Login
Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am
» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am
» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am
» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm
» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm
» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm
» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm
» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm
» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm
Most active topics
Social bookmarking
Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of on your social bookmarking website
Pencarian
Most Viewed Topics
Statistics
Total 40 user terdaftarUser terdaftar terakhir adalah tutunkasep
Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user |
User Yang Sedang Online
Total 84 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 84 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 101 pada Fri Nov 15, 2024 3:57 am
Hukum Syariah Islam Tidak Manusiawi ; Melanggar Hak Asasi Manusia
:: Debat Islam :: Syariah
Halaman 1 dari 1
Hukum Syariah Islam Tidak Manusiawi ; Melanggar Hak Asasi Manusia
Hukum rajam jika ditelaah secara historis sejatinya masih problematik dan mengundang kontroversi. Banyak kalangan, antara lain, sekte khawarij menolak hukum tersebut dengan alasan tidak ada teks al-Qur`an yang secara eksplisit menerangkan hal itu. Yang ada hanya dalam hadits saja (kalau nggak salah hadits riwayat 'Ubadah bin Samit), bahwa Nabi pernah merajam orang Yahudi Madinah sebagai bentuk aplikasi dari hukum yang terdapat dalam kitab suci Yahudi. Namun kemudian ulama fikih menganggap bahwa hadits tersebut merupakan acuan hukum bagi umat Islam. Ini yang jadi masalah. Sehingga tak janggal jika banyak pemikir Islam kontemporer yang menolak hukum rajam, antara lain Asymawi, Jammal al-Banna, Subhi Mansyur, dll yang semua dari Mesir. Bagi mereka hukuman bagi pelaku zina hanyalah cambuk. Analisis liberal menganggap bahwa hukuman semacam itu hanya cocok untuk orang-orang Arab yang keras karena hidup dipadang pasir yang panas.
Untuk hukuman potong tangan, pendapat para ulama terbagi menjadi dua versi: Pertama, hukuman tindak pidana pencurian tersebut bersifat ta’abbudi (dogmatis - irasional). Oleh karena itu tidak dapat diganti hukuman lain, dengan penjara atau lainnya. Kedua, hukuman tersebut ma'qulul ma'na, yakni mempunyai maksud dan pengertian yang rasional. Karena itu ia dapat diganti dengan hukuman lain, tidak harus dengan potong tangan. Pendapat kedua ini adalah yang dikutip oleh Nadirsyah Hosen dari kitab al-Sâriqah karya Ibrahim Dasuqi asy-Syahawi.
Menurut pendapat kedua ini, yang dimaksud dengan “Faqtha’û aidiyahumâ” sebagaimana ditegaskan dalarn ayat adalah ‘mencegah melakukan pencurian’. Pencegahan tersebut dapat diwujudkan dengan penahanan dan sebagainya, tidak harus dengan potong tangan. Dengan demikian, ayat tersebut dapat berarti: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, cegahlah kedua tangannya dari mencuri dengan cara yang dapat mewujudkan pencegahan”. Versi ini mengemukakan argumen bahwa kata-kata ‘qath'u’ arti aslinya adalah semata-mata pencegahan (al-man‘u), dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. memberi hadiah kepada Aqra’ bin Habis al-Tamimi dan Uyainah bin Hisn al-Fazari masing-masing seratus ekor unta, sedangkan kepada Abbas bin Mardas, Nabi Muhammad saw. memberikan hadiah kurang dari seratus ekor unta. Kemudian Abbas mendendangkan syair di hadapan Nabi yang mengutarakan kedudukan dan perjuangannya yang jika tidak lebih maka tidak dapat dipandang kurang dari Aqra’ dan Uyainah tersebut. Ketika mendengar syair Abbas yang dibaca berulang-ulang itu, Nabi berkata kepada para sahabat; “Iqtha’û ‘annî lisânahû” (secara harfiyyah berarti ‘potonglah dariku lidahnya’). Para Sahabat kemudian memberikan kepada Abbas tambahan sampai seratus unta, sebagaimana Nabi telah memberikan kepada Aqra’ dan Uyainah. Kalaulah kata qatha'a diartikan ‘pemotongan’, tentu para sahabat memotong lidah Abbas. Tetapi mereka menanggapi perkataan Nabi tersebut tidak menurut arti lahirnya, yaitu ‘pemotongan lidah’, melainkan memahaminya agar mencegah lidah Abbas dari mengoceh dan mengemukakan protesnya agar mendapat unta seratus ekor. Dengan demikian, perkataan Nabi tersebut tidak diartikan oleh para Sahabat dengan ‘potonglah lidahnya’, tetapi diartikan ‘cegahlah lidahnya’.
Kedua, menurut riwayat, Laila al-Akhiliah pernah membacakan kasidahnya untuk memuji Panglima Hajjaj. Hajjaj berkata kepada ajudannya; ‘‘iqtha’ ‘annî lisânahâ’’ Mendengar perintah ini, ajudan tersebut membawa Laila ke tukang besi untuk dipotong lidahnya. Ketika dilihatnya tukang besi mengeluarkan pisau, Laila berkata: ‘‘Bukan itu yang dimaksudkan Hajjaj, tetapi ia memerintahkan agar engkau memotong lidahku dengan hadiah, bukan dengan pisau’’. Setelah ajudan kembali bertanya kepada panglima, ia membenarkan pendapat Laila, sehingga ajudan tersebut mendapat celaan dari panglima karena kebodohannya. Sekiranya kata qhatha’a diartikan ‘memotong’, tidaklah wajar Hajjaj memarahi ajudannya. Panglima Hajjaj dan Laila terkenal sebagai pujangga dan sastrawan Arab pada masa Daulah Bani Umayyah yang kata-katanya dapat dijadikan hujjah dalam memahami bahasa Arab. Sedangkan ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab pada masa Umayyah dan permulaan Daulah Abbasiah sampai dengan masa Abu al-Atahiyah (sastrawan Arab terkenal pada masa Abbasiah yang wafat pada 211 H) dapat dijadikan hujjah.
Selain itu, sejatinya hukum potong tangan bersifat dinamis dan lentur. Dalam kitab-kitab fikih klasik banyak sekali riwayat bahwa sahabat Umar ra tidak mau memotong tangan pencuri dalam kondisi krisis moneter dan krisis pangan (yaum al-maja'ah). Sehingga, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum potong tangan hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah komunitas yang kesejahteraan ekonominya sudah merata.
Di Indonesia yang sedang krisis moneter dan kesejahteraan belum merata maka hukum tangan sama sekali tidak relevan.
Benarlah apa yang sdr Irwan uraikan itu berhubungan dengan pemahaman dan hukumnya sendiri yaitu dalam Fiqih.
Fiqih adalah istilah yang kita kenal dengan pengetahuan ttg hukum2 Syariat yg berkaitan dengan perbuatan dan perkataan dalam menjalankan syariat agama utk mengetahui apa itu termasuk wajib atau sunnah, haram atau makruh atau mubah berupa nash2 Alquran, dan As Sunnah(ijma & ijtihad), serta hukum2 syariat itu sendiri/hukum2 apa saja yg terkandung dlm sholat, zakat, puasa, haji dll beserta rukun2,kewajiban2 atau sunnah2.
Nah, kitab2 Fiqih yg mengandung hukum2 syariat yg bersumber dari Alquran, Sunnah rasul, ijma/kesepakatan, qiyas, dan ijtihad para ulama muslimin, sshg terbagi 7 bagian. Semuanya ini membentuk Satu Undang-Undang Umum bagi kehidupan masyarakat baik bersifat pribadi maupun umum yakni :
1.Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2.Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
3.Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Muamalah.
4.Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syariat, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan masiat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syariah.
5.Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al Ukubat.
6.Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
7.Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Jadi dari analisis secara teknis dan ilmiah tentang hukuman syariah itu adalah menyangkut hukum Fiqih Al Ukubat. Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al Ukubat.
Jadi Kitab Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana/kriminal itu adalah : Fiqih Al Ukubat kalau di Negara kita/International pada umumnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan pengetahuan atau penjelasan/pemahaman terhadap hukum2 itu kita sebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jadi memang benarlah apa yang dianalisa oleh sdr. Irwan cara pemahaman itu intinya disini di Fiqih Al 'Ukubat !!!
Nah, disinilah letak permasalahannya, kita ambil contoh tentang tindak pidana zina dan pencurian lihat video. Hukumannya sungguh sadis bukan ? yang melakukan zina, badannya dikubur setengah badan lalu dilempari batu (dirajam) sampai mati. Sedangkan yang mencuri, hukumannya dipotong tangan dan kakinya sampai putus (orang Jawa bilang wis potol alias buntung).
Disini tampak Hukum Syariah yang jika diterapkan di Indonesia tentulah tidak cocok dan sadis (sangat melanggar HAM) dan juga belum tentu semua umat Muslim setuju, dan apalagi Negara Indonesia masih tergolong Negara sedang berkembang. Disana sini penuh pengangguran serta kemiskinan. Bagi yang melarat/perut lapar alias keroncongan karena menganggur (bukan malas lho) sudah bisa dipastikan Ujung-Ujungnya Mencuri atau merampok. Nah jika tertangkap atau ketangkap, maka tak ayal lagi akan dihukum potong tangan dan kaki sampai putus, tentu mereka bertambah menderita dan bertambah nganggur. Kalau ada kerjaanpun, bagaimana bisa kerja, wong kaki dan tangan sudah potol alias buntung.Sungguh tidak manusiawi dan tidak masuk diakal.
Dan juga hukuman terhadap orang ber-zina, dirajam/dilempar batu sampai mati => Hal ini patut kita pertanyakan terhadap diri kita sendiri : Apakahkah kita sudah tidak mempunyai dosa lagi atau kitalah paling suci dan kita tidak pernah berbuat kesalahan, sehingga kita menghakimi sesame kita sampai mati ? Mohon refeleksi diri, lihat saja "lokalisasi Wanita "P" => Kramat Tunggak, Saritem bandung, Kuningan Semarang, kawin kontrak (ini diharamkanlho oleh MUI) di Puncak/sukabumi, TKW-TKW Indonesia di Arab pada hamil tanpa ayah dll dll. Apakah mereka bisa disebut telah melakukan ZINA ??, Atau justru memberi kesempatan kaum lelaki melakukan ZINA ???
Ini lingkaran setan namanya...!!!
Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun, Allah yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Lha kita sebagai manusia kok tidak seperti yang apa Allah lakukan ? Kok malah ikut2an membunuh dengan cara melempari batu sampai mati !!! Apa kita lebih Besar Kuasa-nya dari Allah ??? Renungkanlah
Untuk hukuman potong tangan, pendapat para ulama terbagi menjadi dua versi: Pertama, hukuman tindak pidana pencurian tersebut bersifat ta’abbudi (dogmatis - irasional). Oleh karena itu tidak dapat diganti hukuman lain, dengan penjara atau lainnya. Kedua, hukuman tersebut ma'qulul ma'na, yakni mempunyai maksud dan pengertian yang rasional. Karena itu ia dapat diganti dengan hukuman lain, tidak harus dengan potong tangan. Pendapat kedua ini adalah yang dikutip oleh Nadirsyah Hosen dari kitab al-Sâriqah karya Ibrahim Dasuqi asy-Syahawi.
Menurut pendapat kedua ini, yang dimaksud dengan “Faqtha’û aidiyahumâ” sebagaimana ditegaskan dalarn ayat adalah ‘mencegah melakukan pencurian’. Pencegahan tersebut dapat diwujudkan dengan penahanan dan sebagainya, tidak harus dengan potong tangan. Dengan demikian, ayat tersebut dapat berarti: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, cegahlah kedua tangannya dari mencuri dengan cara yang dapat mewujudkan pencegahan”. Versi ini mengemukakan argumen bahwa kata-kata ‘qath'u’ arti aslinya adalah semata-mata pencegahan (al-man‘u), dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. memberi hadiah kepada Aqra’ bin Habis al-Tamimi dan Uyainah bin Hisn al-Fazari masing-masing seratus ekor unta, sedangkan kepada Abbas bin Mardas, Nabi Muhammad saw. memberikan hadiah kurang dari seratus ekor unta. Kemudian Abbas mendendangkan syair di hadapan Nabi yang mengutarakan kedudukan dan perjuangannya yang jika tidak lebih maka tidak dapat dipandang kurang dari Aqra’ dan Uyainah tersebut. Ketika mendengar syair Abbas yang dibaca berulang-ulang itu, Nabi berkata kepada para sahabat; “Iqtha’û ‘annî lisânahû” (secara harfiyyah berarti ‘potonglah dariku lidahnya’). Para Sahabat kemudian memberikan kepada Abbas tambahan sampai seratus unta, sebagaimana Nabi telah memberikan kepada Aqra’ dan Uyainah. Kalaulah kata qatha'a diartikan ‘pemotongan’, tentu para sahabat memotong lidah Abbas. Tetapi mereka menanggapi perkataan Nabi tersebut tidak menurut arti lahirnya, yaitu ‘pemotongan lidah’, melainkan memahaminya agar mencegah lidah Abbas dari mengoceh dan mengemukakan protesnya agar mendapat unta seratus ekor. Dengan demikian, perkataan Nabi tersebut tidak diartikan oleh para Sahabat dengan ‘potonglah lidahnya’, tetapi diartikan ‘cegahlah lidahnya’.
Kedua, menurut riwayat, Laila al-Akhiliah pernah membacakan kasidahnya untuk memuji Panglima Hajjaj. Hajjaj berkata kepada ajudannya; ‘‘iqtha’ ‘annî lisânahâ’’ Mendengar perintah ini, ajudan tersebut membawa Laila ke tukang besi untuk dipotong lidahnya. Ketika dilihatnya tukang besi mengeluarkan pisau, Laila berkata: ‘‘Bukan itu yang dimaksudkan Hajjaj, tetapi ia memerintahkan agar engkau memotong lidahku dengan hadiah, bukan dengan pisau’’. Setelah ajudan kembali bertanya kepada panglima, ia membenarkan pendapat Laila, sehingga ajudan tersebut mendapat celaan dari panglima karena kebodohannya. Sekiranya kata qhatha’a diartikan ‘memotong’, tidaklah wajar Hajjaj memarahi ajudannya. Panglima Hajjaj dan Laila terkenal sebagai pujangga dan sastrawan Arab pada masa Daulah Bani Umayyah yang kata-katanya dapat dijadikan hujjah dalam memahami bahasa Arab. Sedangkan ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab pada masa Umayyah dan permulaan Daulah Abbasiah sampai dengan masa Abu al-Atahiyah (sastrawan Arab terkenal pada masa Abbasiah yang wafat pada 211 H) dapat dijadikan hujjah.
Selain itu, sejatinya hukum potong tangan bersifat dinamis dan lentur. Dalam kitab-kitab fikih klasik banyak sekali riwayat bahwa sahabat Umar ra tidak mau memotong tangan pencuri dalam kondisi krisis moneter dan krisis pangan (yaum al-maja'ah). Sehingga, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum potong tangan hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah komunitas yang kesejahteraan ekonominya sudah merata.
Di Indonesia yang sedang krisis moneter dan kesejahteraan belum merata maka hukum tangan sama sekali tidak relevan.
Benarlah apa yang sdr Irwan uraikan itu berhubungan dengan pemahaman dan hukumnya sendiri yaitu dalam Fiqih.
Fiqih adalah istilah yang kita kenal dengan pengetahuan ttg hukum2 Syariat yg berkaitan dengan perbuatan dan perkataan dalam menjalankan syariat agama utk mengetahui apa itu termasuk wajib atau sunnah, haram atau makruh atau mubah berupa nash2 Alquran, dan As Sunnah(ijma & ijtihad), serta hukum2 syariat itu sendiri/hukum2 apa saja yg terkandung dlm sholat, zakat, puasa, haji dll beserta rukun2,kewajiban2 atau sunnah2.
Nah, kitab2 Fiqih yg mengandung hukum2 syariat yg bersumber dari Alquran, Sunnah rasul, ijma/kesepakatan, qiyas, dan ijtihad para ulama muslimin, sshg terbagi 7 bagian. Semuanya ini membentuk Satu Undang-Undang Umum bagi kehidupan masyarakat baik bersifat pribadi maupun umum yakni :
1.Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2.Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
3.Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Muamalah.
4.Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syariat, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan masiat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syariah.
5.Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al Ukubat.
6.Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
7.Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Jadi dari analisis secara teknis dan ilmiah tentang hukuman syariah itu adalah menyangkut hukum Fiqih Al Ukubat. Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al Ukubat.
Jadi Kitab Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana/kriminal itu adalah : Fiqih Al Ukubat kalau di Negara kita/International pada umumnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan pengetahuan atau penjelasan/pemahaman terhadap hukum2 itu kita sebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jadi memang benarlah apa yang dianalisa oleh sdr. Irwan cara pemahaman itu intinya disini di Fiqih Al 'Ukubat !!!
Nah, disinilah letak permasalahannya, kita ambil contoh tentang tindak pidana zina dan pencurian lihat video. Hukumannya sungguh sadis bukan ? yang melakukan zina, badannya dikubur setengah badan lalu dilempari batu (dirajam) sampai mati. Sedangkan yang mencuri, hukumannya dipotong tangan dan kakinya sampai putus (orang Jawa bilang wis potol alias buntung).
Disini tampak Hukum Syariah yang jika diterapkan di Indonesia tentulah tidak cocok dan sadis (sangat melanggar HAM) dan juga belum tentu semua umat Muslim setuju, dan apalagi Negara Indonesia masih tergolong Negara sedang berkembang. Disana sini penuh pengangguran serta kemiskinan. Bagi yang melarat/perut lapar alias keroncongan karena menganggur (bukan malas lho) sudah bisa dipastikan Ujung-Ujungnya Mencuri atau merampok. Nah jika tertangkap atau ketangkap, maka tak ayal lagi akan dihukum potong tangan dan kaki sampai putus, tentu mereka bertambah menderita dan bertambah nganggur. Kalau ada kerjaanpun, bagaimana bisa kerja, wong kaki dan tangan sudah potol alias buntung.Sungguh tidak manusiawi dan tidak masuk diakal.
Dan juga hukuman terhadap orang ber-zina, dirajam/dilempar batu sampai mati => Hal ini patut kita pertanyakan terhadap diri kita sendiri : Apakahkah kita sudah tidak mempunyai dosa lagi atau kitalah paling suci dan kita tidak pernah berbuat kesalahan, sehingga kita menghakimi sesame kita sampai mati ? Mohon refeleksi diri, lihat saja "lokalisasi Wanita "P" => Kramat Tunggak, Saritem bandung, Kuningan Semarang, kawin kontrak (ini diharamkanlho oleh MUI) di Puncak/sukabumi, TKW-TKW Indonesia di Arab pada hamil tanpa ayah dll dll. Apakah mereka bisa disebut telah melakukan ZINA ??, Atau justru memberi kesempatan kaum lelaki melakukan ZINA ???
Ini lingkaran setan namanya...!!!
Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun, Allah yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Lha kita sebagai manusia kok tidak seperti yang apa Allah lakukan ? Kok malah ikut2an membunuh dengan cara melempari batu sampai mati !!! Apa kita lebih Besar Kuasa-nya dari Allah ??? Renungkanlah
Irwan- Tamu
Similar topics
» OKI kutuk penyerangan terhadap Masjid Al Aqsa oleh ekstrimis Yahudi
» Malaysia: Non Muslim Tidak Bisa Menjadi Pengacara Syariah
» Kebohongan penulis muslim Amerika mengenai syariah Islam
» Hukum Islam Tentang Kontrasepsi
» Hukum oral seks islam
» Malaysia: Non Muslim Tidak Bisa Menjadi Pengacara Syariah
» Kebohongan penulis muslim Amerika mengenai syariah Islam
» Hukum Islam Tentang Kontrasepsi
» Hukum oral seks islam
:: Debat Islam :: Syariah
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik