun-tahun pertama hidupnya saat ia sangat membutuhkan kasih ibunya, ibunya malah memberikannya pada seorang wanita Bedouin untuk diasuh sehingga ibunya dapat menikah lagi.
Saya tidak dapat mengkritik atau menyalahkan orang-orang Arab dari abad ke-7 yang tidak peduli, karena tidak dapat melihat kalau Muhammad adalah seorang yang sakit dan bukanlah seorang nabi, bahwa janji-janjinya yang aneh, mimpi-mimpi yang mengesankan berkenaan dengan menaklukkan dan menundukkan bangsa-bangsa yang besar sementara dia hanyalah seorang miskin, yang disebabkan oleh komplikasi emosi patologis dan tidak ada hubungannya dengan suatu kuasa illahi. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang-orang Arab yang tidak peduli itu karena mereka menjadi mangsa dari seseorang seperti Muhammad sedang pada satu abad lalu, jutaan orang Jerman menjadi mangsa dari karisma seorang narsistik lainnya yang, sama seperti Muhammad, membuat janji-janji yang besar, dan sama kejamnya, sama manipulatifnya, dan sama ambisiusnya.
Setelah memikirkan hal ini dengan mendalam, saya menyadari bahwa saya tidak dapat marah kepada siapapun. Saya menyadari bahwa mereka semua adalah korban dan sekaligus orang yang mengorbankan sesamanya. Penjahatnya adalah ketidakpedulian. Oleh karena ketidakpedulian kita, kita percaya pada isapan jempol dan kebohongan mereka, mengijinkan mereka menaburkan kebencian diantara kita atas nama sesembahan palsu, ideologi, atau agama. Kebencian ini memisahkan kita satu sama lain, dan menghalangi kita untuk dapat melihat diri kita seutuhnya dan memahami bahwa kita semua adalah anggota-anggota umat manusia, yang terhubung satu sama lain dan saling bergantung.
Maka kemudian kemarahan saya berubah menjadi perasaan belas-kasihan, empati dan kasih yang mendalam. Saya berjanji pada diri sendiri untuk memerangi ketidakpedulian ini yang telah memecah-belah umat manusia. Kita telah membayar perpecahan ini dengan harga yang sangat mahal. Perpecahan ini disebabkan oleh ketidakpedulian, dan ketidakpedulian adalah akibat dari kepercayaan palsu dan ideologi yang merusak yang dibuat oleh orang-orang yang tidak sehat secara emosi, untuk kepentingan mereka sendiri.
Ideologi memisahkan kita. Agama menyebabkan perpecahan, kebencian, perkelahian, pembunuhan, dan pertentangan. Sebagai anggota keluarga besar umat manusia, kita tidak memerlukan ideologi, tujuan, atau agama untuk bisa bersatu.
Saya menyadari bahwa tujuan hidup ini bukanlah supaya beriman, tetapi untuk meragukan. Saya menyadari bahwa tidak seorangpun dapat mengajarkan kebenaran karena kebenaran tidak dapat diajarkan. Kebenaran hanya dapat dialami. Tidak ada agama, filsafat, atau doktrin yang dapat mengajarkan kebenaran kepada anda. Kebenaran ada di dalam kasih kita kepada sesama manusia, dalam tawa seorang anak, dalam persahabatan, dalam pendampingan, dalam kasih antara orangtua dan anak, dan dalam hubungan-hubungan kita dengan sesama. Kebenaran tidak ada dalam ideologi. Satu-satunya hal yang nyata adalah kasih.
Proses beranjak dari iman kepada pencerahan adalah proses yang sulit dan menyakitkan. Mari kita meminjam sebuah terminologi dari Sufisme dan menyebutnya sebagai tujuh “lembah” pencerahan.
Iman adalah keadaan bersepakat dengan ketidakpedulian. Anda akan tetap tinggal dalam keadaan indah ketidakpedulian hingga anda dikejutkan dan dikeluarkan dari ketidakpedulian. Kejutan ini adalah lembah yang pertama.
Reaksi alamiah pertama terhadap kejutan adalah penyangkalan. Penyangkalan bertindak sebagai perisai. Perisai itu menahan rasa sakit dan melindungi anda dari kesengsaraan yang akan anda alami jika anda keluar dari zona nyaman anda. Zona nyaman adalah tempat dimana kita dapat beristirahat, dimana kita dapat menemukan bahwa segala sesuatu yang ada disana tidaklah asing bagi kita, dimana kita tidak harus menghadapi tantangan maupun hal-hal yang tidak kita ketahui. Inilah lembah yang kedua.
Pertumbuhan tidak terjadi di zona nyaman. Untuk dapat terus maju dan berkembang kita harus keluar dari zona nyaman kita. Kita tidak akan melakukannya kecuali kita telah dikejutkan. Menahan rasa sakit akibat syok dengan cara menyangkal juga merupakan sesuatu yang alamiah. Saat ini kita memerlukan kejutan yang lain, dan bisa jadi kita akan memutuskan untuk memagari diri lagi dengan penyangkalan lain lagi. Semakin kerap orang terekspos dengan kenyataan, semakin ia dikejutkan, semakin ia berusaha untuk menjaga dirinya dengan lebih banyak lagi penyangkalan. Namun, penyangkalan tidak dapat menghapus kenyataan. Penyangkalan hanya memagari kita untuk sementara waktu. Ketika kita diperhadapkan dengan kenyataan, pada titik tertentu kita tidak dapat lagi terus menyangkal. Tiba-tiba kita tidak mampu lagi menegakkan pertahanan kita, lalu dinding penyangkalan akan segera roboh. Pada akhirnya kita tidak dapat terus menyembunyikan kepala kita di dalam pasir. Apabila keraguan telah menerobos masuk, maka keraguan akan membawa efek domino dan kita mendapati diri kita diserang dari segala arah oleh kenyataan yang hingga sekarang masih kita hindari dan sangkali. Tiba-tiba semua absurditas yang telah kita terima bahkan kita bela tidak logis lagi, dan kita menolaknya.
Kemudian kita didorong masuk ke dalam tahap kebingungan yang menyakitkan, dan itulah lembah yang ketiga. Keyakinan-keyakinan lama nampaknya tidak masuk akal, bodoh, dan tidak dapat diterima, namun kita tidak mempunyai pegangan yang lain. Saya yakin, lembah ini adalah tahap yang paling mengerikan dalam perjalanan dari iman kepada pencerahan. Dalam lembah ini kita kehilangan iman kita sebelum menemukan pencerahan. Kita berdiri di dunia antah berantah. Kita mengalami jatuh/terbang bebas. Kita mencari pertolongan namun yang kita dapatkan hanyalah sebuah pengulangan kata-kata klise yang tidak masuk akal. Nampaknya orang-orang yang berusaha menolong kita juga tersesat, namun mereka sangat yakin. Mereka percaya pada apa yang tidak mereka ketahui. Argumen-argumen yang mereka sampaikan sama sekali tidak logis. Mereka berharap agar kita percaya begitu saja. Mereka menceritakan teladan-teladan iman orang lain. Tetapi intensitas iman orang lain tidak membuktikan kebenaran dari apa yang mereka percayai.
Pada akhirnya kebingungan ini memberi jalan menuju lembah yang keempat, yaitu rasa bersalah. Anda akan merasa bersalah karena telah berpikir. Anda merasa bersalah karena meragukan, karena mempertanyakan, karena tidak mamahami. Anda merasa telanjang, dan malu akan pikiran-pikiran anda. Anda mengira andalah yang bersalah jika semua absurditas yang ada di dalam kitab suci anda tidak masuk di akal anda. Anda berpikir Tuhan telah meninggalkan anda atau Dia sedang menguji iman anda. Di dalam lembah ini anda akan dikoyakkan oleh emosi dan intelektualitas anda. Emosi bukanlah hal yang rasional, namun sangat berkuasa. Anda ingin kembali ke surga ketidakpedulian; anda sangat ingin percaya, namun anda tidak bisa. Anda telah melakukan dosa berpikir. Anda telah memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan. Anda telah membuat sesembahan dalam imajinasi anda menjadi marah.
Akhirnya anda memutuskan untuk tidak perlu lagi merasa bersalah karena telah mengerti. Rasa bersalah itu bukan milik anda. Anda merasa dibebaskan dan pada saat yang sama kecewa karena semua kebohongan itu telah membuat anda tidak peduli dan telah menyia-nyiakan waktu. Inilah lembah kekecewaan. Pada saat yang sama anda dikuasai kesedihan. Anda merasa dibebaskan, namun seperti baru keluar dari penjara setelah menghabiskan waktu seumur hidup disana, anda diselimuti oleh depresi yang mendalam. Anda merasa sendirian dan, di samping kebebasan anda, anda telah kehilangan sesuatu. Anda memikirkan waktu yang telah hilang. Anda memikirkan orang banyak yang telah mempercayai hal yang tidak masuk akal ini dan yang dengan bodohnya telah mengurbankan segala sesuatu untuk kebohongan itu, bahkan hidup mereka juga. Halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah orang-orang yang dibunuh dalam nama Tuhan, Allah, atau sesembahan lain. Semuanya untuk sesuatu yang sia-sia! Semuanya untuk sebuah kebohongan!
Setelah itu anda memasuki lembah yang keenam: marah. Anda marah pada diri sendiri, dan pada semuanya. Anda menyadari betapa hidup anda telah terbuang percuma karena mempercayai kebohongan-kebohongan itu.
Lalu anda menyadari bahwa anda adalah orang yang beruntung karena telah berhasil berjalan sejauh ini, sementara masih ada jutaan orang yang masih berusaha memagari diri mereka dengan perisai penyangkalan, dan tidak mengembara keluar dari zona nyaman mereka. Mereka masih mengarungi rawa di lembah pertama. Pada tahap ini, saat anda telah benar-benar bebas dari iman, rasa bersalah, dan kemarahan, anda telah siap untuk memahami kebenaran tertinggi dan menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Anda dipenuhi empati dan belas kasihan. Anda siap untuk mendapat pencerahan. Pencerahan datang ketika anda menyadari bahwa kebenaran ada di dalam kasih dan di dalam relasi kita dengan sesama manusia dan bukan dalam sebuah agama atau bidat. Anda menyadari bahwa Kebenaran adalah dataran yang tidak mempunyai jalan. Tidak ada seorang nabi atau guru yang dapat membawa anda kesana. Anda sudah ada disana.
Ia mengatakan pada saya bahwa membunuh adalah perbuatan yang jahat dan saya sadar bahwa membunuh itu jahat, karena itu saya tidak mau dibunuh. Lalu mengapa utusan-Nya membunuh begitu banyak orang yang tidak berdosa dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman? Jika memperkosa adalah perbuatan yang jahat, dan saya tahu bahwa itu jahat, karena saya tidak mau hal itu terjadi pada orang yang saya kasihi, mengapa Nabi Allah memperkosa wanita-wanita yang menjadi tawanan perangnya? Jika perbudakan itu jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka kehilangan kebebasan saya dan menjadi seorang budak, mengapa nabi Allah memperbudak begitu banyak orang dan memperkaya dirinya sendiri dengan menjual mereka? Jika pemaksaan agama adalah hal yang jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka ada orang yang memaksakan agamanya pada saya sedangkan saya tidak menginginkannya, lalu mengapa nabi menyanjung jihad dan mendorong para pengikutnya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman, merampok mereka, dan mendistribusikan kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang? Jika Tuhan mengatakan pada saya bahwa sesuatu hal itu baik, dan saya tahu bahwa itu baik karena mendatangkan kebaikan pada saya, lalu mengapa nabi-Nya melakukan hal yang sebaliknya?
Ketika rasa bersalah itu telah diangkat dari pundak saya, kecemasan, kekecewaan dan sinis pun datang. Saya menyesal karena telah menyia-nyiakan begitu banyak tahun dalam hidup saya, dan bagi semua orang Muslim yang masih terperangkap dalam kepercayaan-kepercayaan yang tolol ini, bagi semua yang telah kehilangan hidup mereka atas nama doktrin-doktrin yang palsu ini, bagi semua wanita di negara-negara Islam yang menderita segala macam penyiksaan dan penindasan. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka sedang disiksa.
Saya memikirkan semua perang yang dilakukan atas nama agama – begitu banyak orang mati sia-sia. Jutaan orang beriman meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk berperang dalam nama Allah, tidak pernah kembali, mereka mengira mereka sedang menyebarkan iman kepada Allah. Mereka membantai jutaan orang tidak berdosa. Peradaban-peradaban dihancurkan, perpustakaan-perpustakaan dibakar, dan begitu banyak pengetahuan hilang sia-sia. Saya teringat suatu kali ayah saya bangun waktu hari masih gelap sebelum fajar tiba dan ia mempraktekkan voodoo di air yang sangat dingin di musim salju. Saya ingat bagaimana dia pulang dengan lapar dan haus selama bulan puasa, dan saya memikirkan jutaan orang yang menyiksa dirinya sendiri dengan cara ini untuk sesuatu yang sia-sia saja. Kenyataan bahwa semua yang telah saya percayai adalah sebuah kebohongan dan semua yang telah saya lakukan hanyalah menyia-nyiakan hidup saya, serta masih ada jutaan orang yang tersesat di padang gurun ketidakpedulian yang gersang dan mengejar bayangan yang terlihat oleh mereka seperti air, maka semua hal itu ternyata mengecewakan.
Sebelumnya Tuhan selalu ada dalam pikiran saya. Dalam imajinasi saya, saya selalu berbicara dengan-Nya, dan percakapan-percakapan itu bagi saya adalah sesuatu yang nyata. Saya merasa Tuhan memperhatikan saya dan menghitung semua perbuatan baik yang saya lakukan. Perasaan bahwa ada yang yang memperhatikan saya, memimpin langkah-langkah saya, dan menjaga saya adalah hal yang menenteramkan. Sulit bagi saya untuk menerima bahwa Allah itu tidak ada dan seandainya pun Tuhan itu ada, maka itu bukanlah Allah. Saya tidak berhenti percaya kepada Tuhan, namun kemudian saya yakin bahwa jika alam semesta ini memiliki seseorang yang menciptakannya, maka itu bukanlah sesembahan yang diberitakan oleh Muhammad. Allah itu amat sangat tidak peduli. Qur’an itu penuh dengan kesalahan. Tidak ada Pencipta alam semesta ini yang sebodoh sesembahan yang digambarkan oleh Qur’an. Allah tidak eksis dimanapun, kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras. Saya menyadari bahwa Allah hanyalah isapan jempol dari imajinasi Muhammad, dan tidak lebih daripada itu. Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya telah berdoa kepada sebuah fantasi.
Perasaan kehilangan dan kekecewaan ini disertai dengan kesedihan, dan juga depresi. Seakan-akan dunia saya sudah hancur berkeping-keping. Saya merasa seakan-akan tanah tempat saya berpijak sudah tidak ada lagi dan saya jatuh ke dalam jurang yang tidak ada dasarnya. Tanpa bermaksud membesar-besarkannya, saya merasa seperti berada dalam neraka.
Saya tersesat, memohon pertolongan, namun tidak ada yang sanggup menolong saya. Saya merasa malu akan pikiran-pikiran saya dan membenci diri saya sendiri karena mempunyai pikiran-pikiran seperti itu. Perasaan bersalah itu disertai dengan perasaan kehilangan dan depresi yang kuat. Saya adalah orang yang berpikiran positif. Saya melihat sisi baik dari segala sesuatu. Saya selalu berpikiran bahwa esok akan lebih baik daripada hari ini. Saya bukanlah orang yang mudah depresi. Namun, perasaan kehilangan ini sangat mencengkeram saya. Saya masih merasakan beban itu dalam hati saya. Saya merasa Tuhan telah meninggalkan saya dan saya tidak tahu mengapa. “Inikah penghukuman Tuhan?” Saya terus bertanya pada diri sendiri. Seingat saya, saya tidak pernah menyakiti siapapun. Saya selalu berusaha menolong orang yang berpapasan dengan saya dan yang meminta pertolongan saya. Jadi, mengapa Tuhan ingin menghukum saya dengan cara seperti ini? Mengapa Ia tidak menjawab doa-doa saya? Mengapa Ia membiarkan saya bergumul dengan diriku sendiri dandengan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran saya yang tidak ada jawabannya? Apakah Ia ingin menguji saya? Lalu, mana jawaban untuk doa-doa saya? Apakah saya akan lulus dari ujian ini jika saya menjadi bodoh dan berhenti menggunakan otak saya? Jika demikian, mengapa ia memberikan otak pada saya? Apakah hanya orang-orang bodoh yang dapat lulus dari ujian iman ini?
Saya merasa dikhianati dan dijahati. Saya tidak dapat mengatakan perasaan apa yang palling dominan. Ada kalanya saya kecewa, sedih dan putus asa. Walaupun iman adalah sesuatu yang tidak benar, rasanya masih manis. Beriman itu sangat menenteramkan.
Saat saya mulai menyingkirkan perasaan sedih dan kehilangan itu, maka saya pun merasa terbebas. Tak lama kemudian saya tidak lagi merasa bersalah dan bingung. Saya yakin bahwa Qur’an adalah suatu kebohongan dan Muhammad adalah seorang penipu.
Untuk mengatasi kesedihan ini saya berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Saya bahkan belajar menari dan mengalami apa artinya hidup, bebas dari rasa bersalah, menikmati hidup dan menjadi normal. Saya menyadari betapa saya telah banyak kehilangan dan betapa dengan bodohnya saya telah melewatkan banyak kesenangan sederhana dalam hidup. Sudah barang tentu, penyangkalan adalah cara yang digunakan bidat untuk mengontrol para pengikutnya. Saya telah menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup, dulu hidup dalam ketakutan yang terus menerus terhadap Tuhan, dan saya pikir semua itu normal saja. Saya meninggalkan nikmatnya tidur di pagi buta, menari, berkencan, atau menyeruput segelas anggur yang baik.
Saat ini, saya memasuki tahap berikutnya dari perjalanan saya menuju pencerahan. Saya marah. Marah karena telah mempercayai kebohongan itu selama bertahun-tahun, marah karena telah menghabiskan banyak tahun dalam hidup saya untuk “mengejar angsa liar”. Marah terhadap kebudayaan saya karena telah mengkhianati saya, marah terhadap nilai-nilai yang salah yang diberikan oleh kebudayaan pada saya; karena orangtua saya mengajarkan kebohongan pada saya; marah pada diri sendiri karena saya tidak berpikir sebelumnya, karena percaya pada kebohongan, mempercayai seorang penipu; marah pada Tuhan karena telah mengewakan saya, karena tidak mengintervensi dan menghentikan kebohongan yang disebarkan dalam nama-Nya.
Ketika saya melihat gambar jutaan orang Muslim, yang dengan penuh kesungguhan pergi ke Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji, dengan menghabiskan uang tabungan mereka, saya jadi marah terhadap kebohongan-kebohongan yang diberikan pada mereka. Ketika saya membaca bagaimana seseorang telah ditobatkan kepada Islam, hal yang selalu diiklankan orang Muslim dengan senang dan dijadikan pemberitaan yang besar, saya jadi sedih dan marah. Saya sedih memikirkan orang malang itu (yang telah masuk Islam) dan saya marah terhadap kebohongan (yang diberikan padanya).
Saya marah pada seluruh dunia karena berusaha menjaga kebohongan ini, yang membelanya dan bahkan menyiksa anda jika anda angkat suara dan berusaha mengatakan pada mereka apa yang anda ketahui. Bukan cuma orang Muslim, tetapi juga orang-orang Barat yang tidak percaya pada Islam. Tidak apa-apa jika mengkritik apapun selain Islam. Yang mengherankan saya dan membuat saya menjadi lebih marah lagi adalah perlawanan yang saya hadapi ketika saya berusaha mengatakan kepada orang-orang lain bahwa Islam bukanlah kebenaran.
Untunglah kemarahan ini tidak berlangsung lama. Saya tahu bahwa Muhammad bukanlah utusan Tuhan namun seorang dukun, seorang penghasut yang hanya berniat untuk memperdayakan orang dan memuaskan ambisi pribadinya yang narsistik. Saya tahu semua semua cerita masa kanak-kanak tentang neraka dengan apinya yang menyala-nyala, dan surga dengan sungai anggurnya, susu dan madu yang hanyalah isapan jempol dan buah pikiran seorang yang sakit, liar, tidak aman dan suka melakukan kekerasan terhadap orang lain, seorang yang sangat berhasrat untuk mendominasi dan menegaskan otoritasnya sendiri.
Saya sadar seharusnya saya tidak marah terhadap orang-tua saya; karena mereka telah melakukan yang terbaik dan mengajari saya apa yang menurut mereka adalah yang terbaik pula. Saya tidak dapat marah pada masyarakat atau kebudayaan saya karena bangsaku juga sama mengalami ketidaktahuan seperti halnya orangtua saya dan saya sendiri. Setelah sejenak berpikir, saya sadar semua orang telah menjadi korban. Ada satu milyar korban, bahkan lebih. Bahkan mereka yang telah menindas orang yang tidak beriman juga adalah korban dari Islam. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang Muslim jika mereka tidak tahu apa yang diperjuangkan Islam, dan sejujurnya walaupun itu salah, mempercayai bahwa Islam adalah agama yang damai?
Bagaimana dengan Muhammad? Haruskah saya marah padanya karena ia berbohong, menipu dan menyesatkan orang? Bagaimana saya bisa marah pada orang yang sudah mati? Muhammad adalah seorang yang sakit secara emosi yang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu yang diasuh oleh 5 orangtua angkat yang berbeda sebelum ia mencapai usia 8 tahun. Saat ia dekat dengan seseorang, ia dipisahkan dari orang itu dan diberikan kepada orang lain lagi. Tentunya ini sulit baginya dan mengganggu kesehatan mentalnya. Sebagai seorang anak, yang kehilangan kasih dan perasaan dimiliki, ia bertumbuh dengan rasa takut yang sangat mendalam dan kurang percaya diri. Ia menjadi seorang yang narsistik. Orang yang narsistik adalah orang yang mengalami kekurangan kasih pada masa kanak-kanak, yang tidak mampu mengasihi, namun sangat ingin diperhatikan, dihormati dan diakui. Ia melihat nilai dirinya melalui cara pandang orang lain padanya.Tanpa pengakuan itu ia bukanlah siapa-siapa. Ia menjadi orang yang suka memanipulasi dan seorang pembohong besar.
Orang-orang yang narsistik adalah pemimpin besar. Mereka ingin menaklukkan dunia dan mendominasi semua orang. Hanya dalam lamunan megalomaniak mereka, sifat narsistik mereka dapat terpuaskan. Beberapa narsistik terkenal adalah Hitler, Mussolini, Stalin, Saddam Hussein, Idi Amin, Pol Pot, dan Mao. Orang-orang yang narsistik adalah orang-orang yang cerdas namun rusak emosinya. Mereka adalah orang-orang yang sangat sakit. Mereka menetapkan tujuan-tujuan yang sangat tinggi bagi diri mereka sendiri. Tujuan mereka selalu berhubungan dengan dominasi, kekuasaan, dan respek. Mereka bukan siapa-siapa jika mereka diabaikan. Orang-orang yang narsistik sering mencari pembenaran untuk mengontrol korbannya yang tidak waspada. Bagi Hitler, pembenaran itu berupa pesta dan balapan. Bagi Mussolini, fasisme atau bersatunya sebuah bangsa untuk melawan bangsa lain. Bagi Muhammad, agama.
Tujuan-tujuan ini hanyalah alat bagi mereka untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih mempromosikan dirinya sendiri, para narsistik mempromosikan sebuah tujuan, sebuah ideologi, atau agama, sambil menampilkan diri sebagai satu-satunya pihak yang berotoritas dan perwakilan dari tujuan-tujuan itu. Hitler tidak meminta orang-orang Jerman untuk mengasihinya sebagai seorang pribadi, tetapi supaya mereka mengasihi dan menghormatinya karena ia adalah Fuhrer. Muhammad tidak dapat menyuruh siapapun untuk menaatinya. Namun, ia dapat dengan mudah menuntut para pengikutnya untuk menaati Allah dan utusan-Nya. Tentu saja, Allah adalah pribadi Muhammad yang kedua, sehingga pada akhirnya semua ketaatan hanyalah kepadanya. Dengan cara ini Muhammad dapat mengontrol hidup semua orang dengan mengatakan pada mereka bahwa ia adalah representasi Allah dan apa yang dikatakannya adalah penetapan Allah.
Muhammad adalah orang yang kasar dan tidak berperasaan. Ketika ia memutuskan bahwa orang Yahudi sudah tidak menguntungkannya lagi, ia berhenti menjilat mereka dan kemudian memusnahkan mereka. Ia membantai semua pria dari Bani Qurayza dan membuang atau membunuh semua orang Yahudi lainnya dan juga orang Kristen dari Arabia. Tentulah jika Allah ingin menghancurkan orang-orang itu ia tidak akan membutuhkan pertolongan dari utusan-Nya.
Oleh karena itu, saya tidak menemukan alasan untuk marah pada orang yang sakit secara emosi, yang telah meninggal bertahun-tahun silam. Muhammad sendiri adalah korban dari kebudayaan yang bodoh yang dimiliki bangsanya, korban dari ketidakpedulian ibunya yang alih-alih mengasuhnya pada tahun-tahun pertama hidupnya saat ia sangat membutuhkan kasih ibunya, ibunya malah memberikannya pada seorang wanita Bedouin untuk diasuh sehingga ibunya dapat menikah lagi.
Saya tidak dapat mengkritik atau menyalahkan orang-orang Arab dari abad ke-7 yang tidak peduli, karena tidak dapat melihat kalau Muhammad adalah seorang yang sakit dan bukanlah seorang nabi, bahwa janji-janjinya yang aneh, mimpi-mimpi yang mengesankan berkenaan dengan menaklukkan dan menundukkan bangsa-bangsa yang besar sementara dia hanyalah seorang miskin, yang disebabkan oleh komplikasi emosi patologis dan tidak ada hubungannya dengan suatu kuasa illahi. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang-orang Arab yang tidak peduli itu karena mereka menjadi mangsa dari seseorang seperti Muhammad sedang pada satu abad lalu, jutaan orang Jerman menjadi mangsa dari karisma seorang narsistik lainnya yang, sama seperti Muhammad, membuat janji-janji yang besar, dan sama kejamnya, sama manipulatifnya, dan sama ambisiusnya.
Setelah memikirkan hal ini dengan mendalam, saya menyadari bahwa saya tidak dapat marah kepada siapapun. Saya menyadari bahwa mereka semua adalah korban dan sekaligus orang yang mengorbankan sesamanya. Penjahatnya adalah ketidakpedulian. Oleh karena ketidakpedulian kita, kita percaya pada isapan jempol dan kebohongan mereka, mengijinkan mereka menaburkan kebencian diantara kita atas nama sesembahan palsu, ideologi, atau agama. Kebencian ini memisahkan kita satu sama lain, dan menghalangi kita untuk dapat melihat diri kita seutuhnya dan memahami bahwa kita semua adalah anggota-anggota umat manusia, yang terhubung satu sama lain dan saling bergantung.
Maka kemudian kemarahan saya berubah menjadi perasaan belas-kasihan, empati dan kasih yang mendalam. Saya berjanji pada diri sendiri untuk memerangi ketidakpedulian ini yang telah memecah-belah umat manusia. Kita telah membayar perpecahan ini dengan harga yang sangat mahal. Perpecahan ini disebabkan oleh ketidakpedulian, dan ketidakpedulian adalah akibat dari kepercayaan palsu dan ideologi yang merusak yang dibuat oleh orang-orang yang tidak sehat secara emosi, untuk kepentingan mereka sendiri.
Ideologi memisahkan kita. Agama menyebabkan perpecahan, kebencian, perkelahian, pembunuhan, dan pertentangan. Sebagai anggota keluarga besar umat manusia, kita tidak memerlukan ideologi, tujuan, atau agama untuk bisa bersatu.
Saya menyadari bahwa tujuan hidup ini bukanlah supaya beriman, tetapi untuk meragukan. Saya menyadari bahwa tidak seorangpun dapat mengajarkan kebenaran karena kebenaran tidak dapat diajarkan. Kebenaran hanya dapat dialami. Tidak ada agama, filsafat, atau doktrin yang dapat mengajarkan kebenaran kepada anda. Kebenaran ada di dalam kasih kita kepada sesama manusia, dalam tawa seorang anak, dalam persahabatan, dalam pendampingan, dalam kasih antara orangtua dan anak, dan dalam hubungan-hubungan kita dengan sesama. Kebenaran tidak ada dalam ideologi. Satu-satunya hal yang nyata adalah kasih.
Proses beranjak dari iman kepada pencerahan adalah proses yang sulit dan menyakitkan. Mari kita meminjam sebuah terminologi dari Sufisme dan menyebutnya sebagai tujuh “lembah” pencerahan.
Iman adalah keadaan bersepakat dengan ketidakpedulian. Anda akan tetap tinggal dalam keadaan indah ketidakpedulian hingga anda dikejutkan dan dikeluarkan dari ketidakpedulian. Kejutan ini adalah lembah yang pertama.
Reaksi alamiah pertama terhadap kejutan adalah penyangkalan. Penyangkalan bertindak sebagai perisai. Perisai itu menahan rasa sakit dan melindungi anda dari kesengsaraan yang akan anda alami jika anda keluar dari zona nyaman anda. Zona nyaman adalah tempat dimana kita dapat beristirahat, dimana kita dapat menemukan bahwa segala sesuatu yang ada disana tidaklah asing bagi kita, dimana kita tidak harus menghadapi tantangan maupun hal-hal yang tidak kita ketahui. Inilah lembah yang kedua.
Pertumbuhan tidak terjadi di zona nyaman. Untuk dapat terus maju dan berkembang kita harus keluar dari zona nyaman kita. Kita tidak akan melakukannya kecuali kita telah dikejutkan. Menahan rasa sakit akibat syok dengan cara menyangkal juga merupakan sesuatu yang alamiah. Saat ini kita memerlukan kejutan yang lain, dan bisa jadi kita akan memutuskan untuk memagari diri lagi dengan penyangkalan lain lagi. Semakin kerap orang terekspos dengan kenyataan, semakin ia dikejutkan, semakin ia berusaha untuk menjaga dirinya dengan lebih banyak lagi penyangkalan. Namun, penyangkalan tidak dapat menghapus kenyataan. Penyangkalan hanya memagari kita untuk sementara waktu. Ketika kita diperhadapkan dengan kenyataan, pada titik tertentu kita tidak dapat lagi terus menyangkal. Tiba-tiba kita tidak mampu lagi menegakkan pertahanan kita, lalu dinding penyangkalan akan segera roboh. Pada akhirnya kita tidak dapat terus menyembunyikan kepala kita di dalam pasir. Apabila keraguan telah menerobos masuk, maka keraguan akan membawa efek domino dan kita mendapati diri kita diserang dari segala arah oleh kenyataan yang hingga sekarang masih kita hindari dan sangkali. Tiba-tiba semua absurditas yang telah kita terima bahkan kita bela tidak logis lagi, dan kita menolaknya.
Kemudian kita didorong masuk ke dalam tahap kebingungan yang menyakitkan, dan itulah lembah yang ketiga. Keyakinan-keyakinan lama nampaknya tidak masuk akal, bodoh, dan tidak dapat diterima, namun kita tidak mempunyai pegangan yang lain. Saya yakin, lembah ini adalah tahap yang paling mengerikan dalam perjalanan dari iman kepada pencerahan. Dalam lembah ini kita kehilangan iman kita sebelum menemukan pencerahan. Kita berdiri di dunia antah berantah. Kita mengalami jatuh/terbang bebas. Kita mencari pertolongan namun yang kita dapatkan hanyalah sebuah pengulangan kata-kata klise yang tidak masuk akal. Nampaknya orang-orang yang berusaha menolong kita juga tersesat, namun mereka sangat yakin. Mereka percaya pada apa yang tidak mereka ketahui. Argumen-argumen yang mereka sampaikan sama sekali tidak logis. Mereka berharap agar kita percaya begitu saja. Mereka menceritakan teladan-teladan iman orang lain. Tetapi intensitas iman orang lain tidak membuktikan kebenaran dari apa yang mereka percayai.
Pada akhirnya kebingungan ini memberi jalan menuju lembah yang keempat, yaitu rasa bersalah. Anda akan merasa bersalah karena telah berpikir. Anda merasa bersalah karena meragukan, karena mempertanyakan, karena tidak mamahami. Anda merasa telanjang, dan malu akan pikiran-pikiran anda. Anda mengira andalah yang bersalah jika semua absurditas yang ada di dalam kitab suci anda tidak masuk di akal anda. Anda berpikir Tuhan telah meninggalkan anda atau Dia sedang menguji iman anda. Di dalam lembah ini anda akan dikoyakkan oleh emosi dan intelektualitas anda. Emosi bukanlah hal yang rasional, namun sangat berkuasa. Anda ingin kembali ke surga ketidakpedulian; anda sangat ingin percaya, namun anda tidak bisa. Anda telah melakukan dosa berpikir. Anda telah memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan. Anda telah membuat sesembahan dalam imajinasi anda menjadi marah.
Akhirnya anda memutuskan untuk tidak perlu lagi merasa bersalah karena telah mengerti. Rasa bersalah itu bukan milik anda. Anda merasa dibebaskan dan pada saat yang sama kecewa karena semua kebohongan itu telah membuat anda tidak peduli dan telah menyia-nyiakan waktu. Inilah lembah kekecewaan. Pada saat yang sama anda dikuasai kesedihan. Anda merasa dibebaskan, namun seperti baru keluar dari penjara setelah menghabiskan waktu seumur hidup disana, anda diselimuti oleh depresi yang mendalam. Anda merasa sendirian dan, di samping kebebasan anda, anda telah kehilangan sesuatu. Anda memikirkan waktu yang telah hilang. Anda memikirkan orang banyak yang telah mempercayai hal yang tidak masuk akal ini dan yang dengan bodohnya telah mengurbankan segala sesuatu untuk kebohongan itu, bahkan hidup mereka juga. Halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah orang-orang yang dibunuh dalam nama Tuhan, Allah, atau sesembahan lain. Semuanya untuk sesuatu yang sia-sia! Semuanya untuk sebuah kebohongan!
Setelah itu anda memasuki lembah yang keenam: marah. Anda marah pada diri sendiri, dan pada semuanya. Anda menyadari betapa hidup anda telah terbuang percuma karena mempercayai kebohongan-kebohongan itu.
Lalu anda menyadari bahwa anda adalah orang yang beruntung karena telah berhasil berjalan sejauh ini, sementara masih ada jutaan orang yang masih berusaha memagari diri mereka dengan perisai penyangkalan, dan tidak mengembara keluar dari zona nyaman mereka. Mereka masih mengarungi rawa di lembah pertama. Pada tahap ini, saat anda telah benar-benar bebas dari iman, rasa bersalah, dan kemarahan, anda telah siap untuk memahami kebenaran tertinggi dan menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Anda dipenuhi empati dan belas kasihan. Anda siap untuk mendapat pencerahan. Pencerahan datang ketika anda menyadari bahwa kebenaran ada di dalam kasih dan di dalam relasi kita dengan sesama manusia dan bukan dalam sebuah agama atau bidat. Anda menyadari bahwa Kebenaran adalah dataran yang tidak mempunyai jalan. Tidak ada seorang nabi atau guru yang dapat membawa anda kesana. Anda sudah ada disana.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 6 - Sebuah Kisah Cinta Yang Belum Pernah Diungkap
“Ada sebuah perayaan, tetapi itu bukan pesta pernikahannya. Ia mengenakan gaun putih, tetapi itu bukan gaun pengantinnya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang untuk mengutukinya dan melemparkan batu padanya. Tak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara.”
Sejak peristiwa 11 September, kami masih terus mendengar bahwa Islam adalah sebuah agama damai. Tetapi aksi-aksi dari ratusan ribu orang-orang Muslim fanatik memberikan alasan yang tepat untuk kami melihat agama ini secara berbeda. Jika kita mengalihkan mata kita dari headline berita, maka ada juga kisah-kisah yang belum diceritakan, tetapi kisah-kisah itu pun memperlihatkan pada kita sisi gelap dari Islam. Dalam kisah tragis berikut ini, anda akan bertemu dengan Yagmur, yang menceritakan bagaimana saudara perempuannya jatuh cinta dengan seorang pria muda, dimana ayah pria itu melarangnya untuk menikahi wanita ini. Yagmur masih ingat betapa bahagia wajah kedua orang muda ini dan betapa mereka saling mencintai. Dalam usaha untuk mendapatkan restu dari orangtuanya, saudara perempuan Yagmur dan pacarnya memberitahukan bahwa ia sudah hamil. Apa yang kemudian berlangsung dalam kisah nyata ini mengenai hati yang hancur dan penganiayaan adalah sesuatu yang tidak terbayangkan oleh mereka yang hidup di negara Barat. Setelah mendengar kehamilan anak perempuannya, ayah Yagmur dengan geram membawa anak perempuannya ke para pemimpin agama. Karena telah terjadi perzinahan, maka saudara perempuan Yagmur akan dihukum mati dengan cara dilempari dengan batu. Ini adalah sebuah kisah cinta yang tragis, dengan brutalitas yang tak terbayangkan. Setting dari hikayat ini mungkin akan mengejutkan banyak orang. Disamping itu, kisah ini terjadi bukan di Saudi Arabia, Iran atau Afghanistan, melainkan di Turki – yang banyak orang pada masa kini percaya bahwa negara ini akan segera menjadi anggota permanen dari Masyarakat Ekonomi Eropa.
Kisah Cinta Yang Belum Pernah Diungkapkan
Nama saya Yagmur (artinya “hujan”). Saya dilahirkan di pedalaman Turki, di sebuah desa. Pada umumnya, wanita-wanita Turki menikmati banyak kebebasan yang bagi saudari-saudari Arab kami merupakan hal yang tidak pernah mereka pikirkan. Tetapi pedalaman Turki adalah cerita yang berbeda. Pembunuhan karena kehormatan terjadi setiap hari. Biasanya wanita mengerjakan urusan-urusan rumah tangga meskipun mereka masih diperbolehkan bekerja di luar. Tetapi sebenarnya wanita bekerja lebih keras dari pria sebab umumnya pria tidak suka memaksa diri mereka. Di sini, wanita seperti sapi atau budak. Jika suamimu menyuruhmu melakukan sesuatu maka engkau harus mentaatinya.
Ibu saya adalah seorang wanita yang agak berpendidikan. Ia mengajariku di rumah dan bahkan mengijinkanku belajar di sekolah. Hobby saya adalah membaca buku. Melalui buku-buku ini, saya mempelajari bahasa-bahasa yang berbeda dan memperoleh banyak pengetahuan. Saya seorang gadis yang berdisiplin dan taat, berbeda dengan saudara perempuanku yang agak angkuh. Ketika ia berusia delapan belas tahun, ia jatuh cinta dengan seorang pria muda. Keduanya saling mencintai, tetapi pria itu sudah dijodohkan dengan gadis lain, dan ini adalah keputusan orangtuanya. Pacaran merupakan hal yang dilarang dalam Islam; pernikahan terjadi karena dijodohkan dan seringkali orang-orang muda hanya bertemu pasangannya pada hari pernikahan.
Tetapi kakak perempuanku memberontak. Ia “berpacaran” dengan pria muda itu. Setiap malam ia akan pergi untuk bertemu dengannya. Mereka melakukan ciuman dan kemudian hubungan itu menjadi terlalu jauh: Ia pun hamil. Pada awalnya mereka merencanakan untuk melarikan diri ke kota besar dimana kemungkinan mereka akan aman di sana. Mereka tahu peraturan agama di desa dan menyadari bahwa mereka akan mendapatkan masalah besar. Para pemimpin pusat tidak perduli apa yang terjadi di pedalaman Turki. Kadang-kadang memang ada imam atau mullah dan para tua-tua yang dihukum karena mereka mencoba untuk mempraktekkan hukum Islam (Sharia) dan melanggar hukum sekular pemerintah. Tetapi biasanya pemegang otoritas lebih tertarik dengan kota-kota besar yang dipenuhi oleh para turis dan menutup mata mereka terhadap apa yang terjadi di desa-desa.
Saya ingat wajah muda mereka. Saya tidak memahami seluruh situasinya; saya hanyalah seorang gadis kecil. Tetapi ketika saya memandang mereka saya bisa melihat bahwa mereka berbahagia. Kebahagiaan mereka membuat saya bahagia juga, dan saya ingin tersenyum. Bukannya menikah dengan orang pilihannya, mereka berbicara kepada ayah saya. Kehamilan adalah sebuah alasan baik untuk mendapatkan ijin menikah, itu yang mereka kira.
Celakanya, kakakku salah dalam mengkalkulasikan cinta ayah saya padanya dan obsesinya dengan agamanya. Ternyata ia menjadi sangat marah. Bukannya membiarkan dua orang yang sedang jatuh cinta ini menikah dan membangun cinta mereka, ia membawanya ke para pemimpin agama dan mereka menetapkan bahwa kakakku telah melakukan dosa perzinahan. Ia dijatuhi hukuman mati dengan dilempari dengan batu. Mereka tidak menunjukkan belas kasihan bahkan terhadap janin dalam kandungannya. Ia telah menodai “kehormatan” keluarganya dan satu-satunya jalan untuk menghapus noda itu adalah dengan melenyapkan hidupnya yang baru bersemi itu. Janin dalam kandungannya juga merupakan noda, dan ciptaan kecil itu harus dihancurkan supaya keluarga kami bisa kembali hidup dengan terhormat. Pada malam sebelum ia dieksekusi, ia datang ke kamar saya dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan merindukan saya. Ia menangis dan memeluk saya di dadanya. Kemudian ia tersenyum dan berkata bahwa ia akan melihat bayinya yang belum lahir. Saya merasa bahagia, tidak tahu akan nasibnya, tetapi saya bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Saya begitu takut!
Saya masih ingat matanya yang hitam; ia menatap langit ketika tanah digali dan ia dimasukkan ke dalamnya. Ia dibungkus dengan kain putih dan tangannya diikat ke tubuhnya. Ia dikubur hingga batas pinggang. Massa mengelilinginya dengan batu di tangan mereka dan mulai melemparinya dengan batu-batu itu sambil menyerukan Allah-u-Akbar! Allah-u-Akbar! sebagai tambahan atas kegilaan yang mereka lakukan. Kakakku menggelepar kesakitan sementara batu-batu menghantam tubuhnya yang lemah dan memecahkan kepalanya. Darah mengalir keluar dari wajah, pipi, mulut, hidung dan matanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah membungkukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Perlahan-lahan gerakannya melambat dan akhirnya berhenti meskipun hujan batu terus berlangsung. Kepalanya tertelungkup di dadanya. Wajahnya yang penuh darah tetap tenang. Semua kesakitan telah pergi. Massa yang histeris menjadi kasihan dan teriakan Allah-u-Akbar pun berhenti. Seseorang mendekat, dengan sebuah batu besar di tangannya, menghantam tengkorak kakak saya dengan batu itu untuk memastikan nyawanya berakhir. Sebetulnya ia tidak perlu melakukan hal itu karena ia sudah mati. Mata hitamnya yang biasanya bersinar dengan kehidupan sekarang tertutup. Tawa riangnya yang biasanya memenuhi dunia di sekelilingnya kini telah membisu. Jantungnya yang berdetak dengan cinta surgawi untuk waktu yang hanya singkat saja, sekarang telah berhenti. Bahkan janinnya tidak diberikan kesempatan untuk menghirup udara. Janin ini menemani ibunya yang masih muda di tempatnya yang sunyi dan kuburannya yang dingin, atau siapa yang tahu, mungkin ke tempat yang lebih baik dimana cinta memerintah dan kesakitan serta kebodohan tidak dikenal. Nyawa kedua mahluk hidup ini harus dihapus supaya ayah saya bisa menjaga kehormatannya.
Ia ingin menikah dengan pria yang ia kasihi. Ia memimpikan bisa mengenakan gaun putih di hari pernikahannya; dimana akan ada sebuah pesta perayaan yang besar, banyak orang akan diundang dan mereka semua akan mengucapkan selamat kepadanya, menyanyikan lagu-lagu sukacita, dan melemparkan bunga dan guntingan kertas berwarna kepadanya. Ya, memang masih ada perayaan, tetapi bukan perayaan pesta pernikahannya. Ia memang masih mengenakan pakaian putih, tetapi itu bukan gaun putih untuk pernikahannya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang untuk mengutukinya, dan melemparinya dengan batu. Tidak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara. Pelukan yang ia terima hanya dari tanah yang dingin dimana separuh tubuhnya dikubur. Ciuman yang ia terima hanya dari batu-batu yang dilemparkan kepadanya dan merobek dagingnya serta menghancurkan tulang-tulangnya. Mereka menciumnya dengan kematian. Ia tidak dipersatukan dengan pria yang ia cintai tetapi dinikahkan dengan kematian.
Ini adalah sebuah tragedi bagi kekasih kakak saya. Hidupnya menjadi tidak berarti. Ia mendapatkan cambukan, tetapi hanya itu saja. Ia bisa saja melupakan seluruh kisah asmara mereka dan melanjutkan hidupnya, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Saya setiap hari melihatnya berdiri di depan pintu rumah kami, seolah-olah sedang menunggu kakak saya untuk keluar dan bertemu dengannya. Saya melihatnya menangis. Saya hanya bisa membayangkan bahwa ketika ia tidak menangis di depan rumah kami, maka saat itu ia sedang berada di pemakaman, menangis di atas makam orang yang ia kasihi dan bayinya. Hingga suatu hari ia tidak sanggup lagi menanggung penderitaannya dan kemudian ia pun gantung diri hingga mati.
Kematiannya didiamkan dan tak ada orang yang membicarakannya. Mungkin tak ada orang yang peduli. Ia dipersatukan dengan kekasihnya dan bayinya. Tak ada lagi orang yang bisa menyakiti mereka. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Ini adalah sebuah kisah sedih. Tetapi berbeda dengan cerita Romeo dan Juliet, ini adalah kisah nyata yang belum pernah diungkapkan. Tak seorang pun membicarakan kedua orang yang tengah kasmaran itu. Tak ada orang yang menangisi mereka. Tidak hanya mereka dikubur, tetapi memori mengenai mereka berdua juga dikubur seolah-olah mereka tidak pernah eksis. Cinta mereka yang tulus membuat orang lain merasa malu, perasaan malu yang harus dihilangkan dengan darah mereka.
Tetapi bagian yang paling menyedihkan adalah bahwa, berdasarkan hukum Islam, kakakku layak dihukum mati. Para tua-tua yakin bahwa ia akan dibakar di api neraka hingga selama-lamanya. Tidak, saya tidak bisa membayangkan bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang ke neraka karena mencintai seseorang dan karena merasa bahagia oleh cinta itu. Saya tidak bisa menerima Allah yang sadis seperti itu. Ketika saya telah berusia delapan belas tahun, saya menikah dengan seorang pria Turki yang bekerja sebagai bisnisman. Ia berasal dari Jerman. Ketika saya datang ke Jerman, saya menemukan bahwa ia sudah memiliki seorang isteri yang lain.
Ia bukan seorang yang jahat. Ia sangat baik, tetapi ia seorang Muslim. Ia tidak bisa mengerti mengapa orang Eropa tidak suka poligami. Ia tidak mengijinkan kami isteri-isterinya keluar rumah. Ia melindungi kehormatan kami dengan cara yang aneh. Kemudian kami pindah ke Inggris. Di sini kami bahkan lebih terisolasi daripada di Jerman karena hanya ada sedikit orang Turki di negara ini. Di Jerman, paling tidak kami masih bisa bertemu dengan orang-orang Turki yang lain. Hubunganku dengan isteri pertama suamiku seperti teman. Tentu saja ada rivalitas diantara kami, tetapi saya sendirian dan tidak bisa keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain. Hidupnya membosankan dan kosong sama seperti hidup saya. Kami tidak dapat membenci satu sama lain; kami harus menjadi teman untuk mengatasi masalah-masalah kami. Aku dan dia seperti dua orang pasangan sell. Kami saling memiliki. Tidak ada banyak ruang untuk antagonisme atau sakit hati.
Saya memiliki lima anak, dia empat anak. Ia menempati posisi yang lebih istimewa dalam keluarga kami karena ia memiliki anak laki-laki. Sejauh ini saya hanya melahirkan anak-anak perempuan. Kami berdua berpendidikan, tetapi ia sangat terobsesi dengan anak-anak sehingga ia berhenti membaca buku. Saya masih mencoba untuk belajar, barangkali suatu hari kelak saya akan dibebaskan....membaca buku, tetap memasukkan informasi ke dalam otakku, sebab aku suka berpikir. Ia sendiri tidak suka membaca buku atau berpikir, karena itu saya merasa sendiri.
Terkadang saya berpikir untuk melarikan diri, tetapi saya memiliki lima orang anak perempuan. Saya tidak bisa meninggalkan mereka atau lari dari mereka. Saya merasa terjebak. Meskipun saya sudah meninggalkan Islam cukup lama, saya tidak pernah berhenti berdoa dan berpuasa. Suami saya menyimpan rotan untuk ketidaktaatan. Ketika saya coba memprotes, mulut saya dibungkam dengan kutipan dari Quran. Islamlah yang menentukan hidup kita. Betapa bodohnya bahwa orang menjalani kehidupan mereka berdasarkan sebuah buku yang ditulis jauh di masa lalu? Saya tidak sedang menyesali hidup saya. Tetapi saya benar-benar benci dengan Islam. Paling tidak saya bisa mempraktekkan tradisi tertentu, tetapi Islam telah menghancurkan budaya kami, menurunkan derajat kaum wanita menjadi budak dan membiarkan mereka dalam kebodohannya. Apa yang bisa anda harapkan dari seorang wanita tak berpendidikan? Ketika saya memandangi anak-anak perempuanku, saya berdoa bahwa mereka akan hidup di sebuah dunia yang bebas, bebas dari Islam dan perbudakan ini.
Yagmur Dursun adalah nama yang ia berikan dalam surat-suratnya. Sejumlah detail dari kisah ini telah dirubah untuk menyembunyikan identitas penulis
“Ada sebuah perayaan, tetapi itu bukan pesta pernikahannya. Ia mengenakan gaun putih, tetapi itu bukan gaun pengantinnya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang untuk mengutukinya dan melemparkan batu padanya. Tak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara.”
Sejak peristiwa 11 September, kami masih terus mendengar bahwa Islam adalah sebuah agama damai. Tetapi aksi-aksi dari ratusan ribu orang-orang Muslim fanatik memberikan alasan yang tepat untuk kami melihat agama ini secara berbeda. Jika kita mengalihkan mata kita dari headline berita, maka ada juga kisah-kisah yang belum diceritakan, tetapi kisah-kisah itu pun memperlihatkan pada kita sisi gelap dari Islam. Dalam kisah tragis berikut ini, anda akan bertemu dengan Yagmur, yang menceritakan bagaimana saudara perempuannya jatuh cinta dengan seorang pria muda, dimana ayah pria itu melarangnya untuk menikahi wanita ini. Yagmur masih ingat betapa bahagia wajah kedua orang muda ini dan betapa mereka saling mencintai. Dalam usaha untuk mendapatkan restu dari orangtuanya, saudara perempuan Yagmur dan pacarnya memberitahukan bahwa ia sudah hamil. Apa yang kemudian berlangsung dalam kisah nyata ini mengenai hati yang hancur dan penganiayaan adalah sesuatu yang tidak terbayangkan oleh mereka yang hidup di negara Barat. Setelah mendengar kehamilan anak perempuannya, ayah Yagmur dengan geram membawa anak perempuannya ke para pemimpin agama. Karena telah terjadi perzinahan, maka saudara perempuan Yagmur akan dihukum mati dengan cara dilempari dengan batu. Ini adalah sebuah kisah cinta yang tragis, dengan brutalitas yang tak terbayangkan. Setting dari hikayat ini mungkin akan mengejutkan banyak orang. Disamping itu, kisah ini terjadi bukan di Saudi Arabia, Iran atau Afghanistan, melainkan di Turki – yang banyak orang pada masa kini percaya bahwa negara ini akan segera menjadi anggota permanen dari Masyarakat Ekonomi Eropa.
Kisah Cinta Yang Belum Pernah Diungkapkan
Nama saya Yagmur (artinya “hujan”). Saya dilahirkan di pedalaman Turki, di sebuah desa. Pada umumnya, wanita-wanita Turki menikmati banyak kebebasan yang bagi saudari-saudari Arab kami merupakan hal yang tidak pernah mereka pikirkan. Tetapi pedalaman Turki adalah cerita yang berbeda. Pembunuhan karena kehormatan terjadi setiap hari. Biasanya wanita mengerjakan urusan-urusan rumah tangga meskipun mereka masih diperbolehkan bekerja di luar. Tetapi sebenarnya wanita bekerja lebih keras dari pria sebab umumnya pria tidak suka memaksa diri mereka. Di sini, wanita seperti sapi atau budak. Jika suamimu menyuruhmu melakukan sesuatu maka engkau harus mentaatinya.
Ibu saya adalah seorang wanita yang agak berpendidikan. Ia mengajariku di rumah dan bahkan mengijinkanku belajar di sekolah. Hobby saya adalah membaca buku. Melalui buku-buku ini, saya mempelajari bahasa-bahasa yang berbeda dan memperoleh banyak pengetahuan. Saya seorang gadis yang berdisiplin dan taat, berbeda dengan saudara perempuanku yang agak angkuh. Ketika ia berusia delapan belas tahun, ia jatuh cinta dengan seorang pria muda. Keduanya saling mencintai, tetapi pria itu sudah dijodohkan dengan gadis lain, dan ini adalah keputusan orangtuanya. Pacaran merupakan hal yang dilarang dalam Islam; pernikahan terjadi karena dijodohkan dan seringkali orang-orang muda hanya bertemu pasangannya pada hari pernikahan.
Tetapi kakak perempuanku memberontak. Ia “berpacaran” dengan pria muda itu. Setiap malam ia akan pergi untuk bertemu dengannya. Mereka melakukan ciuman dan kemudian hubungan itu menjadi terlalu jauh: Ia pun hamil. Pada awalnya mereka merencanakan untuk melarikan diri ke kota besar dimana kemungkinan mereka akan aman di sana. Mereka tahu peraturan agama di desa dan menyadari bahwa mereka akan mendapatkan masalah besar. Para pemimpin pusat tidak perduli apa yang terjadi di pedalaman Turki. Kadang-kadang memang ada imam atau mullah dan para tua-tua yang dihukum karena mereka mencoba untuk mempraktekkan hukum Islam (Sharia) dan melanggar hukum sekular pemerintah. Tetapi biasanya pemegang otoritas lebih tertarik dengan kota-kota besar yang dipenuhi oleh para turis dan menutup mata mereka terhadap apa yang terjadi di desa-desa.
Saya ingat wajah muda mereka. Saya tidak memahami seluruh situasinya; saya hanyalah seorang gadis kecil. Tetapi ketika saya memandang mereka saya bisa melihat bahwa mereka berbahagia. Kebahagiaan mereka membuat saya bahagia juga, dan saya ingin tersenyum. Bukannya menikah dengan orang pilihannya, mereka berbicara kepada ayah saya. Kehamilan adalah sebuah alasan baik untuk mendapatkan ijin menikah, itu yang mereka kira.
Celakanya, kakakku salah dalam mengkalkulasikan cinta ayah saya padanya dan obsesinya dengan agamanya. Ternyata ia menjadi sangat marah. Bukannya membiarkan dua orang yang sedang jatuh cinta ini menikah dan membangun cinta mereka, ia membawanya ke para pemimpin agama dan mereka menetapkan bahwa kakakku telah melakukan dosa perzinahan. Ia dijatuhi hukuman mati dengan dilempari dengan batu. Mereka tidak menunjukkan belas kasihan bahkan terhadap janin dalam kandungannya. Ia telah menodai “kehormatan” keluarganya dan satu-satunya jalan untuk menghapus noda itu adalah dengan melenyapkan hidupnya yang baru bersemi itu. Janin dalam kandungannya juga merupakan noda, dan ciptaan kecil itu harus dihancurkan supaya keluarga kami bisa kembali hidup dengan terhormat. Pada malam sebelum ia dieksekusi, ia datang ke kamar saya dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan merindukan saya. Ia menangis dan memeluk saya di dadanya. Kemudian ia tersenyum dan berkata bahwa ia akan melihat bayinya yang belum lahir. Saya merasa bahagia, tidak tahu akan nasibnya, tetapi saya bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Saya begitu takut!
Saya masih ingat matanya yang hitam; ia menatap langit ketika tanah digali dan ia dimasukkan ke dalamnya. Ia dibungkus dengan kain putih dan tangannya diikat ke tubuhnya. Ia dikubur hingga batas pinggang. Massa mengelilinginya dengan batu di tangan mereka dan mulai melemparinya dengan batu-batu itu sambil menyerukan Allah-u-Akbar! Allah-u-Akbar! sebagai tambahan atas kegilaan yang mereka lakukan. Kakakku menggelepar kesakitan sementara batu-batu menghantam tubuhnya yang lemah dan memecahkan kepalanya. Darah mengalir keluar dari wajah, pipi, mulut, hidung dan matanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah membungkukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Perlahan-lahan gerakannya melambat dan akhirnya berhenti meskipun hujan batu terus berlangsung. Kepalanya tertelungkup di dadanya. Wajahnya yang penuh darah tetap tenang. Semua kesakitan telah pergi. Massa yang histeris menjadi kasihan dan teriakan Allah-u-Akbar pun berhenti. Seseorang mendekat, dengan sebuah batu besar di tangannya, menghantam tengkorak kakak saya dengan batu itu untuk memastikan nyawanya berakhir. Sebetulnya ia tidak perlu melakukan hal itu karena ia sudah mati. Mata hitamnya yang biasanya bersinar dengan kehidupan sekarang tertutup. Tawa riangnya yang biasanya memenuhi dunia di sekelilingnya kini telah membisu. Jantungnya yang berdetak dengan cinta surgawi untuk waktu yang hanya singkat saja, sekarang telah berhenti. Bahkan janinnya tidak diberikan kesempatan untuk menghirup udara. Janin ini menemani ibunya yang masih muda di tempatnya yang sunyi dan kuburannya yang dingin, atau siapa yang tahu, mungkin ke tempat yang lebih baik dimana cinta memerintah dan kesakitan serta kebodohan tidak dikenal. Nyawa kedua mahluk hidup ini harus dihapus supaya ayah saya bisa menjaga kehormatannya.
Ia ingin menikah dengan pria yang ia kasihi. Ia memimpikan bisa mengenakan gaun putih di hari pernikahannya; dimana akan ada sebuah pesta perayaan yang besar, banyak orang akan diundang dan mereka semua akan mengucapkan selamat kepadanya, menyanyikan lagu-lagu sukacita, dan melemparkan bunga dan guntingan kertas berwarna kepadanya. Ya, memang masih ada perayaan, tetapi bukan perayaan pesta pernikahannya. Ia memang masih mengenakan pakaian putih, tetapi itu bukan gaun putih untuk pernikahannya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang untuk mengutukinya, dan melemparinya dengan batu. Tidak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara. Pelukan yang ia terima hanya dari tanah yang dingin dimana separuh tubuhnya dikubur. Ciuman yang ia terima hanya dari batu-batu yang dilemparkan kepadanya dan merobek dagingnya serta menghancurkan tulang-tulangnya. Mereka menciumnya dengan kematian. Ia tidak dipersatukan dengan pria yang ia cintai tetapi dinikahkan dengan kematian.
Ini adalah sebuah tragedi bagi kekasih kakak saya. Hidupnya menjadi tidak berarti. Ia mendapatkan cambukan, tetapi hanya itu saja. Ia bisa saja melupakan seluruh kisah asmara mereka dan melanjutkan hidupnya, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Saya setiap hari melihatnya berdiri di depan pintu rumah kami, seolah-olah sedang menunggu kakak saya untuk keluar dan bertemu dengannya. Saya melihatnya menangis. Saya hanya bisa membayangkan bahwa ketika ia tidak menangis di depan rumah kami, maka saat itu ia sedang berada di pemakaman, menangis di atas makam orang yang ia kasihi dan bayinya. Hingga suatu hari ia tidak sanggup lagi menanggung penderitaannya dan kemudian ia pun gantung diri hingga mati.
Kematiannya didiamkan dan tak ada orang yang membicarakannya. Mungkin tak ada orang yang peduli. Ia dipersatukan dengan kekasihnya dan bayinya. Tak ada lagi orang yang bisa menyakiti mereka. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Ini adalah sebuah kisah sedih. Tetapi berbeda dengan cerita Romeo dan Juliet, ini adalah kisah nyata yang belum pernah diungkapkan. Tak seorang pun membicarakan kedua orang yang tengah kasmaran itu. Tak ada orang yang menangisi mereka. Tidak hanya mereka dikubur, tetapi memori mengenai mereka berdua juga dikubur seolah-olah mereka tidak pernah eksis. Cinta mereka yang tulus membuat orang lain merasa malu, perasaan malu yang harus dihilangkan dengan darah mereka.
Tetapi bagian yang paling menyedihkan adalah bahwa, berdasarkan hukum Islam, kakakku layak dihukum mati. Para tua-tua yakin bahwa ia akan dibakar di api neraka hingga selama-lamanya. Tidak, saya tidak bisa membayangkan bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang ke neraka karena mencintai seseorang dan karena merasa bahagia oleh cinta itu. Saya tidak bisa menerima Allah yang sadis seperti itu. Ketika saya telah berusia delapan belas tahun, saya menikah dengan seorang pria Turki yang bekerja sebagai bisnisman. Ia berasal dari Jerman. Ketika saya datang ke Jerman, saya menemukan bahwa ia sudah memiliki seorang isteri yang lain.
Ia bukan seorang yang jahat. Ia sangat baik, tetapi ia seorang Muslim. Ia tidak bisa mengerti mengapa orang Eropa tidak suka poligami. Ia tidak mengijinkan kami isteri-isterinya keluar rumah. Ia melindungi kehormatan kami dengan cara yang aneh. Kemudian kami pindah ke Inggris. Di sini kami bahkan lebih terisolasi daripada di Jerman karena hanya ada sedikit orang Turki di negara ini. Di Jerman, paling tidak kami masih bisa bertemu dengan orang-orang Turki yang lain. Hubunganku dengan isteri pertama suamiku seperti teman. Tentu saja ada rivalitas diantara kami, tetapi saya sendirian dan tidak bisa keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain. Hidupnya membosankan dan kosong sama seperti hidup saya. Kami tidak dapat membenci satu sama lain; kami harus menjadi teman untuk mengatasi masalah-masalah kami. Aku dan dia seperti dua orang pasangan sell. Kami saling memiliki. Tidak ada banyak ruang untuk antagonisme atau sakit hati.
Saya memiliki lima anak, dia empat anak. Ia menempati posisi yang lebih istimewa dalam keluarga kami karena ia memiliki anak laki-laki. Sejauh ini saya hanya melahirkan anak-anak perempuan. Kami berdua berpendidikan, tetapi ia sangat terobsesi dengan anak-anak sehingga ia berhenti membaca buku. Saya masih mencoba untuk belajar, barangkali suatu hari kelak saya akan dibebaskan....membaca buku, tetap memasukkan informasi ke dalam otakku, sebab aku suka berpikir. Ia sendiri tidak suka membaca buku atau berpikir, karena itu saya merasa sendiri.
Terkadang saya berpikir untuk melarikan diri, tetapi saya memiliki lima orang anak perempuan. Saya tidak bisa meninggalkan mereka atau lari dari mereka. Saya merasa terjebak. Meskipun saya sudah meninggalkan Islam cukup lama, saya tidak pernah berhenti berdoa dan berpuasa. Suami saya menyimpan rotan untuk ketidaktaatan. Ketika saya coba memprotes, mulut saya dibungkam dengan kutipan dari Quran. Islamlah yang menentukan hidup kita. Betapa bodohnya bahwa orang menjalani kehidupan mereka berdasarkan sebuah buku yang ditulis jauh di masa lalu? Saya tidak sedang menyesali hidup saya. Tetapi saya benar-benar benci dengan Islam. Paling tidak saya bisa mempraktekkan tradisi tertentu, tetapi Islam telah menghancurkan budaya kami, menurunkan derajat kaum wanita menjadi budak dan membiarkan mereka dalam kebodohannya. Apa yang bisa anda harapkan dari seorang wanita tak berpendidikan? Ketika saya memandangi anak-anak perempuanku, saya berdoa bahwa mereka akan hidup di sebuah dunia yang bebas, bebas dari Islam dan perbudakan ini.
Yagmur Dursun adalah nama yang ia berikan dalam surat-suratnya. Sejumlah detail dari kisah ini telah dirubah untuk menyembunyikan identitas penulis
Terakhir diubah oleh Admin tanggal Wed May 11, 2011 10:00 pm, total 3 kali diubah
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 7 - Saya Adalah Eks Muslim, dan Saya Bangga Dengan Hal Itu
“Saya ingat bahwa saya diajar untuk membenci (meskipun tidak secara langsung) dengan memasukkan ketakutan-ketakutan terhadap “orang-orang Yahudi yang jahat itu”, dan guru saya mencoba untuk membawa saya ke dalam jihad dengan menjanjikan ketujuh puluh dua perawan (Huur Al-Ay) yang bisa saya nikmati di Surga. Tentu saja saya tidak pernah tertarik dengan hal itu, sebab saya adalah seorang gay.
Untuk banyak mantan Muslim, tingkatan kebencian dan retorika terhadap mereka yang disebut “kafir” adalah sangat tinggi. Bagi banyak orang-orang Muslim yang masih muda, yang sudah diekspos dengan kebebasan ala Barat, penindasan seperti ini tidak lagi sanggup untuk ditanggung. Tragisnya, tirani seperti ini tidak hanya berlaku di negara-negara Islam, tetapi bisa juga ditemukan di kota-kota besar yang ada di negara Barat. Sebagai contoh, kisah Nissar Hussein, mantan Muslim yang tinggal di Bradford, England, yang berdasarkan laporan dari London Times, ia telah menjadi korban dari sebuah kampanye kebencian yang berlangsung selama tiga tahun karena ia sudah meninggalkan Islam. Keluarganya telah di desak-desak, dilecehkan bahkan diserang. Keluarganya juga sudah diminta untuk pindah dari lingkungannya. Semuanya ini terjadi bukan karena apa yang diyakini oleh Hussein, tetapi karena ia tidak lagi percaya kepada Islam. Sangatlah menyedihkan bahwa kisah seperti ini semakin sering terjadi di seluruh Inggris dan di bagian dunia lainnya.
Dalam kesaksian yang anda baca di sini, murtadin lainnya menceritakan penghinaannya kepada budaya yang ia anut sebelumnya dan hasratnya untuk mengekspos sisi gelap dari budaya itu – meski dengan perasaan takut akan konsekwensi yang mungkin akan ia alami karena melakukan hal itu. Sesungguhnya, mudah untuk mengerti darimana ketakutan itu datang, dan mengapa. Tak seorang pun - bahkan di Barat – aman dari kekejaman Islam.
Saya tidak akan memberikan detail pribadi mengenai kehidupan saya (negara asal, sejarah keluarga, dan sebagainya). Saya cukup mengatakan bahwa saya berasal dari sebuah negara Muslim dimana orang terakhir yang anda harap untuk bisa bertemu adalah seorang eks-Muslim. Saya juga orang Arab, belum genap berusia dua puluh tahun, dan saya ada di sini untuk membagikan kisah saya.
Bukan tugas yang sulit bagi saya menjelaskan secara detail pengalaman saya selama sembilan belas tahun hidup sebagai Muslim. Berasal dari latar belakang Muslim yang religius, saya diajarkan untuk percaya bahwa Quran itu tanpa salah, ucapan-ucapan Muhammad harus dihormati, dan penentangan serta kritik akan menghadapi konsekwensi yang serius. Karena itu saya merasa bahwa saya dipaksa masuk Islam dengan tidak memperdulikan keinginan saya, dan saya dipaksa untuk bertumbuh dengan agama ini dan tidak pernah diijinkan untuk mempertanyakannya.
Tetapi sebenarnya dalam kurun waktu yang cukup panjang, secara diam-diam saya telah mempertanyakan ‘keyakinan” saya; keyakinan yang saya bertumbuh bersamanya dan mengkonstitusikan siapakah saya; keyakinan yang merupakan bagian besar dari identitas saya. Saya ingin saat saya diajar untuk membenci, dengan memasukkan ketakutan terhadap “orang-orang Yahudi yang jahat”, dan guru saya mencoba untuk membawa saya ke dalam jihad dengan menjanjikan ketujuh puluh dua perawan (Huur Al-Ay) yang bisa saya nikmati di Surga. Tentu saja saya tidak pernah tertarik dengan hal itu, sebab saya adalah seorang gay.
Disebabkan jumlah kami yang sangat sedikit, maka kami sebagai mantan Muslim mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan mensharingkan pengalaman kami. Saya merasa sendirian setelah meninggalkan Islam. Saya mengalami depresi, kesedihan, tersiksa dan kesepian. Berada di luar sentuhan realitas dan cara hidup yang ada disekeliling membuat saya benar-benar merasa terisolasi. Bahkan ketika berteriak minta tolong, saya merasa seolah-olah suara saya lenyap ditelan angin.
Sangat sulit untuk meyakini sebuah agama yang melarang seks sebelum nikah, tetapi kitab sucinya menjelaskan lebih detail dan merasa lebih nyaman bagaimana anda seharusnya melakukan hubungan seks, daripada yang dilakukan oleh Carrie Bradshaw dalam serial Sex and the City. Sangat sulit percaya kepada agama yang melarang kegembiraan, yang menindas kaum wanita, dan mengancam orang Yahudi dan Kristen sepertinya mereka itu adalah warga negara kelas seribu.
Semakin banyak saya melihat para imam berteriak dan mengecam “kondisi kami yang miskin”, dan memakainya untuk membenarkan kebencian dan permusuhan terhadap dunia Barat, maka semakin besar juga saya menjadi yakin bahwa meninggalkan Islam adalah sebuah pilihan bijak, sebab tak ada agama yang mengajarkan kebencian seperti ini. Ya, memang ada individu-individu yang hidup dalam kebencian di agama Kristen, tetapi orang-orang ini tidak signifikan, mereka seringkali diabaikan, dan terlebih lagi, orang-orang seperti ini tidak diperkenankan memimpin doa sebagaimana yang dilakukan para imam Islam di mesjid-mesjid mereka. Orang-orang itu juga tidak memiliki otoritas religius atau moral seperti yang dimiliki oleh para imam Islam itu.
Maka disitulah saya, belum terlalu lama saya keluar dari seperangkat keyakinan ini, dan setelah melakukannya saya belum pernah merasa bahagia seperti sebelumnya. Saya merasa bebas, ekstatis, dan bersukacita. Saya sangat berterimakasih kepada wanita seperti Wafa Sultan, yang telah menunjukkan kepada saya wajah asli dari agama yang selama bertahun-tahun saya percayai secara buta. Sekarang saya adalah seorang mantan Muslim. Saya telah meninggalkan agama yang jahat itu dan menganggapnya sebagai masa lalu saya, dan saya tidak akan pernah kembali ke situ. TIDAK AKAN PERNAH! Saya adalah seorang mantan Muslim, dan saya sangat bangga dengan hal ini.
“Saya ingat bahwa saya diajar untuk membenci (meskipun tidak secara langsung) dengan memasukkan ketakutan-ketakutan terhadap “orang-orang Yahudi yang jahat itu”, dan guru saya mencoba untuk membawa saya ke dalam jihad dengan menjanjikan ketujuh puluh dua perawan (Huur Al-Ay) yang bisa saya nikmati di Surga. Tentu saja saya tidak pernah tertarik dengan hal itu, sebab saya adalah seorang gay.
Untuk banyak mantan Muslim, tingkatan kebencian dan retorika terhadap mereka yang disebut “kafir” adalah sangat tinggi. Bagi banyak orang-orang Muslim yang masih muda, yang sudah diekspos dengan kebebasan ala Barat, penindasan seperti ini tidak lagi sanggup untuk ditanggung. Tragisnya, tirani seperti ini tidak hanya berlaku di negara-negara Islam, tetapi bisa juga ditemukan di kota-kota besar yang ada di negara Barat. Sebagai contoh, kisah Nissar Hussein, mantan Muslim yang tinggal di Bradford, England, yang berdasarkan laporan dari London Times, ia telah menjadi korban dari sebuah kampanye kebencian yang berlangsung selama tiga tahun karena ia sudah meninggalkan Islam. Keluarganya telah di desak-desak, dilecehkan bahkan diserang. Keluarganya juga sudah diminta untuk pindah dari lingkungannya. Semuanya ini terjadi bukan karena apa yang diyakini oleh Hussein, tetapi karena ia tidak lagi percaya kepada Islam. Sangatlah menyedihkan bahwa kisah seperti ini semakin sering terjadi di seluruh Inggris dan di bagian dunia lainnya.
Dalam kesaksian yang anda baca di sini, murtadin lainnya menceritakan penghinaannya kepada budaya yang ia anut sebelumnya dan hasratnya untuk mengekspos sisi gelap dari budaya itu – meski dengan perasaan takut akan konsekwensi yang mungkin akan ia alami karena melakukan hal itu. Sesungguhnya, mudah untuk mengerti darimana ketakutan itu datang, dan mengapa. Tak seorang pun - bahkan di Barat – aman dari kekejaman Islam.
Saya tidak akan memberikan detail pribadi mengenai kehidupan saya (negara asal, sejarah keluarga, dan sebagainya). Saya cukup mengatakan bahwa saya berasal dari sebuah negara Muslim dimana orang terakhir yang anda harap untuk bisa bertemu adalah seorang eks-Muslim. Saya juga orang Arab, belum genap berusia dua puluh tahun, dan saya ada di sini untuk membagikan kisah saya.
Bukan tugas yang sulit bagi saya menjelaskan secara detail pengalaman saya selama sembilan belas tahun hidup sebagai Muslim. Berasal dari latar belakang Muslim yang religius, saya diajarkan untuk percaya bahwa Quran itu tanpa salah, ucapan-ucapan Muhammad harus dihormati, dan penentangan serta kritik akan menghadapi konsekwensi yang serius. Karena itu saya merasa bahwa saya dipaksa masuk Islam dengan tidak memperdulikan keinginan saya, dan saya dipaksa untuk bertumbuh dengan agama ini dan tidak pernah diijinkan untuk mempertanyakannya.
Tetapi sebenarnya dalam kurun waktu yang cukup panjang, secara diam-diam saya telah mempertanyakan ‘keyakinan” saya; keyakinan yang saya bertumbuh bersamanya dan mengkonstitusikan siapakah saya; keyakinan yang merupakan bagian besar dari identitas saya. Saya ingin saat saya diajar untuk membenci, dengan memasukkan ketakutan terhadap “orang-orang Yahudi yang jahat”, dan guru saya mencoba untuk membawa saya ke dalam jihad dengan menjanjikan ketujuh puluh dua perawan (Huur Al-Ay) yang bisa saya nikmati di Surga. Tentu saja saya tidak pernah tertarik dengan hal itu, sebab saya adalah seorang gay.
Disebabkan jumlah kami yang sangat sedikit, maka kami sebagai mantan Muslim mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan mensharingkan pengalaman kami. Saya merasa sendirian setelah meninggalkan Islam. Saya mengalami depresi, kesedihan, tersiksa dan kesepian. Berada di luar sentuhan realitas dan cara hidup yang ada disekeliling membuat saya benar-benar merasa terisolasi. Bahkan ketika berteriak minta tolong, saya merasa seolah-olah suara saya lenyap ditelan angin.
Sangat sulit untuk meyakini sebuah agama yang melarang seks sebelum nikah, tetapi kitab sucinya menjelaskan lebih detail dan merasa lebih nyaman bagaimana anda seharusnya melakukan hubungan seks, daripada yang dilakukan oleh Carrie Bradshaw dalam serial Sex and the City. Sangat sulit percaya kepada agama yang melarang kegembiraan, yang menindas kaum wanita, dan mengancam orang Yahudi dan Kristen sepertinya mereka itu adalah warga negara kelas seribu.
Semakin banyak saya melihat para imam berteriak dan mengecam “kondisi kami yang miskin”, dan memakainya untuk membenarkan kebencian dan permusuhan terhadap dunia Barat, maka semakin besar juga saya menjadi yakin bahwa meninggalkan Islam adalah sebuah pilihan bijak, sebab tak ada agama yang mengajarkan kebencian seperti ini. Ya, memang ada individu-individu yang hidup dalam kebencian di agama Kristen, tetapi orang-orang ini tidak signifikan, mereka seringkali diabaikan, dan terlebih lagi, orang-orang seperti ini tidak diperkenankan memimpin doa sebagaimana yang dilakukan para imam Islam di mesjid-mesjid mereka. Orang-orang itu juga tidak memiliki otoritas religius atau moral seperti yang dimiliki oleh para imam Islam itu.
Maka disitulah saya, belum terlalu lama saya keluar dari seperangkat keyakinan ini, dan setelah melakukannya saya belum pernah merasa bahagia seperti sebelumnya. Saya merasa bebas, ekstatis, dan bersukacita. Saya sangat berterimakasih kepada wanita seperti Wafa Sultan, yang telah menunjukkan kepada saya wajah asli dari agama yang selama bertahun-tahun saya percayai secara buta. Sekarang saya adalah seorang mantan Muslim. Saya telah meninggalkan agama yang jahat itu dan menganggapnya sebagai masa lalu saya, dan saya tidak akan pernah kembali ke situ. TIDAK AKAN PERNAH! Saya adalah seorang mantan Muslim, dan saya sangat bangga dengan hal ini.
Re: Mengapa Kami Meninggalkan Islam?
Pasal 8 - Sebuah Perjalanan Menuju Pencerahan
“Semakin banyak saya membaca Qur’an; semakin saya menyadari bahwa kitab tersebut tidak mungkin berasal dari Tuhan yang sejati… saya merasa bebas sekarang. Bebas dari rasa takut. Sebuah agama seharusnya memberikan alasan bagi umat manusia untuk hidup. Islam memberikan alasan untuk mati.”
Keputusan untuk beragama seharusnya dihormati sama halnya dengan pilihan untuk tidak beragama. Sementara banyak orang terkejut dan takut oleh beberapa pernyataan dari kitab tersebut, bagi orang lain, kitab tersebut menyuarakan kebenaran. Hal itu adalah sebuah kebenaran yang telah mereka jalani dan yang ingin mereka bagikan. Asad menceritakan kisahnya bukan untuk mengejutkan, tetapi untuk membukakan pengalamannya. Hal ini merupakan suatu pengalaman yang telah mengubah hidup dan cara berpikirnya. Seperti kebanyakan mahasiswa, Asad menemukan inspirasi dari seorang profesor di fakultasnya. Namun ketika dosennya mengkritik Islam, dia melihat bagaimana teman-temannya para mahasiswa tidak mau bertoleransi terhadap siapa saja tidak mau memeluk Islam dengan segenap hati.
Hal ini diperlihatkan melalui reaksi yang keras dan sikap bermusuhan dalam sebuah skala global kepada orang-orang yang menerima kritikan terhadap Islam. Kepada kebanyakan daripada kita yang hidup di Barat, kartun merupakan sumber kesenangan. Seringkali kartun melintasi garis pembenaran politis, tetapi dalam masyarakat yang toleran kami telah belajar untuk menerima bahwa orang seharusnya bebas memutar sebuah sisi yang berbeda dari sebuah cerita. Kebanyakan dari kami yang ada di Barat, jika kami merasa gusar dengan apa yang kami baca di Surat Kabar, maka kami bisa menyampaikan keluhan kepada editor publikasi dan terkadang kami pun diijinkan untuk mengambil tindakan hukum.
Merupakan hal yang mengejutkan bagi kebanyakan orang ketika sebuah surat kabar Denmark mencetak ulang gambar kartun Nabi Muhammad, suatu Perang Suci akan berlangsung tidak hanya melawan penerbit yang telah menyakiti tetapi juga melawan Denmark, dan bahwa akan ada nyawa melayang dalam pertarungan itu. Sesungguhnya, hal ini sulit dipahami sebagai keuntungan dari penerbitan kartun tersebut, sebab kemudian Saudi Arabia menarik duta besarnya dari Denmark, Libya bahkan akan menutup kedutaannya, Presiden Iran akan membatalkan semua kontrak kerjasama dengan semua negara yang mempublikasikan ulang kartun tersebut, dan di Gaza, orang-orang yang memiliki hubungan dengan Denmark diberi waktu empat puluh delapan jam untuk meninggalkan Gaza. Meski demikian, hal itu dilakukan untuk menunjukkan reaksi terhadap penerbitan kartun tersebut, maka adalah sulit untuk memahami pola pikir manusia yang melukai Asad. Bukan masalah sebenarnya bahwa dia sendiri setuju dengan profesor di kampusnya, tetapi dia menghormati pendapatnya dan merasa bahwa dia berhak mendapatkan penghargaan lebih dari teman-teman mahasiswanya dan tentu saja tidak seharusnya menjadi korban dari kebencian.
Tidak semua orang yang lahir ke dalam Islam menerimanya. Cerita ini mengingatkan kita bahwa orang-orang di Timur dapat meninggalkan rantai besi Islam yang membelenggu mereka. Tetapi cerita ini juga menunjukkan secara nyata – Islam tidak memberi kebebasan berpikir.
Kesaksian Asad
Perjalanan saya menuju pencerahan dimulai ketika saya berada di tahun terakhir pendidikan medis. Pada suatu hari, ketika saya sedang shalat di ruang rehat kampus saya, salah seorang profesor saya memasuki ruangan. Dia duduk di ruangan tersebut dan memperhatikan saya yang sedang shalat. Ketika saya selesai, dia berkata, “Nak, bisakah saya memberimu suatu nasehat?”
Saya menjawab, “tentu, Pak.”
Kemudian dia mengucapkan sesuatu yang tidak akan saya lupakan selamanya. Inilah kata-katanya: ‘Jangan membuang-buang waktumu untuk mencium lantai. Islam itu buruk. Islam merupakan ideologi kebencian dari orang gila. Quran hanyalah sebuah buku tentang omong kosong.”
Saya terkejut. profesor ini adalah orang yang baik. Kebanyakan mahasiswa menyukainya. Dia bahkan memberi waktu lebih untuk mengajajar kami. Lebih dari semuanya, saya sangat meyukainya. Saya berpikir, bagaimana bisa dia mengatakan hal itu? Saya tetap diam dan berjalan keluar ruangan.
Beberapa hari kemudian, saya bercerita kepada teman sekamar saya mengenai kejadian itu. Dia mengatakan bahwa sudah diketahui secara umum kalau profesor adalah seorang atheis. Teman sekamar saya mengatakan bagaimana dia membenci profesor itu. Saya tercengang. Teman sekamar saya selalu mencari profesor itu manakala ia memerlukannya berkaitan dengan mata pelajarannya, tetapi dia membenci profesor itu. Kemudian saya berkata pada diri saya sendiri bahwa saya harus menyelamatkan orang ini dari neraka. Saya mengira, ketika saya mengerti Islam secara dalam, saya akan mampu untuk menjelaskan kepadanya tentang kebenaran Islam. Saya membawa Quran terjemahan Yusuf Ali dan sebuah terjemahan Sahih Bukhari. Itu adalah titik kilas balik dalam hidup saya. Semakin banyak saya membaca Quran semakin saya menyadari bahwa kitab tersebut tidak mungkin berasal dari Tuhan. Ayat-ayat mengenai pembantaian akhirnya memecahkan tempurung kepala saya. Saya bebas sekarang! Bebas dari rasa takut! Sebuah agama seharusnya memberikan alasan bagi umat manusia untuk hidup. Islam memberikan alasan untuk mati.
Sayangnya, sebelum saya dapat memberitahu sang profesor mengenai pencerahan yang saya peroleh, dia meninggal karena serangan jantung. Itu merupakan hari yang menyedihkan bagi saya. Saya satu-satunya “orang Muslim” yang menghadiri pemakamannya. Mahasiswa Muslim lainnya yang saya temui mengatakan kepada saya bahwa profesor itu akan masuk neraka. Tuhan seperti apakah yang menghukum orang besar seperti itu untuk masuk neraka? Satu hal yang dapat diyakini adalah orang Muslim telah membuat hidup saya seperti di dalam neraka. Menuliskan hal ini kepada anda merupakan satu-satunya kemewahan spiritual yang saya miliki di negara Islam
“Semakin banyak saya membaca Qur’an; semakin saya menyadari bahwa kitab tersebut tidak mungkin berasal dari Tuhan yang sejati… saya merasa bebas sekarang. Bebas dari rasa takut. Sebuah agama seharusnya memberikan alasan bagi umat manusia untuk hidup. Islam memberikan alasan untuk mati.”
Keputusan untuk beragama seharusnya dihormati sama halnya dengan pilihan untuk tidak beragama. Sementara banyak orang terkejut dan takut oleh beberapa pernyataan dari kitab tersebut, bagi orang lain, kitab tersebut menyuarakan kebenaran. Hal itu adalah sebuah kebenaran yang telah mereka jalani dan yang ingin mereka bagikan. Asad menceritakan kisahnya bukan untuk mengejutkan, tetapi untuk membukakan pengalamannya. Hal ini merupakan suatu pengalaman yang telah mengubah hidup dan cara berpikirnya. Seperti kebanyakan mahasiswa, Asad menemukan inspirasi dari seorang profesor di fakultasnya. Namun ketika dosennya mengkritik Islam, dia melihat bagaimana teman-temannya para mahasiswa tidak mau bertoleransi terhadap siapa saja tidak mau memeluk Islam dengan segenap hati.
Hal ini diperlihatkan melalui reaksi yang keras dan sikap bermusuhan dalam sebuah skala global kepada orang-orang yang menerima kritikan terhadap Islam. Kepada kebanyakan daripada kita yang hidup di Barat, kartun merupakan sumber kesenangan. Seringkali kartun melintasi garis pembenaran politis, tetapi dalam masyarakat yang toleran kami telah belajar untuk menerima bahwa orang seharusnya bebas memutar sebuah sisi yang berbeda dari sebuah cerita. Kebanyakan dari kami yang ada di Barat, jika kami merasa gusar dengan apa yang kami baca di Surat Kabar, maka kami bisa menyampaikan keluhan kepada editor publikasi dan terkadang kami pun diijinkan untuk mengambil tindakan hukum.
Merupakan hal yang mengejutkan bagi kebanyakan orang ketika sebuah surat kabar Denmark mencetak ulang gambar kartun Nabi Muhammad, suatu Perang Suci akan berlangsung tidak hanya melawan penerbit yang telah menyakiti tetapi juga melawan Denmark, dan bahwa akan ada nyawa melayang dalam pertarungan itu. Sesungguhnya, hal ini sulit dipahami sebagai keuntungan dari penerbitan kartun tersebut, sebab kemudian Saudi Arabia menarik duta besarnya dari Denmark, Libya bahkan akan menutup kedutaannya, Presiden Iran akan membatalkan semua kontrak kerjasama dengan semua negara yang mempublikasikan ulang kartun tersebut, dan di Gaza, orang-orang yang memiliki hubungan dengan Denmark diberi waktu empat puluh delapan jam untuk meninggalkan Gaza. Meski demikian, hal itu dilakukan untuk menunjukkan reaksi terhadap penerbitan kartun tersebut, maka adalah sulit untuk memahami pola pikir manusia yang melukai Asad. Bukan masalah sebenarnya bahwa dia sendiri setuju dengan profesor di kampusnya, tetapi dia menghormati pendapatnya dan merasa bahwa dia berhak mendapatkan penghargaan lebih dari teman-teman mahasiswanya dan tentu saja tidak seharusnya menjadi korban dari kebencian.
Tidak semua orang yang lahir ke dalam Islam menerimanya. Cerita ini mengingatkan kita bahwa orang-orang di Timur dapat meninggalkan rantai besi Islam yang membelenggu mereka. Tetapi cerita ini juga menunjukkan secara nyata – Islam tidak memberi kebebasan berpikir.
Kesaksian Asad
Perjalanan saya menuju pencerahan dimulai ketika saya berada di tahun terakhir pendidikan medis. Pada suatu hari, ketika saya sedang shalat di ruang rehat kampus saya, salah seorang profesor saya memasuki ruangan. Dia duduk di ruangan tersebut dan memperhatikan saya yang sedang shalat. Ketika saya selesai, dia berkata, “Nak, bisakah saya memberimu suatu nasehat?”
Saya menjawab, “tentu, Pak.”
Kemudian dia mengucapkan sesuatu yang tidak akan saya lupakan selamanya. Inilah kata-katanya: ‘Jangan membuang-buang waktumu untuk mencium lantai. Islam itu buruk. Islam merupakan ideologi kebencian dari orang gila. Quran hanyalah sebuah buku tentang omong kosong.”
Saya terkejut. profesor ini adalah orang yang baik. Kebanyakan mahasiswa menyukainya. Dia bahkan memberi waktu lebih untuk mengajajar kami. Lebih dari semuanya, saya sangat meyukainya. Saya berpikir, bagaimana bisa dia mengatakan hal itu? Saya tetap diam dan berjalan keluar ruangan.
Beberapa hari kemudian, saya bercerita kepada teman sekamar saya mengenai kejadian itu. Dia mengatakan bahwa sudah diketahui secara umum kalau profesor adalah seorang atheis. Teman sekamar saya mengatakan bagaimana dia membenci profesor itu. Saya tercengang. Teman sekamar saya selalu mencari profesor itu manakala ia memerlukannya berkaitan dengan mata pelajarannya, tetapi dia membenci profesor itu. Kemudian saya berkata pada diri saya sendiri bahwa saya harus menyelamatkan orang ini dari neraka. Saya mengira, ketika saya mengerti Islam secara dalam, saya akan mampu untuk menjelaskan kepadanya tentang kebenaran Islam. Saya membawa Quran terjemahan Yusuf Ali dan sebuah terjemahan Sahih Bukhari. Itu adalah titik kilas balik dalam hidup saya. Semakin banyak saya membaca Quran semakin saya menyadari bahwa kitab tersebut tidak mungkin berasal dari Tuhan. Ayat-ayat mengenai pembantaian akhirnya memecahkan tempurung kepala saya. Saya bebas sekarang! Bebas dari rasa takut! Sebuah agama seharusnya memberikan alasan bagi umat manusia untuk hidup. Islam memberikan alasan untuk mati.
Sayangnya, sebelum saya dapat memberitahu sang profesor mengenai pencerahan yang saya peroleh, dia meninggal karena serangan jantung. Itu merupakan hari yang menyedihkan bagi saya. Saya satu-satunya “orang Muslim” yang menghadiri pemakamannya. Mahasiswa Muslim lainnya yang saya temui mengatakan kepada saya bahwa profesor itu akan masuk neraka. Tuhan seperti apakah yang menghukum orang besar seperti itu untuk masuk neraka? Satu hal yang dapat diyakini adalah orang Muslim telah membuat hidup saya seperti di dalam neraka. Menuliskan hal ini kepada anda merupakan satu-satunya kemewahan spiritual yang saya miliki di negara Islam
Halaman 1 dari 2 • 1, 2
Similar topics
» Mengapa kami harus keluar dari bumi Allah SWT?
» BUKTI DARI QURAN BAGI PERINTAH EKSEKUSI MURTAD (mereka yang meninggalkan agama Islam)
» Mengapa Hanya Menyerang Islam?
» Mengapa Hanya Menyerang Islam
» Sepuluh Alasan Utama Mengapa Islam Bukan Agama Damai?
» BUKTI DARI QURAN BAGI PERINTAH EKSEKUSI MURTAD (mereka yang meninggalkan agama Islam)
» Mengapa Hanya Menyerang Islam?
» Mengapa Hanya Menyerang Islam
» Sepuluh Alasan Utama Mengapa Islam Bukan Agama Damai?
:: Debat Islam :: Murtadin
Halaman 1 dari 2
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik