Login
Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am
» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am
» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am
» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm
» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm
» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm
» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm
» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm
» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm
Most active topics
Social bookmarking
Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of on your social bookmarking website
Pencarian
Most Viewed Topics
Statistics
Total 40 user terdaftarUser terdaftar terakhir adalah tutunkasep
Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user |
User Yang Sedang Online
Total 3 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 3 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 101 pada Fri Nov 15, 2024 3:57 am
Kemajuan Sains dan Teknologi Pada Masa Kekhilafahan Islam
:: Negara :: Negara Islam
Halaman 1 dari 1
Kemajuan Sains dan Teknologi Pada Masa Kekhilafahan Islam
Oleh C. Supriadi Ats Tsauriy
Menelusuri sejarah peradaban kaum Muslim sama artinya dengan membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang menggambarkan kemajuan yang pernah diperoleh oleh generasi kaum Muslim terdahulu. Zaman keemasan kaum Muslim saat itu dikenal dengan sebutan The Golden Age. Pada saat itu, kaum Muslim berhasil mencapai puncak kejayaan sains dan ilmu pengetahuan yang memberikan kemaslahatan yang amat besar bagi peradaban umat manusia pada umumnya.
Pada masa itu, berbagai cabang sains dan teknologi lahir. Sains dan teknologi yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh peradaban-peradaban sebelum Islam mampu digali, dijaga, dikembangkan, dan dijabarkan, secara sederhana oleh kaum Muslim. Sains dan teknologi tersebut kemudian diwariskan kepada generasi dan peradaban modern serta turut memberikan andil yang amat besar bagi proses kebangkitan kembali (renaissance) bangsa-bangsa Eropa.
Bisa dikatakan, kebangkitan kembali bangsa Eropa yang memicu proses industrialisasi besar-besaran di Eropa dan Amerika tidak akan muncul jika para pionir Eropa tidak belajar kepada kaum Muslim. ‘Berkah’ Perang Salib yang berkecamuk hampir selama dua abad antara kaum Muslim dan Eropa yang Kristen telah membuka mata bangsa Eropa terhadap kemajuan sains dan teknologi yang dimiliki oleh kaum Muslim. Mereka masih sempat merampas buku-buku dan berbagai manuskrip kuno yang merekam perkembangan sains dan teknologi yang tersimpan di perpustakan-perpustakaan milik kaum Muslim, meskipun sebagian besarnya mereka bakar.
Untuk mengetahui betapa hebatnya kemajuan sains dan teknologi yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada masa pemerintahan para khalifah Islam di masa lalu, perjalanan tarikh kali ini akan menguak beberapa cabang sains dan teknologi.
A. Ilmu Bumi
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (paruh pertama abad IX M), Al-Khawarizmi dan 99 orang asistennya telah membuat peta bumi sekaligus peta langit (peta bintang). Mereka berhasil mengukur lingkaran bumi dengan tingkat akurasi yang amat tinggi dengan dilandaskan pada pemahaman bahwa bumi itu bentuknya bulat. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah eksperimen sederhana dilakukan di dataran Sinyar (dekat kota Palmyra). Dengan menggabungkan pengetahuan matematika sederhana (sinus, cosinus dan tangent) dengan sudut jatuh sinar matahari serta peredaran bumi dalam setahun, mereka menyimpulkan bahwa derajat zawal = 56 2/3 mil atau 959 yard lebih panjang dari nilai yang sebenarnya. Setelah diperoleh derajat zawal, mereka dapat menghitung panjang keliling bumi, yaitu 20.000 mil, dan jari-jari bumi 6.500 mil.
Pada saat yang sama, bangsa Eropa masih yakin bahwa bumi itu datar, hingga Columbus berhasil menginjakkan kakinya di benua Amerika, dan membuktikan bahwa bumi itu bulat.
Upaya para intelektual Muslim saat itu untuk memetakan bumi—beserta informasi mengenai keadaan alam, hasil bumi, dan barang tambangnya—telah dimulai pada abad ke-9 M. Al-Muqaddasi (Abu ‘Abdillah) yang hidup pada tahun 985 M melakukan pengembaraan panjang mendatangi berbagai negeri hingga 20 tahun lamanya. Tujuannya adalah untuk menyusun ensiklopedia sederhana mengenai ilmu bumi. Ia memberikan banyak informasi yang amat teliti tentang tempat-tempat yang dikunjunginya.
Sejak saat itu, mulailah berkembang upaya-upaya spesifik yang akan melahirkan cabang ilmu historio topographical maupun demografi. Di antara buku-buku ilmu bumi yang banyak tersebar saat itu ada yang memfokuskan tentang sejumlah peraturan pos pada masa para khalifah dan peraturan mengenai kharaj di masing-masing wilayah; ada pula yang menggambarkan kondisi udara (tingkat hujan, kelembaban, intensitas sinar matahari dsb), pertambangan/logam; dan sejenisnya.
Pada pertengahan abad ke-10 M, Al-Astakhri menerbitkan karyanya tentang ilmu bumi negeri-negeri Islam yang disertai dengan peta berwarna yang membedakan data potensi masing-masing negeri. Pada akhir abad ke-11 M, Al-Biruni mengekspose bukunya tentang ilmu bumi Rusia dan Eropa Utara. Ia adalah Abu Raihan Biruni yang lahir di negara bagian Khurasan. Ia belajar ilmu pasti, astronomi, kedokteran, matematika, sejarah, serta ilmu tentang bangsa India dan Yunani. Ia sering melakukan korespondensi dengan Ibn Sina.
Pertengahan abad ke-12 M, Al-Idrisi, seorang ahli ilmu bumi dan pelukis peta, telah membuat peta langit dan bola bumi yang berbentuk bulat. Kedua karyanya itu dibuat dari perak dan dihadiahkan kepada Raja Roger II dari Sisilia. Namun demikian, hasil karya Al-Idrisi yang amat terkenal adalah peta sungai Nil. Peta tersebut menjelaskan asal sumbernya (hulu sungai) yang kemudian dijadikan acuan bagi pengelana Eropa dalam menemukan hulu sungai Nil pada abad ke-19 M.
Tahun 1290 M, Quthbuddin as-Syirazi, ahli ilmu bumi, berhasil membuat peta Laut Mediterania, yang kemudian dihadiahkannya kepada Gubernur Persia saat itu. Pada era yang sama, Yaqut ar-Rumi (1179-1229) menyusun ensiklopedia ilmu bumi tebal yang terdiri dari 6 jilid. Ensiklopedia ini dikemas dengan judul, Mu‘jam al-Buldân.
B. Ilmu Astronomi
Khalifah al-Manshur dari generasi ke-Khilafahan Abasiyah pernah memerintahkan untuk menerjemahkan buku tentang astronomi yang berasal dari India yang berjudul Sidhanta. Penerjemahnya adalah al-Farabi (meninggal antara 796-806 M). Ia kemudian terkenal sebagai astronom pertama di dalam sejarah Islam.
Sepeninggal al-Farabi, direktur yang membidangi ilmu astronomi adalah al-Khawarizmi. Ia berhasil merumuskan perjalanan matahari dan bumi serta menyusun jadwal terbitnya bintang-bintang tertentu. Pada masa pemerintahan al-Makmun, al-Khawarizmi berhasil menemukan kenyataan tentang miringnya zodiak (rasi/letak) bintang. Ia berhasil pula memecahkan perhitungan sulit yang disebut dengan persamaan pangkat tiga (a qubic equation), yang oleh Archimides pernah disinggung, tetapi tidak berhasil dipecahkan. Penemuannya yang paling masyhur dan tetap digunakan dalam berbagai cabang ilmu adalah ditemukan dan mulai digunakannya angka nol serta berhasil disusunnya perhitungan desimal. Perlu diketahui bahwa bangsa Romawi, Yunani, maupun berbagai peradaban sebelum Islam, penjumlahan maupun pengurangan, bahkan lambang angka/bilangan belum mengenal angka nol.
Pakar-pakar astronomi yang pernah hidup pada masa itu, antara lain, adalah Ahmad Nihawand; Habsi ibn Hasib (831 M); Yahya ibn Abi Manshur (hidup antara 870-970 M); an-Nayruzi (922 M), pengulas buku Euclides dan penulis beberapa buku tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan laut; al-Majriti (1029-1087 M), yang dikenal lewat bukunya, Ta‘dîl al-Kawâkib; az-Zarqali (1029-1089 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai Arzachel; Nashiruddin at-Tusi (wafat 1274) yang membangun observatorium di kota Maragha atas perintah Hulaghu.
Az-Zarqali berhasil membeberkan kepada dunia cara menentukan waktu dengan mengukur tinggi matahari. Ia adalah orang pertama yang membuktikan gerak apogee matahari dibandingkan dengan kedudukan bintang-bintang. Menurut perhitungannya, gerak itu besarnya 12,04 derajat. Bandingkan akurasinya dengan nilai sebenarnya yang diperoleh saat ini, yaitu 11,8 derajat.
Ibn Jaber al-Battani, yang dikenal orang Eropa sebagai Al-Batanius (858-929 M), berhasil mengembangkan beberapa penyelidikan yang pernah dilakukan oleh Ptolomeus. Ia memperbaiki perhitungan-perhitungan mengenai waktu dan jarak tempuh bulan maupun beberapa planet. Ia juga membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari setiap tahun. Perhitungannya yang teliti tentang besarnya kemiringan ekliptika, panjang tahun tropis, waktu dan jarak tempuh matahari diakui oleh pakar-pakar astronomi.
Pada masa Bani Fatimiyah berkuasa, pakar astronom Muslim ternama, Ali ibn Yunus (meninggal tahun 1009 M) mempersembahkan sebuah buku mengenai ilmu astronomi kepada negara berjudul Al-Zij al-Kâbir al-Hâkimî. Manfaat buku ini diakui oleh para pakar astronomi sehingga disalin ke bahasa Persia oleh ‘Umar Khayyam. Umar Khayyam sendiri berhasil menyusun sistem penanggalan yang lebih teliti dibandingkan dengan penanggalan Gregorian, karena penyimpangannya hanya satu hari dalam 5000 tahun, sedangkan penanggalan Gregorian penyimpangannya satu hari dalam 3300 tahun). Buku Ali ibn Yunus juga diterjemahkan ke dalam bahasa China oleh Co Cheon King (tahun 1280 M). Pada masa yang sama, al-Biruni (1048 M) memaparkan teorinya mengenai rotasi bumi, perhitungan serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan akurasi yang amat teliti.
C. Ilmu Pasti/Matematika
Bangsa Barat mengenal angka-angka Arab, atau biasa disebut algoritma, dengan menisbatkannya kepada al-Khawarizmi, seorang pakar matematika dan aljabar. Kata algoritma, yang disingkat menjadi augrim, bersumber dari buku-buku al-Khawarizmi. Orang-orang Eropa saat itu amat terpengaruh oleh teori-teorinya yang brilian. Hal itu tampak dalam buku Karmen de Algorismo, karangan Alexander de Villa Die (tahun 1220 M), dan buku Algorismus Vulgaris, karangan John of Halifax (tahun 1250 M).
Buku al-Khawarizmi yang paling masyhur adalah Hisâb al-Jabr wa al-Muqâbalah. Gerald of Cremona menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Latin, yang edisi Inggrisnya berjudul The Mathematics of Integration and Equations. Buku ini menjadi referensi utama di berbagai perguruan tinggi Eropa hingga abad ke-16 M. Selain itu, al-Khawarizmi berhasil mengembangkan perhitungan Platolemy dalam perhitungan busur dan ilmu ukur sudut dengan mengetengahkan istilah sinus serta menyusun penyelesaian yang sistematis dalam persaman pangkat dua. Ibn Ibrahim al-Fazari mengembangkannya lebih lanjut hingga ke bentuk persamaan pangkat tiga. Hal sama sebenarnya juga dilakukan dalam persamaan pangkat tiga oleh Abu Ja’far al-Khazen (960 M). Hanya saja, ia lebih memfokuskan penggunaan aljabar dalam ilmu ukur, dan ia adalah peletak dasar bagi ilmu ukur analitis.
Keahlian dalam aljabar yang digunakan dalam ilmu ukur sudut didalami oleh Al-Battani (858-929 M). Dialah yang menguraikan persamaan sin Q/cos Q = k. Ia pun menjabarkan lebih lanjut formulasi cos a = cos b cos c + sin b sin c cos a pada sebuah segi tiga.
Abu al-Wafa (940-998 M) termasuk kelompok pertama pakar matematika yang mengungkapkan teori sinus dalam kaitannya dengan segi tiga bola. Ia orang pertama yang menggunakan istilah tangent, cotangent, secant, dan cosecant dalam ilmu ukur sudut, yang sekaligus membuktikan adanya hubungan di antara keenam unsur itu.
Jabir ibn Aflah, yang dikenal oleh bangsa Eropa dengan sebutan Geber (wafat tahun 1150 M), telah menulis buku dalam ilmu astronomi sebanyak 9 jilid. Para pengkaji manuskrip kuno menganggap bahwa bukunya merupakan pengembangan labih lanjut dari buku Almagest-nya Platomeus. Jabir ibn Aflah adalah orang pertama yang menyusun formulasi cos B = cos b sin A, cos C = cos A cos B pada sebuah segi tiga, yang sudut C-nya siku-siku.
D. Ilmu Fisika
Pencapaian kaum Muslim dalam perkembangan ilmu fisika, sama pesatnya dengan perkembangan yang diperoleh dalam ilmu pasti maupun ilmu kimia. Salah seorang pakar ilmu fisika yang terkenal pada abad ke-9 M adalah al-Kindi. Ia menguraikan hasil eksperimennya tentang cahaya. Karyanya tentang fenomena optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De Sspectibus, dan memberikan pengaruh besar dalam proses pendidikan Roger Bacon.
Di samping itu, ada pula Ibn Haytham, yang di Barat lebih dikenal sebagai Alhazen (965-1039 M). Ia bukan saja ahli dalam bidang ilmu pasti dan filsafat, tetapi juga amat mumpuni dalam bidang ilmu optik dan pencahayaan. Sebanyak 200 judul buku mengenai optik dan pencahayaan dinisbatkan kepada Ibn Haytham. Teorinya yang amat terkenal adalah tentang sumber cahaya yang menyebabkan benda dapat dilihat. Ditegaskan juga bahwa cahaya itu bukan berasal dari mata yang melihat melainkan dari benda tersebut. Teori ini jelas-jelas bertentangan dengan teori Euclides dan Platomeus yang mengatakan bahwa benda dapat dilihat karena mata yang bercahaya. Ibn Haytham juga menunjukkan tentang fenomena refleksi dan refraksi cahaya. Ia juga membuktikan adanya perbedaan berat jenis antara udara dengan benda-benda. Teorinya ini mendahului teori yang sama yang dikeluarkan atas nama Torricelli jauh lima abad sebelumnya. Ibn Haytham pula yang mulai melakukan eksperimen tentang gravitasi bumi jauh sebelum Newton merumuskan teorinya tentang gravitasi. Kepiawaian Ibn Haytham dalam ilmu optik membuatnya berhasil menemukan lensa pembesar pertama. Padahal, lensa sejenis baru dapat dibuat di Italia beberapa abad kemudian. Buku Ibn Haytham yang membahas tentang optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1572 M. Bukunya amat mempengaruhi para sarjana Eropa di abad pertengahan seperti Keppler, Bacon, maupun Leonardo da Vinci.
Pembahasan tentang mekanika yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul, Kitâb fî Ma‘rifah, karya al-Jazari (nama aslinya Badi’uz Zaman Ismail) muncul pada awal abad ke-13 M. Di dalamnya diuraikan berbagai fenomena mekanika sederhana yang menjadi dasar bagi para sarjana Eropa dalam menyusun ilmu mekanika moderen.
E. Ilmu Sejarah Alam
Tumbuhan maupun hewan tidak luput dari sasaran pengkajian ilmiah para intelektual Muslim. Perkebunan (botanical garden) yang sederhana dijadikan tempat untuk melakukan eksperimen. Hal itu dijumpai di kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Cordova dan lain-lain. Melalui eksperimennya, para intelektual Muslim berhasil mengetahui perbedaan jenis tumbuh-tumbuhan, membagi tumbuhan berdasarkan tempat asalnya, mempelajari bermacam-macam perbanyakan tumbuhan, dan mulai menyusun klasifikasi tumbuhan secara sederhana.
Pada abad ke-11 M, pakar pertanian bernama Abu Zakaria Yahya menulis buku tentang pertanian berjudul Kitâb al-Falahah. Langkahnya kemudian diikuti oleh Abu Ja‘far al-Qurthubi (1165 M) yang menyusun buku yang berisi seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai di daerah Andalusia dan Afrika Utara. Setiap jenis tumbuhan diberi nama Arab, Latin, dan Barbar. Periode ini diikuti oleh Ibn Baythar (1248 M), yang melakukan ekseperimen tentang rumput-rumputan dan berbagai jenis tumbuhan. Ia menyusun dua buah judul buku hasil penyelidikannya. Salah satunya memuat keterangan rinci lebih kurang 200 jenis tumbuhan. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1759 M di Cremona.
Kaum Muslim turut memberikan andil bagi para pakar tumbuhan dan menyediakan informasi yang amat berguna mengenai sekitar 2000 jenis tumbuh-tumbuhan yang sebelumnya belum dikenal.
Pakar zologi yang terkenal antara lain adalah al-Jahir. Ia menulis buku berjudul Kitâb al-Hayawân. Di dalamnya dijelaskan anatomi sederhana, makanan, kebiasaan hidup, serta manfaat yang diperoleh dari berbagai jenis hewan. Di samping itu, terdapat pula ad-Damiri (1405 M), seorang pakar zologi yang berasal dari Mesir.
F. Ilmu Kedokteran
Perhatian kaum Muslim terhadap ilmu kedokteran sudah ada sejak peradaban Islam terbentuk di kota Madinah, ditambah lagi dengan kebutuhan yang dijumpai setiap kali kaum Muslim melakukan jihad fi sabilillah. Ilmu kedokteran termasuk cabang ilmu yang paling pesat perkembangannya di Dunia Islam saat itu, karena manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Wajar kalau Khalifah Harun ar-Rasyid (abad ke IX M) memberikan perhatian yang amat besar dengan membuka fakultas khusus tentang ilmu kedokteran di berbagai perguruan tinggi di kota Baghdad, lengkap dengan rumah sakitnya. Seiring dengan perkembangannya, berbagai buku tentang ilmu kedokteran pun mulai tersebar luas. Buku-buku tersebut di kemudian hari disalin ke dalam bahasa Latin.
Kemungkinan besar, buku kedokteran pertama yang disusun oleh pakar kedokteran Muslim adalah Firdaus al-Hikmah. Buku tersebut ditulis pada tahun 850 M oleh Ali at-Tabari. Pada saat yang sama, Ahmad ibn at-Tabari melakukan eksperimen pertama tentang penyakit kurap. Ia termasuk pakar kedokteran pertama yang berhasil menyingkap penyakit kulit tersebut.
Di kota Baghdad, muncul pula pakar kedokteran bernama Abubakar Muhammad ibn Zakaria. Ia dikenal dengan ar-Razi (864-932 M). karangan-karangannya tergolong sebagai encyclopedia karena tebal dan banyaknya. Untuk bidang kedokteran saja, ia menyusun sekitar 200 judul buku. Prestasinya yang hebat dipandang oleh sebagian orientalis melebihi prestasi Galinus, seorang filosof Yunani terkenal. Di antara bukunya yang terkenal adalah Al-Manshûri. Buku tersebut terdiri dari 10 jilid dan telah disalin ke dalam bahasa Latin (di kota Milano) pada akhir abad ke-15 M. Bukunya yang lain adalah Al-Judari wa al-Hasbah. Buku tersebut mengupas tentang penyakit cacar dan campak. Buku ini tergolong sebagai buku pertama yang membahas penyakit cacar dan campak serta penjelasan mengenai cara-cara pencegahan dan pengobatannya. Buku ini telah disalin ke dalam bahasa Latin tahun 1565 M. Buku lainnya adalah Al-Hawi yang terdiri dari 20 jilid. Buku ini memaparkan sejarah dan mengumpulkan berbagai penemuan di bidang kedokteran yang pernah dijumpai dalam peradaban Yunani, Persia, India, dan hasil analisis sang penyusunnya sendiri. Tahun 1279 M, buku ini disalin di Sisilia ke dalam bahasa Latin dan dicetak tahun 1486 M.
Ali ibn ‘Abbas (994 M) menyusun buku berjudul Kitâb al-Mâlik. Buku ini mengupas tentang masalah gizi dan pengobatan dengan menggunakan rempah-rempah. Ia juga menyusun buku lainnya yang memaparkan tentang sistem peredaran darah di dalam pembuluh, kehamilan dan persalinan, dan banyak lagi yang lain.
Dalam spesialisasi penyakit mata, terdapat nama-nama seperti al-Haysam (965 M), Ali al-Baghdadi, ‘Ammar al-Moseli (yang menulis buku Al-Muntakhah fî al-‘Ilâj al-‘Ayn). Buku-buku mereka mereka telah disalin ke dalam bahasa Latin dan dicetak berulang-ulang bagi mahasiswa kedokteran Eropa pada abad pertengahan.
Pakar farmasi (obat-obatan) yang terkenal di Dunia Islam adalah Ibn Bayhthar ad-Dimasyqi (1197-1248 M) yang menyusun buku Al-Adwiyah al-Mufradah. Buku tersebut berisi kumpulan berbagai resep obatan-obatan. Penulisnya menjadi peletak dasar ilmu farmasi. Sedemikian besar manfaatnya di Eropa, buku ini sempat dicetak ulang sebanyak 23 kali pada abad ke-15 M dan diberi judul Simplicibus.
Spesialis bedah yang terkenal adalah Ibn Qasim az-Zahrawi al-Qurthubi (lahir 1009 M). Ia menyusun buku berjudul At-Tashrîh. Beberapa bagian buku ini disalin oleh Gerald of Cremona pada abad ke-16 M ke dalam bahasa latin. Hingga abad ke-18 M, buku ini dijadikan referensi di berbagai perguruan tinggi kedokteran Eropa, terutama ilmu bedah. Di dalam buku itu juga dijelaskan jenis-jenis dan penggunaan alat bedah, perlakuan pasca bedah yang mencakup sterilisasi luka, dan sejenisnya.
Menyinggung perkembangan ilmu kedokteran Islam, tidak lengkap tanpa menyebut Ibn Sina (1037 M). Bukunya yang terkenal adalah Al-Qânûn fî ath-Thibb yang dianggap sebagai ensiklopedia ilmu kedokteran dan ilmu bedah terlengkap pada zamannya. Selama kurun waktu abad ke-12 sampai abad ke-14 M, buku ini dijadikan referensi utama pada fakultas kedokteran di berbagai perguruan tinggi Eropa. Sejak abad ke-15 M, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 15 kali, bahkan beberapa bagian buku tersebut masih dicetak tahun 1930 di kota London. Sedemikian terkesannya orang-orang Eropa terhadap buku-buku dan prestasi Ibn Sina hingga Encyclopedia Britannica mengutip ucapan salah seorang orientalis Sir Thomas Clifford yang berkata, “Orang-orang Eropa berpendapat bahwa karya-karya Ibn Sina dalam ilmu kedokteran telah menenggelamkan karya-karya lain seperti karya Hypocrates, bahkan karya Galinus sekali pun.”
Selain itu terdapat juga spesialis ilmu tulang dan mikrobiologi, seperti Ibn Zuhr (1162 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai Avenzoar. Bukunya yang terkenal adalah At-Taysîr fî Mudâwah wa at-Tadbîr. Ibn Rusyd—seorang dokter, penulis buku Al-Kulliyât fî ath-Thibb, sekaligus seorang faqih penulis buku Bidâyah al-Mujtahid—berkomentar bahwa Ibn Zuhr adalah seorang pakar kedokteran Islam yang paling besar.
Sejarah Islam juga dipenuhi degan pakar kedokteran lain yang memiliki spesialisasi di bidang epidemi dan kesehatan lingkungan, seperti Lisanuddin ibn al-Khatib (1313-1374 M) yang menyusun kitab tentang penularan penyakit. Ia mengikuti jejak dari Ibn Jazlah (110 M), yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Ben Gesla. Ia menyingkap tentang periodisasi dan jadwal berbagai penyakit dengan memperhitungkan cuaca. Ia juga menentukan obat-obatan bagi masing-masing penyakit yang dianalisisnya. Bukunya telah disalin dan dicetak di Tassburg tahun 1532 M.
Perhatian para khalifah dan kaum Muslim terhadap kesehatan dan ilmu kedokteran direalisasikan dengan dibukanya poliklinik harian dan poliklinik keliling. Para dokter yang bertugas di situ bertugas bukan saja membuka pelayanan umum bagi masyarakat, tetapi juga bagi orang-orang sakit yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sistem pemeriksaan secara periodik bagi para pegawai yang memperoleh beban tugas tertentu dan membutuhkan kriteria kesehatan yang amat ketat merupakan prosedur rutin yang sudah dilakukan oleh kaum Muslim. Pada saat yang sama, di Eropa terdapat kepercayaan bahwa mandi itu dapat mengakibatkan penyakit tertentu, dan penggunan sabun sebagai alat pembersih sangat berbahaya bagi mereka.
Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi, yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia pada masa sebelumnya, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem hidup dan ideology. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arselan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya, dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya. [mtaufiknt.wordpress.com/09/10/2010]
Menelusuri sejarah peradaban kaum Muslim sama artinya dengan membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang menggambarkan kemajuan yang pernah diperoleh oleh generasi kaum Muslim terdahulu. Zaman keemasan kaum Muslim saat itu dikenal dengan sebutan The Golden Age. Pada saat itu, kaum Muslim berhasil mencapai puncak kejayaan sains dan ilmu pengetahuan yang memberikan kemaslahatan yang amat besar bagi peradaban umat manusia pada umumnya.
Pada masa itu, berbagai cabang sains dan teknologi lahir. Sains dan teknologi yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh peradaban-peradaban sebelum Islam mampu digali, dijaga, dikembangkan, dan dijabarkan, secara sederhana oleh kaum Muslim. Sains dan teknologi tersebut kemudian diwariskan kepada generasi dan peradaban modern serta turut memberikan andil yang amat besar bagi proses kebangkitan kembali (renaissance) bangsa-bangsa Eropa.
Bisa dikatakan, kebangkitan kembali bangsa Eropa yang memicu proses industrialisasi besar-besaran di Eropa dan Amerika tidak akan muncul jika para pionir Eropa tidak belajar kepada kaum Muslim. ‘Berkah’ Perang Salib yang berkecamuk hampir selama dua abad antara kaum Muslim dan Eropa yang Kristen telah membuka mata bangsa Eropa terhadap kemajuan sains dan teknologi yang dimiliki oleh kaum Muslim. Mereka masih sempat merampas buku-buku dan berbagai manuskrip kuno yang merekam perkembangan sains dan teknologi yang tersimpan di perpustakan-perpustakaan milik kaum Muslim, meskipun sebagian besarnya mereka bakar.
Untuk mengetahui betapa hebatnya kemajuan sains dan teknologi yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada masa pemerintahan para khalifah Islam di masa lalu, perjalanan tarikh kali ini akan menguak beberapa cabang sains dan teknologi.
A. Ilmu Bumi
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (paruh pertama abad IX M), Al-Khawarizmi dan 99 orang asistennya telah membuat peta bumi sekaligus peta langit (peta bintang). Mereka berhasil mengukur lingkaran bumi dengan tingkat akurasi yang amat tinggi dengan dilandaskan pada pemahaman bahwa bumi itu bentuknya bulat. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah eksperimen sederhana dilakukan di dataran Sinyar (dekat kota Palmyra). Dengan menggabungkan pengetahuan matematika sederhana (sinus, cosinus dan tangent) dengan sudut jatuh sinar matahari serta peredaran bumi dalam setahun, mereka menyimpulkan bahwa derajat zawal = 56 2/3 mil atau 959 yard lebih panjang dari nilai yang sebenarnya. Setelah diperoleh derajat zawal, mereka dapat menghitung panjang keliling bumi, yaitu 20.000 mil, dan jari-jari bumi 6.500 mil.
Pada saat yang sama, bangsa Eropa masih yakin bahwa bumi itu datar, hingga Columbus berhasil menginjakkan kakinya di benua Amerika, dan membuktikan bahwa bumi itu bulat.
Upaya para intelektual Muslim saat itu untuk memetakan bumi—beserta informasi mengenai keadaan alam, hasil bumi, dan barang tambangnya—telah dimulai pada abad ke-9 M. Al-Muqaddasi (Abu ‘Abdillah) yang hidup pada tahun 985 M melakukan pengembaraan panjang mendatangi berbagai negeri hingga 20 tahun lamanya. Tujuannya adalah untuk menyusun ensiklopedia sederhana mengenai ilmu bumi. Ia memberikan banyak informasi yang amat teliti tentang tempat-tempat yang dikunjunginya.
Sejak saat itu, mulailah berkembang upaya-upaya spesifik yang akan melahirkan cabang ilmu historio topographical maupun demografi. Di antara buku-buku ilmu bumi yang banyak tersebar saat itu ada yang memfokuskan tentang sejumlah peraturan pos pada masa para khalifah dan peraturan mengenai kharaj di masing-masing wilayah; ada pula yang menggambarkan kondisi udara (tingkat hujan, kelembaban, intensitas sinar matahari dsb), pertambangan/logam; dan sejenisnya.
Pada pertengahan abad ke-10 M, Al-Astakhri menerbitkan karyanya tentang ilmu bumi negeri-negeri Islam yang disertai dengan peta berwarna yang membedakan data potensi masing-masing negeri. Pada akhir abad ke-11 M, Al-Biruni mengekspose bukunya tentang ilmu bumi Rusia dan Eropa Utara. Ia adalah Abu Raihan Biruni yang lahir di negara bagian Khurasan. Ia belajar ilmu pasti, astronomi, kedokteran, matematika, sejarah, serta ilmu tentang bangsa India dan Yunani. Ia sering melakukan korespondensi dengan Ibn Sina.
Pertengahan abad ke-12 M, Al-Idrisi, seorang ahli ilmu bumi dan pelukis peta, telah membuat peta langit dan bola bumi yang berbentuk bulat. Kedua karyanya itu dibuat dari perak dan dihadiahkan kepada Raja Roger II dari Sisilia. Namun demikian, hasil karya Al-Idrisi yang amat terkenal adalah peta sungai Nil. Peta tersebut menjelaskan asal sumbernya (hulu sungai) yang kemudian dijadikan acuan bagi pengelana Eropa dalam menemukan hulu sungai Nil pada abad ke-19 M.
Tahun 1290 M, Quthbuddin as-Syirazi, ahli ilmu bumi, berhasil membuat peta Laut Mediterania, yang kemudian dihadiahkannya kepada Gubernur Persia saat itu. Pada era yang sama, Yaqut ar-Rumi (1179-1229) menyusun ensiklopedia ilmu bumi tebal yang terdiri dari 6 jilid. Ensiklopedia ini dikemas dengan judul, Mu‘jam al-Buldân.
B. Ilmu Astronomi
Khalifah al-Manshur dari generasi ke-Khilafahan Abasiyah pernah memerintahkan untuk menerjemahkan buku tentang astronomi yang berasal dari India yang berjudul Sidhanta. Penerjemahnya adalah al-Farabi (meninggal antara 796-806 M). Ia kemudian terkenal sebagai astronom pertama di dalam sejarah Islam.
Sepeninggal al-Farabi, direktur yang membidangi ilmu astronomi adalah al-Khawarizmi. Ia berhasil merumuskan perjalanan matahari dan bumi serta menyusun jadwal terbitnya bintang-bintang tertentu. Pada masa pemerintahan al-Makmun, al-Khawarizmi berhasil menemukan kenyataan tentang miringnya zodiak (rasi/letak) bintang. Ia berhasil pula memecahkan perhitungan sulit yang disebut dengan persamaan pangkat tiga (a qubic equation), yang oleh Archimides pernah disinggung, tetapi tidak berhasil dipecahkan. Penemuannya yang paling masyhur dan tetap digunakan dalam berbagai cabang ilmu adalah ditemukan dan mulai digunakannya angka nol serta berhasil disusunnya perhitungan desimal. Perlu diketahui bahwa bangsa Romawi, Yunani, maupun berbagai peradaban sebelum Islam, penjumlahan maupun pengurangan, bahkan lambang angka/bilangan belum mengenal angka nol.
Pakar-pakar astronomi yang pernah hidup pada masa itu, antara lain, adalah Ahmad Nihawand; Habsi ibn Hasib (831 M); Yahya ibn Abi Manshur (hidup antara 870-970 M); an-Nayruzi (922 M), pengulas buku Euclides dan penulis beberapa buku tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan laut; al-Majriti (1029-1087 M), yang dikenal lewat bukunya, Ta‘dîl al-Kawâkib; az-Zarqali (1029-1089 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai Arzachel; Nashiruddin at-Tusi (wafat 1274) yang membangun observatorium di kota Maragha atas perintah Hulaghu.
Az-Zarqali berhasil membeberkan kepada dunia cara menentukan waktu dengan mengukur tinggi matahari. Ia adalah orang pertama yang membuktikan gerak apogee matahari dibandingkan dengan kedudukan bintang-bintang. Menurut perhitungannya, gerak itu besarnya 12,04 derajat. Bandingkan akurasinya dengan nilai sebenarnya yang diperoleh saat ini, yaitu 11,8 derajat.
Ibn Jaber al-Battani, yang dikenal orang Eropa sebagai Al-Batanius (858-929 M), berhasil mengembangkan beberapa penyelidikan yang pernah dilakukan oleh Ptolomeus. Ia memperbaiki perhitungan-perhitungan mengenai waktu dan jarak tempuh bulan maupun beberapa planet. Ia juga membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari setiap tahun. Perhitungannya yang teliti tentang besarnya kemiringan ekliptika, panjang tahun tropis, waktu dan jarak tempuh matahari diakui oleh pakar-pakar astronomi.
Pada masa Bani Fatimiyah berkuasa, pakar astronom Muslim ternama, Ali ibn Yunus (meninggal tahun 1009 M) mempersembahkan sebuah buku mengenai ilmu astronomi kepada negara berjudul Al-Zij al-Kâbir al-Hâkimî. Manfaat buku ini diakui oleh para pakar astronomi sehingga disalin ke bahasa Persia oleh ‘Umar Khayyam. Umar Khayyam sendiri berhasil menyusun sistem penanggalan yang lebih teliti dibandingkan dengan penanggalan Gregorian, karena penyimpangannya hanya satu hari dalam 5000 tahun, sedangkan penanggalan Gregorian penyimpangannya satu hari dalam 3300 tahun). Buku Ali ibn Yunus juga diterjemahkan ke dalam bahasa China oleh Co Cheon King (tahun 1280 M). Pada masa yang sama, al-Biruni (1048 M) memaparkan teorinya mengenai rotasi bumi, perhitungan serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan akurasi yang amat teliti.
C. Ilmu Pasti/Matematika
Bangsa Barat mengenal angka-angka Arab, atau biasa disebut algoritma, dengan menisbatkannya kepada al-Khawarizmi, seorang pakar matematika dan aljabar. Kata algoritma, yang disingkat menjadi augrim, bersumber dari buku-buku al-Khawarizmi. Orang-orang Eropa saat itu amat terpengaruh oleh teori-teorinya yang brilian. Hal itu tampak dalam buku Karmen de Algorismo, karangan Alexander de Villa Die (tahun 1220 M), dan buku Algorismus Vulgaris, karangan John of Halifax (tahun 1250 M).
Buku al-Khawarizmi yang paling masyhur adalah Hisâb al-Jabr wa al-Muqâbalah. Gerald of Cremona menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Latin, yang edisi Inggrisnya berjudul The Mathematics of Integration and Equations. Buku ini menjadi referensi utama di berbagai perguruan tinggi Eropa hingga abad ke-16 M. Selain itu, al-Khawarizmi berhasil mengembangkan perhitungan Platolemy dalam perhitungan busur dan ilmu ukur sudut dengan mengetengahkan istilah sinus serta menyusun penyelesaian yang sistematis dalam persaman pangkat dua. Ibn Ibrahim al-Fazari mengembangkannya lebih lanjut hingga ke bentuk persamaan pangkat tiga. Hal sama sebenarnya juga dilakukan dalam persamaan pangkat tiga oleh Abu Ja’far al-Khazen (960 M). Hanya saja, ia lebih memfokuskan penggunaan aljabar dalam ilmu ukur, dan ia adalah peletak dasar bagi ilmu ukur analitis.
Keahlian dalam aljabar yang digunakan dalam ilmu ukur sudut didalami oleh Al-Battani (858-929 M). Dialah yang menguraikan persamaan sin Q/cos Q = k. Ia pun menjabarkan lebih lanjut formulasi cos a = cos b cos c + sin b sin c cos a pada sebuah segi tiga.
Abu al-Wafa (940-998 M) termasuk kelompok pertama pakar matematika yang mengungkapkan teori sinus dalam kaitannya dengan segi tiga bola. Ia orang pertama yang menggunakan istilah tangent, cotangent, secant, dan cosecant dalam ilmu ukur sudut, yang sekaligus membuktikan adanya hubungan di antara keenam unsur itu.
Jabir ibn Aflah, yang dikenal oleh bangsa Eropa dengan sebutan Geber (wafat tahun 1150 M), telah menulis buku dalam ilmu astronomi sebanyak 9 jilid. Para pengkaji manuskrip kuno menganggap bahwa bukunya merupakan pengembangan labih lanjut dari buku Almagest-nya Platomeus. Jabir ibn Aflah adalah orang pertama yang menyusun formulasi cos B = cos b sin A, cos C = cos A cos B pada sebuah segi tiga, yang sudut C-nya siku-siku.
D. Ilmu Fisika
Pencapaian kaum Muslim dalam perkembangan ilmu fisika, sama pesatnya dengan perkembangan yang diperoleh dalam ilmu pasti maupun ilmu kimia. Salah seorang pakar ilmu fisika yang terkenal pada abad ke-9 M adalah al-Kindi. Ia menguraikan hasil eksperimennya tentang cahaya. Karyanya tentang fenomena optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De Sspectibus, dan memberikan pengaruh besar dalam proses pendidikan Roger Bacon.
Di samping itu, ada pula Ibn Haytham, yang di Barat lebih dikenal sebagai Alhazen (965-1039 M). Ia bukan saja ahli dalam bidang ilmu pasti dan filsafat, tetapi juga amat mumpuni dalam bidang ilmu optik dan pencahayaan. Sebanyak 200 judul buku mengenai optik dan pencahayaan dinisbatkan kepada Ibn Haytham. Teorinya yang amat terkenal adalah tentang sumber cahaya yang menyebabkan benda dapat dilihat. Ditegaskan juga bahwa cahaya itu bukan berasal dari mata yang melihat melainkan dari benda tersebut. Teori ini jelas-jelas bertentangan dengan teori Euclides dan Platomeus yang mengatakan bahwa benda dapat dilihat karena mata yang bercahaya. Ibn Haytham juga menunjukkan tentang fenomena refleksi dan refraksi cahaya. Ia juga membuktikan adanya perbedaan berat jenis antara udara dengan benda-benda. Teorinya ini mendahului teori yang sama yang dikeluarkan atas nama Torricelli jauh lima abad sebelumnya. Ibn Haytham pula yang mulai melakukan eksperimen tentang gravitasi bumi jauh sebelum Newton merumuskan teorinya tentang gravitasi. Kepiawaian Ibn Haytham dalam ilmu optik membuatnya berhasil menemukan lensa pembesar pertama. Padahal, lensa sejenis baru dapat dibuat di Italia beberapa abad kemudian. Buku Ibn Haytham yang membahas tentang optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1572 M. Bukunya amat mempengaruhi para sarjana Eropa di abad pertengahan seperti Keppler, Bacon, maupun Leonardo da Vinci.
Pembahasan tentang mekanika yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul, Kitâb fî Ma‘rifah, karya al-Jazari (nama aslinya Badi’uz Zaman Ismail) muncul pada awal abad ke-13 M. Di dalamnya diuraikan berbagai fenomena mekanika sederhana yang menjadi dasar bagi para sarjana Eropa dalam menyusun ilmu mekanika moderen.
E. Ilmu Sejarah Alam
Tumbuhan maupun hewan tidak luput dari sasaran pengkajian ilmiah para intelektual Muslim. Perkebunan (botanical garden) yang sederhana dijadikan tempat untuk melakukan eksperimen. Hal itu dijumpai di kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Cordova dan lain-lain. Melalui eksperimennya, para intelektual Muslim berhasil mengetahui perbedaan jenis tumbuh-tumbuhan, membagi tumbuhan berdasarkan tempat asalnya, mempelajari bermacam-macam perbanyakan tumbuhan, dan mulai menyusun klasifikasi tumbuhan secara sederhana.
Pada abad ke-11 M, pakar pertanian bernama Abu Zakaria Yahya menulis buku tentang pertanian berjudul Kitâb al-Falahah. Langkahnya kemudian diikuti oleh Abu Ja‘far al-Qurthubi (1165 M) yang menyusun buku yang berisi seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai di daerah Andalusia dan Afrika Utara. Setiap jenis tumbuhan diberi nama Arab, Latin, dan Barbar. Periode ini diikuti oleh Ibn Baythar (1248 M), yang melakukan ekseperimen tentang rumput-rumputan dan berbagai jenis tumbuhan. Ia menyusun dua buah judul buku hasil penyelidikannya. Salah satunya memuat keterangan rinci lebih kurang 200 jenis tumbuhan. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1759 M di Cremona.
Kaum Muslim turut memberikan andil bagi para pakar tumbuhan dan menyediakan informasi yang amat berguna mengenai sekitar 2000 jenis tumbuh-tumbuhan yang sebelumnya belum dikenal.
Pakar zologi yang terkenal antara lain adalah al-Jahir. Ia menulis buku berjudul Kitâb al-Hayawân. Di dalamnya dijelaskan anatomi sederhana, makanan, kebiasaan hidup, serta manfaat yang diperoleh dari berbagai jenis hewan. Di samping itu, terdapat pula ad-Damiri (1405 M), seorang pakar zologi yang berasal dari Mesir.
F. Ilmu Kedokteran
Perhatian kaum Muslim terhadap ilmu kedokteran sudah ada sejak peradaban Islam terbentuk di kota Madinah, ditambah lagi dengan kebutuhan yang dijumpai setiap kali kaum Muslim melakukan jihad fi sabilillah. Ilmu kedokteran termasuk cabang ilmu yang paling pesat perkembangannya di Dunia Islam saat itu, karena manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Wajar kalau Khalifah Harun ar-Rasyid (abad ke IX M) memberikan perhatian yang amat besar dengan membuka fakultas khusus tentang ilmu kedokteran di berbagai perguruan tinggi di kota Baghdad, lengkap dengan rumah sakitnya. Seiring dengan perkembangannya, berbagai buku tentang ilmu kedokteran pun mulai tersebar luas. Buku-buku tersebut di kemudian hari disalin ke dalam bahasa Latin.
Kemungkinan besar, buku kedokteran pertama yang disusun oleh pakar kedokteran Muslim adalah Firdaus al-Hikmah. Buku tersebut ditulis pada tahun 850 M oleh Ali at-Tabari. Pada saat yang sama, Ahmad ibn at-Tabari melakukan eksperimen pertama tentang penyakit kurap. Ia termasuk pakar kedokteran pertama yang berhasil menyingkap penyakit kulit tersebut.
Di kota Baghdad, muncul pula pakar kedokteran bernama Abubakar Muhammad ibn Zakaria. Ia dikenal dengan ar-Razi (864-932 M). karangan-karangannya tergolong sebagai encyclopedia karena tebal dan banyaknya. Untuk bidang kedokteran saja, ia menyusun sekitar 200 judul buku. Prestasinya yang hebat dipandang oleh sebagian orientalis melebihi prestasi Galinus, seorang filosof Yunani terkenal. Di antara bukunya yang terkenal adalah Al-Manshûri. Buku tersebut terdiri dari 10 jilid dan telah disalin ke dalam bahasa Latin (di kota Milano) pada akhir abad ke-15 M. Bukunya yang lain adalah Al-Judari wa al-Hasbah. Buku tersebut mengupas tentang penyakit cacar dan campak. Buku ini tergolong sebagai buku pertama yang membahas penyakit cacar dan campak serta penjelasan mengenai cara-cara pencegahan dan pengobatannya. Buku ini telah disalin ke dalam bahasa Latin tahun 1565 M. Buku lainnya adalah Al-Hawi yang terdiri dari 20 jilid. Buku ini memaparkan sejarah dan mengumpulkan berbagai penemuan di bidang kedokteran yang pernah dijumpai dalam peradaban Yunani, Persia, India, dan hasil analisis sang penyusunnya sendiri. Tahun 1279 M, buku ini disalin di Sisilia ke dalam bahasa Latin dan dicetak tahun 1486 M.
Ali ibn ‘Abbas (994 M) menyusun buku berjudul Kitâb al-Mâlik. Buku ini mengupas tentang masalah gizi dan pengobatan dengan menggunakan rempah-rempah. Ia juga menyusun buku lainnya yang memaparkan tentang sistem peredaran darah di dalam pembuluh, kehamilan dan persalinan, dan banyak lagi yang lain.
Dalam spesialisasi penyakit mata, terdapat nama-nama seperti al-Haysam (965 M), Ali al-Baghdadi, ‘Ammar al-Moseli (yang menulis buku Al-Muntakhah fî al-‘Ilâj al-‘Ayn). Buku-buku mereka mereka telah disalin ke dalam bahasa Latin dan dicetak berulang-ulang bagi mahasiswa kedokteran Eropa pada abad pertengahan.
Pakar farmasi (obat-obatan) yang terkenal di Dunia Islam adalah Ibn Bayhthar ad-Dimasyqi (1197-1248 M) yang menyusun buku Al-Adwiyah al-Mufradah. Buku tersebut berisi kumpulan berbagai resep obatan-obatan. Penulisnya menjadi peletak dasar ilmu farmasi. Sedemikian besar manfaatnya di Eropa, buku ini sempat dicetak ulang sebanyak 23 kali pada abad ke-15 M dan diberi judul Simplicibus.
Spesialis bedah yang terkenal adalah Ibn Qasim az-Zahrawi al-Qurthubi (lahir 1009 M). Ia menyusun buku berjudul At-Tashrîh. Beberapa bagian buku ini disalin oleh Gerald of Cremona pada abad ke-16 M ke dalam bahasa latin. Hingga abad ke-18 M, buku ini dijadikan referensi di berbagai perguruan tinggi kedokteran Eropa, terutama ilmu bedah. Di dalam buku itu juga dijelaskan jenis-jenis dan penggunaan alat bedah, perlakuan pasca bedah yang mencakup sterilisasi luka, dan sejenisnya.
Menyinggung perkembangan ilmu kedokteran Islam, tidak lengkap tanpa menyebut Ibn Sina (1037 M). Bukunya yang terkenal adalah Al-Qânûn fî ath-Thibb yang dianggap sebagai ensiklopedia ilmu kedokteran dan ilmu bedah terlengkap pada zamannya. Selama kurun waktu abad ke-12 sampai abad ke-14 M, buku ini dijadikan referensi utama pada fakultas kedokteran di berbagai perguruan tinggi Eropa. Sejak abad ke-15 M, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 15 kali, bahkan beberapa bagian buku tersebut masih dicetak tahun 1930 di kota London. Sedemikian terkesannya orang-orang Eropa terhadap buku-buku dan prestasi Ibn Sina hingga Encyclopedia Britannica mengutip ucapan salah seorang orientalis Sir Thomas Clifford yang berkata, “Orang-orang Eropa berpendapat bahwa karya-karya Ibn Sina dalam ilmu kedokteran telah menenggelamkan karya-karya lain seperti karya Hypocrates, bahkan karya Galinus sekali pun.”
Selain itu terdapat juga spesialis ilmu tulang dan mikrobiologi, seperti Ibn Zuhr (1162 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai Avenzoar. Bukunya yang terkenal adalah At-Taysîr fî Mudâwah wa at-Tadbîr. Ibn Rusyd—seorang dokter, penulis buku Al-Kulliyât fî ath-Thibb, sekaligus seorang faqih penulis buku Bidâyah al-Mujtahid—berkomentar bahwa Ibn Zuhr adalah seorang pakar kedokteran Islam yang paling besar.
Sejarah Islam juga dipenuhi degan pakar kedokteran lain yang memiliki spesialisasi di bidang epidemi dan kesehatan lingkungan, seperti Lisanuddin ibn al-Khatib (1313-1374 M) yang menyusun kitab tentang penularan penyakit. Ia mengikuti jejak dari Ibn Jazlah (110 M), yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Ben Gesla. Ia menyingkap tentang periodisasi dan jadwal berbagai penyakit dengan memperhitungkan cuaca. Ia juga menentukan obat-obatan bagi masing-masing penyakit yang dianalisisnya. Bukunya telah disalin dan dicetak di Tassburg tahun 1532 M.
Perhatian para khalifah dan kaum Muslim terhadap kesehatan dan ilmu kedokteran direalisasikan dengan dibukanya poliklinik harian dan poliklinik keliling. Para dokter yang bertugas di situ bertugas bukan saja membuka pelayanan umum bagi masyarakat, tetapi juga bagi orang-orang sakit yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sistem pemeriksaan secara periodik bagi para pegawai yang memperoleh beban tugas tertentu dan membutuhkan kriteria kesehatan yang amat ketat merupakan prosedur rutin yang sudah dilakukan oleh kaum Muslim. Pada saat yang sama, di Eropa terdapat kepercayaan bahwa mandi itu dapat mengakibatkan penyakit tertentu, dan penggunan sabun sebagai alat pembersih sangat berbahaya bagi mereka.
Tidak pelak lagi, pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi, yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia pada masa sebelumnya, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem hidup dan ideology. Benar kiranya pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arselan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya, dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya. [mtaufiknt.wordpress.com/09/10/2010]
Similar topics
» Potensi Besar Kemajuan Sains Islam
» Masa Depan Agama Islam Hanya Pada Atheis
» Waspadalah!!! Islam menanamkan kejahatan sejak dini pada anak anda!!!!
» MASA KECIL MUHAMMAD
» Sains Dalam Al Quran: Terjadinya Siang dan Malam
» Masa Depan Agama Islam Hanya Pada Atheis
» Waspadalah!!! Islam menanamkan kejahatan sejak dini pada anak anda!!!!
» MASA KECIL MUHAMMAD
» Sains Dalam Al Quran: Terjadinya Siang dan Malam
:: Negara :: Negara Islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik