Login
Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am
» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am
» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am
» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm
» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm
» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm
» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm
» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm
» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm
Most active topics
Social bookmarking
Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of on your social bookmarking website
Pencarian
Most Viewed Topics
Statistics
Total 40 user terdaftarUser terdaftar terakhir adalah tutunkasep
Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user |
User Yang Sedang Online
Total 8 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 8 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 101 pada Fri Nov 15, 2024 3:57 am
Bagaimana Kalau Ateis Benar?
:: Debat Islam :: Aqidah
Halaman 1 dari 1
Bagaimana Kalau Ateis Benar?
Mereka tegas menolak adanya Allah. Bagaimana Anda dapat mengetahui bahwa Allah memang ada? Apakah mungkin manusia memiliki pengetahuan tentang Allah atau Tuhan? Atau lebih jauh lagi bagaimana kita mengetahui siapa Dia, dan apa kehendak dan rencanaNya bagi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari hasrat terdalam dari manusia yang sekaligus membuktikan bahwa manusia merindukan pengetahuan tentang Allah.
Di bawah ini akan diterangkan sejumlah gejala dan fakta bahwa sekalipun Allah memang tidak terjangkau oleh pengertian manusia, namun Ia sungguh dapat dikenal. Secara naluriah seluruh umat manusia di muka bumi ini mempercayai adanya Penguasa Tertinggi yang berkuasa atas kehidupan manusia. Masing-masing suku bangsa dengan dialek bahasanya menyebut dengan nama atau istilah yang mereka pahami. Dan tentu saja dari perspektif native-language-nya tidak menjadi persoalan. Sebab itu hanya sebatas sebutan dialek bahasa ibu yang mereka miliki. Seperti misalnya kata Eloah (Aramik-Ibranik), Theos (Yunani), dan Ilah (Arab). Tetapi persoalan menjadi berbeda ketika kita berbicara dari perspektif substansiteologisnya dan spirit (ruh) yang mengisi sebutan Nama Penguasa Tertinggi sebagai wujud kebenaran yang ilahiah. Dalam konteks ini konsep ketuhanan yang absah perlu segera dirujukkan berdasarkan sumbernya, apakah itu bersumber dari pewahyuan murni, ataukah dari idea manusia yang membangun kesosokan Tuhan seperti yang dipersepsikan hanya oleh akal budinya.
Inilah yang mendasari keyakinan setiap agama beserta umatnya bahwa keberadaan Penguasa Tertinggi dapat dikenal dengan dua cara; lewat apa yang disebut “pewahyuan umum” dan “pewahyuan khusus”. Pewahyuan umum menyangkut manifestasi Allah, tanda-tanda adanya Allah yang dapat disaksikan melalui Fenomena alam semesta yang mendatangkan satu kesadaran yang mendasar: “Darimana atau siapakah yang menciptakan alam semesta?” Ia tak dapat datang dari kekosongan. Haruslah ada Sang Pencipta (Al-Kholiq), yaitu Yang Maha Kuasa yang tidak dicipta yang menciptakan dan memelihara alam semesta ini. Selain itu, pewahyuan umum juga ditanamkan Sang Pencipta kedalam hati nurani dan mental setiap manusia, sehingga secara universal mereka selalu terikat dalam kesamaan moral hakiki (seperti perasaan dosa, keadilan dll), merasa rindu mencari dan menyembah Dia yang dapat memberikan berkat dan pengharapan akan kehidupan kekal.
Disamping wahyu umum, Allah juga turunkan wahyu khusus, bukan sekedar memperkenalkan kuasa, kemuliaan dan hikmat penciptaNya atas alam semesta, tetapi justru memperkenalkan pribadi, kehendak dan kasihNya yang mau menyelamatkan umat manusia sebagai puncak pewahyuan, seperti yang disampaikan dalam kitab-kitab suci seperti Alkitab dan Al-Qur’an. Wahyu khusus inilah yang akan membawa wahyu umum kepada sumbernya yang sejati.
1. Mengetahui keberadaan Allah melalui karya ciptaan-Nya. Ciptaan membuktikan penciptanya. Voltaire berkata, “Bilamana sebuah jam dapat membuktikan keberadaan seorang pembuat jam, tetapi alam semesta tidak dapat membuktikan arsiteknya yang agung, maka saya bersedia disebut orang bodoh”. Semakin banyak orang masa kini ingin menyangkal otoritas Tuhan Allah. Itu sebabnya mereka terus mencoba untuk meyakinkan diri mereka (dan orang-orang lain) bahwa sains (ilmu pengetahuan) menolak keberadaan Tuhan dan ajaran penciptaanNya. Orang-orang hanya percaya bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab untuk dirinya dan tidak ada oknum-gaib didalam kosmos ini yang mengatur kehidupannya.
Berbicara tentang sains penciptaan, kita harus masuk kedalam prinsip dasar dari Sebab dan Akibat. Yaitu yang disebut PRINSIP KAUSALITAS, “tidak ada Akibat yang dapat lebih besar dari Sebabnya”. Atau secara populer diartikan bahwa “Dari yang tidak ada, tak akan terjadi apa yang ada”. Oleh karena itu harus ada Sebab Pertama dari segala sesuatu yang hadir di alam raya ini yang telah diadakan olehNya. Jadi Sebab Pertama ini haruslah mempunyai kemampuan dan pengetahuan, semata-mata karena makhluk-makhluk didunia ini (dan alam raya itu sendiri) juga mempunyai kemampuan dan kepintaran. Ini adalah Akibat yang harus mempunyai Sebab yang cukup. Dan pada tingkat kemampuan/pengetahuan yang sedemikian tinggi, prinsip kausalitas akan merujuk kepada Sebab Pertama yang disebut Sang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Alam raya tidak menciptakan dirinya disaat manapun. Dan tak ada alam raya yang tak tergantung kepada sesuatu yang lain.
Jadi pastilah ia diciptakan dimasa dulu oleh Sebab Pertama yang mahahebat, yang disebut Tuhan Sang Pencipta. Dalam hal ini, baik Quran maupun Alkitab merujukkan bahwa ada sosok Pencipta Al Kholiq yang dimaksud: karena Sosok ini tidak dicipta, maka substansi diriNya adalah bukan dari unsurunsur semesta yang ada, melainkan dari Dzat yang samasekali berbeda. Dzat ini meninggalkan tanda-tanda ciptaanNya bagi orang yang berakal (Qs. Ali Imran 3:190; al-Ankabut 29:61), yang bisa dibandingkan dengan kitab Mazmur dari Daud (Zabur 14:1; 19:2-4), yaitu 1600 tahun sebelum Muhammad: *“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. …“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. *”Orang bebal berkata dalam hatinya: ‘tidak ada Allah’ …(tetapi)…“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan (penciptaan dan pemeliharaan) tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam… gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi”
Jadi manusia menolak Allah bukan karena sains membuktikan hal tersebut, melainkan semata-mata karena mereka sendiri yang tidak mengingini Sang Pencipta seperti yang dikatakan dalam Kitab Roma 1:28: “…mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah…” Isaac Newton, seorang ahli matematika dan fisika yang kondang, berkata: “Dalam kekosongan bukti apapun lainnya, maka jari jempol saja cukup meyakinkan saya tentang keberadaan Tuhan”. Orang banyak berdebat bahwa jika segala sesuatu ini harus berasal dari sesuatu Sebab, maka Allah juga harus berasal usul dari sebuah Sebab. Tetapi ini merupakan suatu kesalahan yang disebut kesalahan dimensional. Prinsip kausalitas tidak berkata bahwa segala sesuatu – termasuk Sebab Pertama-- memerlukan Penyebab, melainkan hanya sesuatu yang terbatas dan terukur (finite dan limited) itulah yang memerlukan Penyebab. Jadi sesuatu yang mempunyai awal haruslah mempunyai Penyebab.
Sebagai misal “melihat” dan “merasa” adalah dua kategori yang berbeda dimensinya. Warna bisa dilihat, dan itu tidak ada hubungannya dengan rasa yang dirasai. Sebuah pertanyaan “Bagaimana sebuah warna hijau itu rasanya?” adalah pertanyaan yang tidak relevan, tidak ada kaitan karena berbeda dimensinya. Hal yang sama terjadi untuk pertanyaan “ Siapa yang menciptakan Allah?” Ini mencampur adukkan dimensi yang terbatas/ terukur (finite) dengan dimensi yang tidak terbatas/terukur (infinite). Hanya sesuatu yang finite memerlukan sebuah Sebab; sesuatu yang finite ini mempunyai asal usul dan masuk ke dalam eksistensi (keberadaan). Sesuatu yang infinite seperti Allah tidak memerlukan dan tidak mempunyai awal mula. Ia selalu eksis (ada) dan karenanya tidak mempunyai Penyebab.
Albert Einstein, ilmuwan abadi, melihat bahwa jagat raya itu dalah hasil rancangan dalam sistim yang teratur, dan karenanya lebih merupakan hasil karya yang bukan asal ada secara sembarangan. Ia berkata, “tata susunan jagat raya mengungkapkan suatu intelegensia yang superior yang melampaui semua inteligensia manusia”.
2. Mengetahui kehadiran Allah melalui batin dan akal budi manusia. Disamping merasakan kehadiran Allah lewat alam semesta, manusia juga diperlengkapi Allah untuk mengetahuinya lewat akal budi dan batin terdalam. Mengapa orang-orang diseluruh dunia semua menuntut dalam batinnya hak-hak azazi manusia? Siapa bilang bahwa semua manusia harus mendapatkan hak hak azazinya? Kenapa mereka mempunyai standar moral yang sangat mirip satu terhadap lainnya? Mengapa terjadi pengelompokan mendasar yang sama terhadap apa yang baik dan yang buruk? Apakah kerinduan dasar yang sama ini bukan suatu kesaksian dari diri kita tentang keberadaan dan kehendak Allah yang memang menanamkan moralitas demikian pada setiap manusia?
Konsep keberadaan Allah selalu ada dalam setiap budaya dan daerah, sekalipun pada suku-suku terasing yang tak terjangkau. Kejadian-kejadian dalam dunia dimana dari saat kesaat selalu ada orang yang memuja suatu sosok Allah atau menampilkan sosok pengganti Allah, juga membuktikan bahwa konsep Allah itu ada dalam kehidupan. Walau demikian, sebagian manusia tetap tidak mau mengakuinya. Mereka menindas kebenaran! Kita ingat Bertrand Russell, seorang matematikawan kaliber dunia dan sekaligus seorang atheis-vokal, penulis buku yang terkenal, “Why I am not a Christian”. Menjelang kematiannya ia sempat mengirim sebuah surat kepada seorang temannya. Disitu ia menulis,
“Dalam diri seseorang tampaknya ada sesuatu yang sangat melekat kepada Allah, yang menolak untuk masuk dalam ikatan duniawi …paling tidak itulah yang saya harus nyatakan jikalau saya berfikiran bahwa Allah itu memang ada. Ini hal yang aneh, bukan? Saya peduli akan dunia ini dan akan manusia yang ada didalamnya, tetapi …apakah semuanya itu? Pasti ada sesuatu yang lebih penting rasanya, walau saya tidak percaya akan hal itu.”
Atheis sekaliber Bertrand Russell terpaksa mengakui keberadaan Allah sekalipun ia berontak terhadapNya. Kebenaran sejati tentang keberadaan Allah diungkapkan oleh akal budi nurani kita sendiri yang merupakan gambar dan cermin Allah yang menyaksikan Penciptanya. Dalam bahasa Alkitab, ini dikatakan sebagai “ isi hukum Allah ada tertulis dalam hati manusia yang akan turut membenarkan atau mengutuk perilaku kita (Roma 2:14-15).
3. Keberadaaan dan pesan-pesan Allah diberitakan melalui wahyu khusus dalam Kitab-Nya. Telah disinggung diatas bahwa Wahyu Umum cenderung bersifat impersonal dan tidak memadai untuk mencapai keselamatan. Ia terlalu samar mengakomodasikan semua bentuk isme-isme yang bisa berakhir pada distorsi dan konfrontasi sesamanya, seperti mistisisme, panteisme, politeisme, deisme dll. Hakekat, hukum dan kehendak Allah tidak cukup ditulis hanya semu-semu dalam batin manusia, melainkan justru harus dibukakan dalam penyaksian/ pendalilan dari KalamNya yang diujudkan dalam “Sang Wahyu”. Dalam Islam ini disebut sebagai pendalilan atau hujah naqli. Alasan yang paling utama bahwa kita tahu adanya Allah adalah karena Alah sendiri yang menyatakan diriNya kepada manusia. Wahyu Allah sendirilah sebagai syarat mutlak bagi manusia untuk dapat mengenal tentang Allah. Sebab satu-satunya yang mengetahui tentang Allah hanyalah Allah sendiri.
Tidak akan ada pertolongan kepada kita dalam pencaharian Sang Pencipta apabila Allah itu sendiri diam dan bungkam saja. Namun kita bersyukur bahwa Allah tidak tinggal diam. Dia telah berkomunikasi tentang faktafakta keberadaan dan jati diriNya kepada kita. Ia telah menceritakan segala sesuatu tentang diriNya, apa-apa yang diinginkanNya dan apa rencanaNya untuk planet bumi kita ini. Dia telah mengungkapkan semuanya ini kepada manusia melalui Firman atau KalimatNya Jadi, setiap orang pada dasarnya telah memiliki pengetahuan alam dan batin dan pemberitaan khusus tentang Allah, karena Allah telah menyatakannya sendiri kepada manusia dalam batin, pikiran, karya dan wahyuNya sejak dunia diciptakan, sehingga tidak ada manusia yang sesungguhnya dapat berdalih lagi tentang keberadaan Allah (Kitab Roma 1:20). Dengan demikian Allah telah menyatakan bahwa “Apa yang kita tampak, menyaksikan apa yang tidak tampak”. Allah Dalam Pewahyuan Islam.
Jikalau kita membaca Al-Qur’an dengan seksama, tampak bahwa Allah berbicara dengan para nabiNya lewat pewahyuan tanpa bisa melihat diri Allah. Pembicaraan atau perintah Allah kepada nabi-nabi sebelum Muhammad semuanya terkesan bersifat langsung. Bahkan ditegaskan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung, muka dengan muka, sehingga dia disebut sebagai Kalimullah (surat 4:164). Namun dalam Islam, Muhammad tidak pernah berbicara langsung dengan Allahnya, demikian pula sebaliknya Allah tidak berwahyu kepadanya kecuali lewat perantara malaikat yang disebut Jibril. Dengan demikian, keberadaan Allah SWT sesungguhnya tidak ter-konfirmasi oleh Allah, melainkan oleh klaim Muhammad sendiri, yang mengatasnamakan Jibril pula. Dengan kemutlakannya yang transendental, Allah SWT tidak terikat oleh relativitas tempat dan waktu. Ia berada diatasya, tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang atau lokasi. Ia adalah selamanya, disemuanya, Yang Awal dan Yang Akhir.
Para Imam telah sepakat bahwa Rahmat Allah Subhanahu wa ta'alla berada di atas Arasy yang agung (surat 9:129), dan tidak ada seorang pun dari makhluk yang serupa dengan Dia. Mereka sepakat bahwa tahta ini mempunyai 8.000 pillar, dengan jarak yang satu dengan lainnya sejauh 3 juta mil. PadaNya ada 99 nama atau sifat Allah (Asmaaul Husna), sebagian (tidak semua) diambil dari nama-nama yang digunakan Al Qur'an untuk merujukkan kepada keberadaan Allah. Diantara namanama tersebut adalah : Al Aziz (Yang Unik dan Kuasa) Al Alim (Maha Tahu) Al Malikul Mulk (Raja diRaja, Maharaja) Al Hayy (Maha Hidup) Al Muhyii (Maha Memberi Kehidupan) Nama-nama Allah inilah yang pada umumnya dipakai Muslim untuk memahami sedikit-sedikit keberadaan (eksistensi) Allah SWT, bukan substansinya. Karena memang nama/ istilah saja tentu tidak akan memadai untuk menjelaskan kehakikian Allah yang tak terbatas. Apalagi istilah itu tidak diperlihatkan atau diikatkan pada contoh-contoh (incidences) konkrit dimana nama atau sifat Allah tersebut muncul, sehingga. makna dari nama/ sifat tsb hanyalah bersifat teoritis dan sloganis, mudah dikaurkan kemana-mana yang bukan menjadi maksudnya.
Misalnya saja nama Al-Ghaffar/ Al-Ghaffur (Sang Pengampun) disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’anNya sebanyak 111 kali, namun tidak sekalipun Dia mendukungnya dengan berkata: “Dosamu Aku ampuni”! Ini berlainan dengan Tuhan Yahweh yang berfirman kepada Abraham: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka" (Kejadian 18:26). Dalam Kitab Yeremia, demikianlah firman TUHAN, “sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." (Jer 31:34). Dan Yesus Almasih, inkarnasi Firman Allah (KalimatNya) berkata kepada seorang yang lumpuh: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!" (Markus 2:5). Banyak pihak Muslim tidak tahu bahwa pemilihan nama-nama tersebut adalah acak, bukan seluruhnya terambil dari wahyu Allah, melainkan hanya 72 nama pilihan yang dipetik dari dalam Al-Qur’an yang diulang sebanyak 1286 kali. Itupun entah kenapa, dengan meninggalkan sejumlah nama Allah yang lain, diantaranya nama yang justru Allah sendiri ingin perhadapkan diriNya secara frontal dan tegas kepada musuh-musuhnya yang tukang tipu, yaitu nama “Khairul Maakirrin” (Penipu-Daya Yang Agung, lihat surat 3:54).
Spesialis Islam, J.W. Redhouse menerbitkan penemuannya ditahun 1880 bahwa didalam Quran, terdapat total 552 nama yang bisa dikenakan kepada Allah. Muhammad Ibn al Nawawi menulis: “Sekte dari mazhab Sufi mengemukakan bahwa Allah bahkan mempunyai 1000 nama”. Sebaliknya terdapat sejumlah nama-nama diantaranya yang ternyata bisa saling bertolak belakang pemaknaannya, atau berkonotasi keangkuhan/ kejahatan, seperti Al-Khafid dengan Al-Rafi (Yang Merendahkan vs. Yang Meninggikan); atau Al-Mutakabbir (Sang Takabur), dan Al-Mumit (Sang Pembunuh) yang tentu mengerikan. Banyak teolog Islam sadar bahwa mereka sesungguhnya tidak mempunyai dasar yang shahih untuk “memahami” SIAPA Allah SWT yang sesungguhnya, jikalau hanya bertumpukan pada angka acak 99 Asmaaul Husna. Namun itu telah menjadi angka baku yang dipaterikan dalam 99 biji tasbih (3x33) yang tidak bisa diapa-apakan lagi.
Menjadi pertanyaan besar, kenapa nama-nama dan gelar dari Allah SWT ini harus dicari-cari dengan berbelit-belit tanpa pewahyuan, sementara Injil cukup menggelarkan satu “nama sebutan” yang justru memberikan pemahaman yang paling komprehensif tentang eksistensi maupun substansi dari Tuhan Yahweh, yaitu BAPA! Dalam satu nama ini tercakup pemahaman yang paling mendalam tentang Sang Bapa, yaitu bahwa Father God is love, yang mengenal, menuntun, menolong, memelihara, dan mencintai kita anak-anak-Nya secara pribadi, disetiap tempat dan waktu. Dan Ia mau dan peduli menyelamatkan diri anakNya dari penghukuman dan dari api neraka! Nama atau sebutan ini telah disebutkan dalam Injil dan oleh Yesus sedikitnya sebanyak 160 kali (!), namun dikosongkan samasekali dalam Al-Qur’an. Padahal Yahweh sendiri yang membuktikan bahwa Yesus memang betul mempunyai BapaNya disurga, dengan berkata langsung kepada para saksi mata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (Mat.17:5; juga 3:17). Ucapan ini memberi implikasi langsung akan hubungan khusus Sang BAPA dengan Sang Anak (Yesus), dan dengan kita manusia sebagai anak-anakNya.
Di bawah ini akan diterangkan sejumlah gejala dan fakta bahwa sekalipun Allah memang tidak terjangkau oleh pengertian manusia, namun Ia sungguh dapat dikenal. Secara naluriah seluruh umat manusia di muka bumi ini mempercayai adanya Penguasa Tertinggi yang berkuasa atas kehidupan manusia. Masing-masing suku bangsa dengan dialek bahasanya menyebut dengan nama atau istilah yang mereka pahami. Dan tentu saja dari perspektif native-language-nya tidak menjadi persoalan. Sebab itu hanya sebatas sebutan dialek bahasa ibu yang mereka miliki. Seperti misalnya kata Eloah (Aramik-Ibranik), Theos (Yunani), dan Ilah (Arab). Tetapi persoalan menjadi berbeda ketika kita berbicara dari perspektif substansiteologisnya dan spirit (ruh) yang mengisi sebutan Nama Penguasa Tertinggi sebagai wujud kebenaran yang ilahiah. Dalam konteks ini konsep ketuhanan yang absah perlu segera dirujukkan berdasarkan sumbernya, apakah itu bersumber dari pewahyuan murni, ataukah dari idea manusia yang membangun kesosokan Tuhan seperti yang dipersepsikan hanya oleh akal budinya.
Inilah yang mendasari keyakinan setiap agama beserta umatnya bahwa keberadaan Penguasa Tertinggi dapat dikenal dengan dua cara; lewat apa yang disebut “pewahyuan umum” dan “pewahyuan khusus”. Pewahyuan umum menyangkut manifestasi Allah, tanda-tanda adanya Allah yang dapat disaksikan melalui Fenomena alam semesta yang mendatangkan satu kesadaran yang mendasar: “Darimana atau siapakah yang menciptakan alam semesta?” Ia tak dapat datang dari kekosongan. Haruslah ada Sang Pencipta (Al-Kholiq), yaitu Yang Maha Kuasa yang tidak dicipta yang menciptakan dan memelihara alam semesta ini. Selain itu, pewahyuan umum juga ditanamkan Sang Pencipta kedalam hati nurani dan mental setiap manusia, sehingga secara universal mereka selalu terikat dalam kesamaan moral hakiki (seperti perasaan dosa, keadilan dll), merasa rindu mencari dan menyembah Dia yang dapat memberikan berkat dan pengharapan akan kehidupan kekal.
Disamping wahyu umum, Allah juga turunkan wahyu khusus, bukan sekedar memperkenalkan kuasa, kemuliaan dan hikmat penciptaNya atas alam semesta, tetapi justru memperkenalkan pribadi, kehendak dan kasihNya yang mau menyelamatkan umat manusia sebagai puncak pewahyuan, seperti yang disampaikan dalam kitab-kitab suci seperti Alkitab dan Al-Qur’an. Wahyu khusus inilah yang akan membawa wahyu umum kepada sumbernya yang sejati.
1. Mengetahui keberadaan Allah melalui karya ciptaan-Nya. Ciptaan membuktikan penciptanya. Voltaire berkata, “Bilamana sebuah jam dapat membuktikan keberadaan seorang pembuat jam, tetapi alam semesta tidak dapat membuktikan arsiteknya yang agung, maka saya bersedia disebut orang bodoh”. Semakin banyak orang masa kini ingin menyangkal otoritas Tuhan Allah. Itu sebabnya mereka terus mencoba untuk meyakinkan diri mereka (dan orang-orang lain) bahwa sains (ilmu pengetahuan) menolak keberadaan Tuhan dan ajaran penciptaanNya. Orang-orang hanya percaya bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab untuk dirinya dan tidak ada oknum-gaib didalam kosmos ini yang mengatur kehidupannya.
Berbicara tentang sains penciptaan, kita harus masuk kedalam prinsip dasar dari Sebab dan Akibat. Yaitu yang disebut PRINSIP KAUSALITAS, “tidak ada Akibat yang dapat lebih besar dari Sebabnya”. Atau secara populer diartikan bahwa “Dari yang tidak ada, tak akan terjadi apa yang ada”. Oleh karena itu harus ada Sebab Pertama dari segala sesuatu yang hadir di alam raya ini yang telah diadakan olehNya. Jadi Sebab Pertama ini haruslah mempunyai kemampuan dan pengetahuan, semata-mata karena makhluk-makhluk didunia ini (dan alam raya itu sendiri) juga mempunyai kemampuan dan kepintaran. Ini adalah Akibat yang harus mempunyai Sebab yang cukup. Dan pada tingkat kemampuan/pengetahuan yang sedemikian tinggi, prinsip kausalitas akan merujuk kepada Sebab Pertama yang disebut Sang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Alam raya tidak menciptakan dirinya disaat manapun. Dan tak ada alam raya yang tak tergantung kepada sesuatu yang lain.
Jadi pastilah ia diciptakan dimasa dulu oleh Sebab Pertama yang mahahebat, yang disebut Tuhan Sang Pencipta. Dalam hal ini, baik Quran maupun Alkitab merujukkan bahwa ada sosok Pencipta Al Kholiq yang dimaksud: karena Sosok ini tidak dicipta, maka substansi diriNya adalah bukan dari unsurunsur semesta yang ada, melainkan dari Dzat yang samasekali berbeda. Dzat ini meninggalkan tanda-tanda ciptaanNya bagi orang yang berakal (Qs. Ali Imran 3:190; al-Ankabut 29:61), yang bisa dibandingkan dengan kitab Mazmur dari Daud (Zabur 14:1; 19:2-4), yaitu 1600 tahun sebelum Muhammad: *“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. …“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. *”Orang bebal berkata dalam hatinya: ‘tidak ada Allah’ …(tetapi)…“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan (penciptaan dan pemeliharaan) tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam… gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi”
Jadi manusia menolak Allah bukan karena sains membuktikan hal tersebut, melainkan semata-mata karena mereka sendiri yang tidak mengingini Sang Pencipta seperti yang dikatakan dalam Kitab Roma 1:28: “…mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah…” Isaac Newton, seorang ahli matematika dan fisika yang kondang, berkata: “Dalam kekosongan bukti apapun lainnya, maka jari jempol saja cukup meyakinkan saya tentang keberadaan Tuhan”. Orang banyak berdebat bahwa jika segala sesuatu ini harus berasal dari sesuatu Sebab, maka Allah juga harus berasal usul dari sebuah Sebab. Tetapi ini merupakan suatu kesalahan yang disebut kesalahan dimensional. Prinsip kausalitas tidak berkata bahwa segala sesuatu – termasuk Sebab Pertama-- memerlukan Penyebab, melainkan hanya sesuatu yang terbatas dan terukur (finite dan limited) itulah yang memerlukan Penyebab. Jadi sesuatu yang mempunyai awal haruslah mempunyai Penyebab.
Sebagai misal “melihat” dan “merasa” adalah dua kategori yang berbeda dimensinya. Warna bisa dilihat, dan itu tidak ada hubungannya dengan rasa yang dirasai. Sebuah pertanyaan “Bagaimana sebuah warna hijau itu rasanya?” adalah pertanyaan yang tidak relevan, tidak ada kaitan karena berbeda dimensinya. Hal yang sama terjadi untuk pertanyaan “ Siapa yang menciptakan Allah?” Ini mencampur adukkan dimensi yang terbatas/ terukur (finite) dengan dimensi yang tidak terbatas/terukur (infinite). Hanya sesuatu yang finite memerlukan sebuah Sebab; sesuatu yang finite ini mempunyai asal usul dan masuk ke dalam eksistensi (keberadaan). Sesuatu yang infinite seperti Allah tidak memerlukan dan tidak mempunyai awal mula. Ia selalu eksis (ada) dan karenanya tidak mempunyai Penyebab.
Albert Einstein, ilmuwan abadi, melihat bahwa jagat raya itu dalah hasil rancangan dalam sistim yang teratur, dan karenanya lebih merupakan hasil karya yang bukan asal ada secara sembarangan. Ia berkata, “tata susunan jagat raya mengungkapkan suatu intelegensia yang superior yang melampaui semua inteligensia manusia”.
2. Mengetahui kehadiran Allah melalui batin dan akal budi manusia. Disamping merasakan kehadiran Allah lewat alam semesta, manusia juga diperlengkapi Allah untuk mengetahuinya lewat akal budi dan batin terdalam. Mengapa orang-orang diseluruh dunia semua menuntut dalam batinnya hak-hak azazi manusia? Siapa bilang bahwa semua manusia harus mendapatkan hak hak azazinya? Kenapa mereka mempunyai standar moral yang sangat mirip satu terhadap lainnya? Mengapa terjadi pengelompokan mendasar yang sama terhadap apa yang baik dan yang buruk? Apakah kerinduan dasar yang sama ini bukan suatu kesaksian dari diri kita tentang keberadaan dan kehendak Allah yang memang menanamkan moralitas demikian pada setiap manusia?
Konsep keberadaan Allah selalu ada dalam setiap budaya dan daerah, sekalipun pada suku-suku terasing yang tak terjangkau. Kejadian-kejadian dalam dunia dimana dari saat kesaat selalu ada orang yang memuja suatu sosok Allah atau menampilkan sosok pengganti Allah, juga membuktikan bahwa konsep Allah itu ada dalam kehidupan. Walau demikian, sebagian manusia tetap tidak mau mengakuinya. Mereka menindas kebenaran! Kita ingat Bertrand Russell, seorang matematikawan kaliber dunia dan sekaligus seorang atheis-vokal, penulis buku yang terkenal, “Why I am not a Christian”. Menjelang kematiannya ia sempat mengirim sebuah surat kepada seorang temannya. Disitu ia menulis,
“Dalam diri seseorang tampaknya ada sesuatu yang sangat melekat kepada Allah, yang menolak untuk masuk dalam ikatan duniawi …paling tidak itulah yang saya harus nyatakan jikalau saya berfikiran bahwa Allah itu memang ada. Ini hal yang aneh, bukan? Saya peduli akan dunia ini dan akan manusia yang ada didalamnya, tetapi …apakah semuanya itu? Pasti ada sesuatu yang lebih penting rasanya, walau saya tidak percaya akan hal itu.”
Atheis sekaliber Bertrand Russell terpaksa mengakui keberadaan Allah sekalipun ia berontak terhadapNya. Kebenaran sejati tentang keberadaan Allah diungkapkan oleh akal budi nurani kita sendiri yang merupakan gambar dan cermin Allah yang menyaksikan Penciptanya. Dalam bahasa Alkitab, ini dikatakan sebagai “ isi hukum Allah ada tertulis dalam hati manusia yang akan turut membenarkan atau mengutuk perilaku kita (Roma 2:14-15).
3. Keberadaaan dan pesan-pesan Allah diberitakan melalui wahyu khusus dalam Kitab-Nya. Telah disinggung diatas bahwa Wahyu Umum cenderung bersifat impersonal dan tidak memadai untuk mencapai keselamatan. Ia terlalu samar mengakomodasikan semua bentuk isme-isme yang bisa berakhir pada distorsi dan konfrontasi sesamanya, seperti mistisisme, panteisme, politeisme, deisme dll. Hakekat, hukum dan kehendak Allah tidak cukup ditulis hanya semu-semu dalam batin manusia, melainkan justru harus dibukakan dalam penyaksian/ pendalilan dari KalamNya yang diujudkan dalam “Sang Wahyu”. Dalam Islam ini disebut sebagai pendalilan atau hujah naqli. Alasan yang paling utama bahwa kita tahu adanya Allah adalah karena Alah sendiri yang menyatakan diriNya kepada manusia. Wahyu Allah sendirilah sebagai syarat mutlak bagi manusia untuk dapat mengenal tentang Allah. Sebab satu-satunya yang mengetahui tentang Allah hanyalah Allah sendiri.
Tidak akan ada pertolongan kepada kita dalam pencaharian Sang Pencipta apabila Allah itu sendiri diam dan bungkam saja. Namun kita bersyukur bahwa Allah tidak tinggal diam. Dia telah berkomunikasi tentang faktafakta keberadaan dan jati diriNya kepada kita. Ia telah menceritakan segala sesuatu tentang diriNya, apa-apa yang diinginkanNya dan apa rencanaNya untuk planet bumi kita ini. Dia telah mengungkapkan semuanya ini kepada manusia melalui Firman atau KalimatNya Jadi, setiap orang pada dasarnya telah memiliki pengetahuan alam dan batin dan pemberitaan khusus tentang Allah, karena Allah telah menyatakannya sendiri kepada manusia dalam batin, pikiran, karya dan wahyuNya sejak dunia diciptakan, sehingga tidak ada manusia yang sesungguhnya dapat berdalih lagi tentang keberadaan Allah (Kitab Roma 1:20). Dengan demikian Allah telah menyatakan bahwa “Apa yang kita tampak, menyaksikan apa yang tidak tampak”. Allah Dalam Pewahyuan Islam.
Jikalau kita membaca Al-Qur’an dengan seksama, tampak bahwa Allah berbicara dengan para nabiNya lewat pewahyuan tanpa bisa melihat diri Allah. Pembicaraan atau perintah Allah kepada nabi-nabi sebelum Muhammad semuanya terkesan bersifat langsung. Bahkan ditegaskan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung, muka dengan muka, sehingga dia disebut sebagai Kalimullah (surat 4:164). Namun dalam Islam, Muhammad tidak pernah berbicara langsung dengan Allahnya, demikian pula sebaliknya Allah tidak berwahyu kepadanya kecuali lewat perantara malaikat yang disebut Jibril. Dengan demikian, keberadaan Allah SWT sesungguhnya tidak ter-konfirmasi oleh Allah, melainkan oleh klaim Muhammad sendiri, yang mengatasnamakan Jibril pula. Dengan kemutlakannya yang transendental, Allah SWT tidak terikat oleh relativitas tempat dan waktu. Ia berada diatasya, tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang atau lokasi. Ia adalah selamanya, disemuanya, Yang Awal dan Yang Akhir.
Para Imam telah sepakat bahwa Rahmat Allah Subhanahu wa ta'alla berada di atas Arasy yang agung (surat 9:129), dan tidak ada seorang pun dari makhluk yang serupa dengan Dia. Mereka sepakat bahwa tahta ini mempunyai 8.000 pillar, dengan jarak yang satu dengan lainnya sejauh 3 juta mil. PadaNya ada 99 nama atau sifat Allah (Asmaaul Husna), sebagian (tidak semua) diambil dari nama-nama yang digunakan Al Qur'an untuk merujukkan kepada keberadaan Allah. Diantara namanama tersebut adalah : Al Aziz (Yang Unik dan Kuasa) Al Alim (Maha Tahu) Al Malikul Mulk (Raja diRaja, Maharaja) Al Hayy (Maha Hidup) Al Muhyii (Maha Memberi Kehidupan) Nama-nama Allah inilah yang pada umumnya dipakai Muslim untuk memahami sedikit-sedikit keberadaan (eksistensi) Allah SWT, bukan substansinya. Karena memang nama/ istilah saja tentu tidak akan memadai untuk menjelaskan kehakikian Allah yang tak terbatas. Apalagi istilah itu tidak diperlihatkan atau diikatkan pada contoh-contoh (incidences) konkrit dimana nama atau sifat Allah tersebut muncul, sehingga. makna dari nama/ sifat tsb hanyalah bersifat teoritis dan sloganis, mudah dikaurkan kemana-mana yang bukan menjadi maksudnya.
Misalnya saja nama Al-Ghaffar/ Al-Ghaffur (Sang Pengampun) disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’anNya sebanyak 111 kali, namun tidak sekalipun Dia mendukungnya dengan berkata: “Dosamu Aku ampuni”! Ini berlainan dengan Tuhan Yahweh yang berfirman kepada Abraham: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka" (Kejadian 18:26). Dalam Kitab Yeremia, demikianlah firman TUHAN, “sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." (Jer 31:34). Dan Yesus Almasih, inkarnasi Firman Allah (KalimatNya) berkata kepada seorang yang lumpuh: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!" (Markus 2:5). Banyak pihak Muslim tidak tahu bahwa pemilihan nama-nama tersebut adalah acak, bukan seluruhnya terambil dari wahyu Allah, melainkan hanya 72 nama pilihan yang dipetik dari dalam Al-Qur’an yang diulang sebanyak 1286 kali. Itupun entah kenapa, dengan meninggalkan sejumlah nama Allah yang lain, diantaranya nama yang justru Allah sendiri ingin perhadapkan diriNya secara frontal dan tegas kepada musuh-musuhnya yang tukang tipu, yaitu nama “Khairul Maakirrin” (Penipu-Daya Yang Agung, lihat surat 3:54).
Spesialis Islam, J.W. Redhouse menerbitkan penemuannya ditahun 1880 bahwa didalam Quran, terdapat total 552 nama yang bisa dikenakan kepada Allah. Muhammad Ibn al Nawawi menulis: “Sekte dari mazhab Sufi mengemukakan bahwa Allah bahkan mempunyai 1000 nama”. Sebaliknya terdapat sejumlah nama-nama diantaranya yang ternyata bisa saling bertolak belakang pemaknaannya, atau berkonotasi keangkuhan/ kejahatan, seperti Al-Khafid dengan Al-Rafi (Yang Merendahkan vs. Yang Meninggikan); atau Al-Mutakabbir (Sang Takabur), dan Al-Mumit (Sang Pembunuh) yang tentu mengerikan. Banyak teolog Islam sadar bahwa mereka sesungguhnya tidak mempunyai dasar yang shahih untuk “memahami” SIAPA Allah SWT yang sesungguhnya, jikalau hanya bertumpukan pada angka acak 99 Asmaaul Husna. Namun itu telah menjadi angka baku yang dipaterikan dalam 99 biji tasbih (3x33) yang tidak bisa diapa-apakan lagi.
Menjadi pertanyaan besar, kenapa nama-nama dan gelar dari Allah SWT ini harus dicari-cari dengan berbelit-belit tanpa pewahyuan, sementara Injil cukup menggelarkan satu “nama sebutan” yang justru memberikan pemahaman yang paling komprehensif tentang eksistensi maupun substansi dari Tuhan Yahweh, yaitu BAPA! Dalam satu nama ini tercakup pemahaman yang paling mendalam tentang Sang Bapa, yaitu bahwa Father God is love, yang mengenal, menuntun, menolong, memelihara, dan mencintai kita anak-anak-Nya secara pribadi, disetiap tempat dan waktu. Dan Ia mau dan peduli menyelamatkan diri anakNya dari penghukuman dan dari api neraka! Nama atau sebutan ini telah disebutkan dalam Injil dan oleh Yesus sedikitnya sebanyak 160 kali (!), namun dikosongkan samasekali dalam Al-Qur’an. Padahal Yahweh sendiri yang membuktikan bahwa Yesus memang betul mempunyai BapaNya disurga, dengan berkata langsung kepada para saksi mata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (Mat.17:5; juga 3:17). Ucapan ini memberi implikasi langsung akan hubungan khusus Sang BAPA dengan Sang Anak (Yesus), dan dengan kita manusia sebagai anak-anakNya.
Saksi- Tamu
Similar topics
» Bagaimana jika diperbandingkan sesamanya ?
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [I}
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [II]
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [III]
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [IV]
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [I}
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [II]
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [III]
» Bagaimana jika Jibril tiruannya Gabriel ? [IV]
:: Debat Islam :: Aqidah
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik