Silahkan masukkan username dan password anda!

Join the forum, it's quick and easy

Silahkan masukkan username dan password anda!
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Login

Lupa password?

Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?
by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am

» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am

» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am

» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm

» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm

» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm

» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm

» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm

» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm

Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of on your social bookmarking website

Pencarian
 
 

Display results as :
 


Rechercher Advanced Search

Poll
Statistics
Total 40 user terdaftar
User terdaftar terakhir adalah tutunkasep

Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user

User Yang Sedang Online
Total 84 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 84 Tamu

Tidak ada

[ View the whole list ]


User online terbanyak adalah 97 pada Tue Oct 22, 2024 12:34 pm

Akhlak Nabi Muhammad

Go down

Akhlak Nabi Muhammad Empty Akhlak Nabi Muhammad

Post  Admin Sun Apr 24, 2011 7:46 pm



Perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah merupakan momentum awal untuk keme-nangan Islam dari masyarakat Jahiliyah. Melalui proses hijrah Nabi Muhammad melakukan konsolidasi untuk memba-ngun masyarakat Islam, yang berke-adilan. Cita-cita Islam adalah membe-baskan manusia dari penindasan atas nama suku, agama, ras, dan golongan. Islam hadir untuk memberikan rasa keadilan pada manusia.

Hijrah, paling tidak, mempu-nyai berbagai aspek, aspek teologis dan sosiologis. Dari aspek teologis, hijrah merupakan peristiwa supranatural. Tuhan berperan secara langsung baik dalam penyiapan, perencanaan, mau-pun perlindungannya. Al-Quran meng-isyaratkan peristiwa itu:
“Apakah mereka (kaum kafir Makkah) berkata, Kami adalah kelompok yang menang? Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka lari terbirit-birit. Sungguh, saat itu akan datang sebagai janji kepada mereka, dan saat itu akan sangat menyedihkan dan sangat pahit (bagi mereka).” (QS. Al-Qalam/54:45-47).

Ayat yang lain bahkan meng-gambarkan kemenangan Nabi Muham-mad Saw setelah hijrahnya, dengan izin Allah.
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu melaksanakan al-Quran, akan mengem-balikanmu ke tempatmu semula (Makkah)”. (QS. Al-Qashash/28:85).
Aspek teologis hijrah memang mempunyai landasan pendukung. Na-mun hijrah bukanlah semata-mata peristiwa teologis. Sisi sosiologis sejarah yang merupakan penguat hijrah, ditandai dengan meninggalnya paman Nabi, Abu Thalib dan istri Nabi Khadijah; peng-asingan kepada kaum muslimin dan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin; dan perjanjian aqabah I dan aqabah II. Peris-tiwa-peristiwa ini memberikan landasan sosiologis kepada Nabi untuk melaksana-kan hijrah.
***

Hijrah merupakan sebuah momentum untuk mengembalikan keperca-yaan diri kaum muslimin terhadap ajaran yang selama ini diyakini dengan begitu banyak pengorbanan. Sejarah mencatat bagaimana sahabat Nabi seperti Bilal dan Salman al-Farisi yang disiksa kafir Quraisy karena keyakinan keislaman-nya.

Hijrah membentangkan sebuah harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Sebuah tatanan masya-rakat yang merupakan kemestian Ilahi. Hijrah merupakan perlawanan terhadap penindasan kekuasaan dengan melaku-kan pembinaan masyarakat pada tempat yang sesuai. Madinah, sebagai sasaran hijrah, merupakan kota perlawanan, kota perjuangan untuk merebut keme-nangan.

Hijrah bukan-lah pelarian karena ke-takutan terhadap kema-tian, karena tidak mung-kin Rasulullah takut terhadap kematian. Ka-rena jika Rasulullah mempertahankan kebe-radaannya kaum musli-min di Makkah, maka ini akan menyulitkan kaum muslimin itu sen-diri, yang waktu baru berjumlah 100-an orang. Rasulullah sendiri berhijrah setelah mem-persiapkan kondisi psi-kologis dan sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II.
***

Mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya, jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah. Karena menarik sosiologi sejarah men-jadi kemestian yang harus dilalui itu merupakan kemuskilan. Karena Rasu-lullah telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah saat ini adalah dengan menarik peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran).

Jadi tidak ada salahnya jika belajar dari peristiwa hijrah untuk dijadikan pelajaran dalam menye-lesaikan persoalan bangsa ini. Sehingga krisis yang melanda bangsa ini tidak berkepanjangan.

Ibrah dari peristitwa hijrah dapat ditarik relevansinya dengan melihat persoalan-persoalan yang mengelayuti bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bangsa ini sedang dirundung krisis yang tidak kunjung selesai-selesai. Berbagai krisis yang menerpa bangsa ini bagai benang kusut yang untuk menyelesaikan-nya mengalami kesu-litan yang luar biasa. Padahal bangsa ini sudah mempunyai be-gitu banyak orang pin-tar, tapi di sinilah jus-tru letak kesulitannya. Karena kepintaran yang diiringi dengan egoisme justru mem-peruwet masalah. Apa-lagi jika kepintaran diiringi dengan nafsu kekuasaan dan keka-yaan akan makin mem-persulit penyelesaian.

Ada dua hal yang dapat ditarik kesimpulan dari peristiwa hijrah masa Rasulullah. Pertama, siapnya kondisi sosiologis dari masyarakat Makkah dan Madinah, baik yang akan pindah dan yang menampung kepindahan. Kedua, adanya kepemimpinan yang memberi-kan rasa perlindungan dan keadilan pada kedua masyarakat itu, sehingga di Madinah tercipta suatu masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang plural, inklusif, berkeadilan sosial dan demo-kratis.

Hijrah merupakan konsep yang harus dilakukan dalam konteks kondisi bangsa Indonesia yang sedang krisis. Dalam perjalanannya, wajah Indonesia, setelah lebih dari lima puluh lima tahun merdeka, ternyata tidak mengarah pada cita-cita awal pendirian bangsa ini. Banyak persoalan yang menggelayut menjadi agenda besar. Persoalan krisis sosial-ekonomi-politik kemudian berim-bas pada disintegrasi bangsa. Tak ada kebanggaan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Dari pelajaran hijrah di atas, kita dapat simpulkan bahwa untuk memba-ngun bangsa ini menuju cita-citanya —bangsa dengan masya-rakat yang adil, makmur dan sejahtera — kita perlu menyiapkan bebe-rapa hal. Prasyarat per-tama mempersiapkan kondisi sosiologis yang mampu menerima ide-ide perbaikan. Kita perlu melakukan penyadaran kepada masyarakat baik di kalangan elite mau-pun akar rumput untuk menerima bahwa Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan beragam suku, agama dan budaya. Membangun kesadaran pada tiga hal ini haruslah dikembangkan pada segala lapisan masyarakat.

kita perlu memberikan cara pandang pada masyarakat bahwa perbe-daan suku, agama dan budaya bukanlah suatu sekat sosial apalagi sumber konflik sosial. Justru semua ini merupakan kekayaan bangsa yang harus dikembang-kan untuk membangun bangsa yang makin beradab. Semua perbedaan itu bukan menjadi media penghalang untuk mengembangkan kreativitas dan mem-bangun persaudaraan antar sesama anak bangsa. Aset untuk saling mengenal antar sesama anak bangsa.

Sedangkan prasyarat kedua adalah membangun pemerintahan yang berwibawa; yang memberikan perlin-dungan hukum dan keadilan pada segenap lapisan masya-rakat; yang tidak me-mandang keberadaan hukum hanya untuk ma-syarakat bawah, sedang-kan lapisan elite terabai-kan oleh kekuatan hu-kum. Penegakan supre-masi hukum inilah yang akan memberikan wiba-wa kepada pemerintah.

Penundaan hukum ter-hadap segala tindak ke-jahatan kemanusiaan, bukan saja memberikan rasa ketidakadilan hu-kum di masyarakat tapi juga menimbulkan ke-tidakpastian hukum. Akibatnya, masyarakat mengambil langkah-langkah di luar jalur hukum, yang kemu-dian menimbulkan potensi konflik horizontal, resistensi kesukuan dan agama. Seharusnya begitu terjadi peristi-wa pelanggaran hukum, maka penegakan hukum harus ditindak. Karena jika sudah meluas proses penyelesaian secara hukum amat sulit sekali.
Membangun masyarakat yang beradab, berkeadilan dan demokratis yang menjadi cita-cita bersama sesama anak bangsa, tentu hanya menjadi sekadar harapan jika kemauan dari seluruh masyarakat khususnya elite masyarakat tidak berkeinginan untuk memperbaiki keadaan. Alih-alih mem-perbaiki keadaan, bahkan justru meng-ambil keuntungan dari keadaan seperti ini.

Ayat al-Quran yang paling sarat memuji Nabi Muhammad Saw adalah ayat yang berbunyi wa innaka la’alâ khuluqin ‘azîm, sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung.

Kata khuluq yang berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Be-danya adalah kalau khalq lebih bermakna cip-taan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang ber-sifat batiniah. Seorang sahabat pernah me-ngenang Nabi yang mulia dengan kalimat be-rikut kâna Rasûlullâh ahsanan nâsi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah Saw adalah ma-nusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan kata lain, Nabi Muhammad Saw ada-lah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniahnya.

Kesempurnaan lahirah beliau sering kita dengar dari riwayat-riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya mendes-kripsikan sifat-sifat lahiriah Nabi seperti berikut:
"Nabi Muhammad Saw adalah se-orang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang. Postur tubuhnya tegap. Rambutnya ikal dan panjang yang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan tampak timbul di saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang di bagian atasnya berkilau cahaya. Jang-gutnya lebat. Pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Leher-nya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.

Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh, selu-ruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit yang kebanyakannya merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam."

Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manusia yang agung seperti ini akan banyak Anda temukan di dalam kitab-kitab semacam Maulid yang lazim dibaca di tanah air kita, seperti Barzanji, Diba, Simthu ad-Durar dan sebagainya. Kita dibawa hanyut oleh para perawi tentang bentuk lahiriah Nabi, sesuatu yang meskipun indah dan sempurna, namun tidak menjadi fokus pandangan al-Quran terhadapnya.

Lalu, apa yang menjadi fokus panda-ngan al-Quran terhadap Nabi Saw? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaknya, seperti yang kita kutipkan ayatnya di atas. Apa arti akhlak? Kata Ghazâlî, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah dan bisa juga buruk. Akhlak yang indah disebut al-khuluq al-hasan; sementara akhlak buruk disebut al-khuluq as-sayyi’. Akhlak yang baik adalah akh-lak yang mampu meletakkan secara proporsi-onal fakultas-fakultas yang ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggu-nakan secara adil fakultas-fakultas yang ada di dalam dirinya: ‘aqliyyah, ghadhabiyyah, syah-waniyyah dan wahmiyyah. Manusia yang ber-akhlak baik adalah orang yang tidak berlaku ifrât alias eksesif dalam menggunakan empat fakultas di atas, dan juga tidak bersifat tafrît alias mengabaikannya secara total. Ia akan sangat adil dan proporsional di dalam meng-gunakan keempat anugerah Ilahi di atas.

Dengan kata lain akhlak yang baik adalah suatu keseimbangan yang sangat adil yang dilakukan oleh seseorang ketika berha-dapan dengan empat fakultasnya di atas. Ia tidak ifrât di dalam menggunakan rasional-itasnya sehingga mengabaikan wahyu, dan ju-ga tidak tafrît sehingga menjadi bodoh. Ia ti-dak ifrât di dalam menggunakan ghadhab atau emosinya sehingga menjadi agresor, namun tidak juga tafrît sehingga menjadi pengecut. Ia tidak ifrât di dalam syahwatnya sehingga menghambur-hamburkan nafsunya, namun juga tidak tafrît seperti biarawan/ti. Ia mampu meletakkannya secara proporsional sehingga ia membagi secara adil mana hak dunianya dan mana hak akheratnya. Kemampuan itu disebut dengan al-khuluq al-hasan.

Orang yang menyandang sifat ini di kedalaman jiwanya sudah pasti akan meman-tulkan suatu bentuk yang sangat indah secara lahiriah di dalam segala aspek kehidupannya sehari-hari; yang -seperti kata sebuah riwayat- dari pancaran wajahnya akan me-mantul sebuah energi yang akan mengingat-kan orang kepada Allah Swt.; yang untaian kata-katanya akan menambahkan ilmu kepa-da setiap orang yang mendengarnya; dan akhlak lahiriahnya bisa menyadarkan orang dari kelalainnya. Akhlak seperti inilah yang ditunjukkan Rasulullah Saw kepada umat-nya. Keluhuran akhlak Nabi Saw ini adalah cermin yang bersih dan indah yang membawa kita untuk bisa berkaca dengannya di dalam kehidupan kita sesama manusia da-lam segala lapisannya. Sebab akhlak Nabi adalah cerminan al-Quran yang sesungguh-nya. Bahkan beliau sendiri adalah al-Quran hidup yang hadir di tengah-tengah ummat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan al-Quran. Itulah kenapa ‘Aisyah sampai berkata bahwa akhlak Nabi adalah al-Quran.

Hubungan ‘Alî dan Rasulullah Saw
Keluhuran laku Nabi dapat pula di-dengar dari Imam ‘Alî bin Abi Thalib kw, se-pupu dan menantu Nabi, dan orang tidak per-nah kafir seumur hidupnya. Ia pernah berkata berkhutbah tentang hubungannya dengan Nabi:
Ketika masih anak-anak, aku mem-banting dada para lelaki Arab, dan mengalah-kan jagoan-jagoan suku Rabi’ah dan Mudhar. Sungguh kalian mengetahui kedudukanku di sisi Rasulullah Saw. sebagai kerabat yang sangat dekat. Beliau meletakkanku di pangku-annya sementara aku masih kanak-kanak, beliau merangkulku ke dadanya, membaring-kanku di tempat tidurnya, menyentuhkanku ke tubuhnya, sehingga aku mencium aroma-nya. Seringkali beliau mengunyah sesuatu kemudian menyuapkannya untukku. Beliau tidak pernah berbohong dalam ucapannya terhadapku, dan tidak pernah pula salah dalam tindakannya.

Sungguh Allah telah menyertakan malaikat yang paling mulia bersama beliau, sejak beliau disapih, untuk berjalan dengan-nya di atas jalan-jalan kemuliaan dan keluhur-an-keluhuran akhlak, baik siang maupun malam. Sungguh aku sejak dulu mengikuti be-liau seperti seekor anak unta mengikuti jejak kaki induknya. Setiap hari beliau menunjuk-kan kepadaku panji dari akhlaknya, dan me-merintahkanku untuk mengikutinya. Setiap tahun beliau pergi menyendiri ke bukit Hira’, di mana aku melihatnya dan tak seorang pun selainku melihatnya. Pada saat itu, tidak ada satu rumahpun dalam Islam yang mengumpul-kan manusia kecuali Rasulullah Saw dan Kha-dijah, serta akulah orang ketiga dari mereka.

Seringkali aku melihat cahaya wahyu dan kerasulan, dan mencium napas kenabian. Sungguh aku pernah mendengar rintihan setan di saat wahyu turun kepadanya, lalu aku bertanya, "Ya Rasulullah, rintihan apa ini?" Beliau menjawab, "Itu adalah setan. Dia telah bosan dari ibadahnya. Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar dan melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukan seorang nabi, tetapi engkau adalah pengganti nabi, dan sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan".

Sungguh aku bersama beliau di kala pembesar-pembesar Quraisy mendatanginya, lalu mereka berkata, "Ya Muhammad, sesung-guhnya engkau telah mengakui perkara besar yang tidak pernah diakui oleh nenek moyang-mu dan tidak pula dan menunjukkannya ke-pada kami, maka kami yakin bahwa engkau adalah nabi dan rasul; tetapi, apabila engkau tidak memenuhinya, maka kami anggap eng-kau seorang penyihir dan pembohong."

Rasulullah Saw. berkata, "Apa yang kalian minta?" Mereka berkata, "Engkau panggil pohon itu ke mari sehingga ia tercerabut dengan akar-akamya dan berhenti di hadapanmu". Nabi menjawab, "Sesung-guhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Apabila Allah melakukannya untuk kalian, apakah kalian akan percaya dan memberi kesaksian atas kebenaran ini?" Mereka ber-kata, "Ya". Maka beliau berkata, "Aku akan tunjukkan kepada kalian apa yang kalian inginkan. Sungguh aku yakin bahwa kalian tidak akan tunduk pada kebajikan, dan ada di antara kalian orang yang akan dilemparkan ke dalam lubang, dan ada juga orang yang akan membentuk kelompok-kelompok [melawan-ku]". Kemudian beliau berkata, "Hai pohon, apabila engkau beriman kepada Allah dan ha-ri akhir, dan meyakini bahwa aku adalah utus-an Allah, maka datanglah dengan akar-akar-mu dan berdirilah di hadapanku atas izin Allah".

Demi yang mengutusnya dengan kebenaran, sungguh pohon itu tercerabut de-ngan akar-akarnya dan datang dengan gemu-ruh suara yang kuat dan kepakan seperti kepa-kan sayap burung, sampai ia berhenti di hada-pan Rasulullah Saw berkepak-kepak, dan membentangkan rantingnya yang paling ting-gi di hadapan Rasulullah Saw dan sebagian ran-tingnya terbentang di pundakku, dan aku ber-ada di sisi kanan beliau.

Ketika orang-orang itu melihat itu, mereka berkata dengan angkuh dan sombong, "Sekarang engkau perintahkan agar separuh-nya datang kepadamu dan separuhnya lagi tinggal [di tempatnyal". Beliau memerintah-kan itu, lalu yang separuh datang kepadanya dengan sangat mengagumkan dan dengan ge-muruh suara yang lebih kuat. Hampir saja po-hon itu menyelimuti Rasulullah Saw Kemudi-an mereka berkata dengan kufur dan congkak, "Suruhlah yang separuh itu kembali bersatu dengan separuh yang lainnya seperti sedia kala". Lalu beliau memerin-tahkannya dan pohon itu pun kembali. Lalu aku berkata, "Ti-ada tuhan selain Allah, sesungguhnya aku yang pertama kali beriman kepadamu, ya Rasu-lullah, dan yang pertama kali mengakui bahwa pohon itu telah melakukan apa yang telah dilakukannya dengan perintah Allah Yang Mahamulia, sebagai bukti atas kenabianmu dan sebagai penghormatan atas kalimatmu". Namun mereka semua berkata, "Tidak, dia adalah penyihir dan pembohong. Sihir yang menakjubkan mudah baginya. Tidak ada yang mempercayaimu dalam perkaramu ini kecuali orang seperti ini". (sambil menunjukku).

Sungguh aku termasuk orang-orang yang tidak mempedulikan ejekan orang yang mengejek dalam jalan Allah. Wajah mereka adalah wajah orang-orang benar dan ucapan mereka adalah ucapan orang-orang yang bijak. Mereka penghidup malam dan mercu suar si-ang. Mereka berpegang teguh pada tali al-Qur-an dan menghidupkan sunnah-sunnah Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak sombong dan tidak angkuh. Mereka tidak berbuat keja-hatan dan kerusakan. Hati mereka di surga sedang tubuh mereka sibuk beramal". (Nahj al-Balaghah, khutbah al-Qâsi’ah)


Admin
Admin
Admin

Jumlah posting : 225
Join date : 17.04.11

https://akalbudiislam.forumid.net

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik