Login
Latest topics
» Ada apa di balik serangan terhadap Muslim Burma?by Dejjakh Sun Mar 29, 2015 9:56 am
» Diduga sekelompok muslim bersenjata menyerang umat kristen
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:30 am
» Sekitar 6.000 orang perempuan di Suriah diperkosa
by jaya Wed Nov 27, 2013 12:19 am
» Muhammad mengaku kalau dirinya nabi palsu
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:53 pm
» Hina Islam dan Presiden, Satiris Mesir Ditangkap
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:50 pm
» Ratusan warga Eropa jihad di Suriah
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:48 pm
» Krisis Suriah, 6.000 tewas di bulan Maret
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:46 pm
» Kumpulan Hadis Aneh!!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:43 pm
» Jihad seksual ala islam!
by jaya Tue Nov 26, 2013 11:40 pm
Most active topics
Social bookmarking
Bookmark and share the address of Akal Budi Islam on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of on your social bookmarking website
Pencarian
Most Viewed Topics
Statistics
Total 40 user terdaftarUser terdaftar terakhir adalah tutunkasep
Total 1142 kiriman artikel dari user in 639 subjects
Top posting users this month
No user |
User Yang Sedang Online
Total 46 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 46 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 97 pada Tue Oct 22, 2024 12:34 pm
Potensi Besar Kemajuan Sains Islam
:: Negara :: Negara Islam
Halaman 1 dari 1
Potensi Besar Kemajuan Sains Islam
Umat Islam memiliki potensi dasar SDM dan SDA yang besar untuk maju dalam dunia sains. Tinggal kepedulian pemberdayaan potensi yang ada dan perbaikan beberapa bidang pendidikan dengan dasar worldview Islam yang benar perlu dilakukan, agar pendidikan sains tak berdampak menyalahi syariat.
Berdasarkan riset yang dilakukan Pew Forum on Religion and Public Life beberapa waktu lalu, saat ini ada sekitar 1,6 miliar orang Muslim di dunia. Atau setara 23 persen dari total penduduk dunia yang mencapai 6,8 miliar. Dan jumlah ini akan terus meningkat sekitar 35% dalam kurun 20 tahun mendatang. Potensi sumber daya alam dunia Islam juga sangat luar biasa melimpah. Kawasan-kawasan kaya energi, kebanyakan berada di wilayah negara-negara Islam.
Sayangnya, potensi dasar ini belum terberdayakan secara apik, akibat minimnya perhatian pemerintah negara-egara Islam dalam mengembangkan pendidikan maupun kajian ilmiah yang dapat menunjang daya guna limpahan potensi SDM maupun SDA yang ada secara masif.
Menurut Aaron Segal (dalam essai yang dimuat Middle East Quarterly/Juni 1996), perhatian negara-negara Islam akan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, baru mulai mencuat pascaera Perang Dunia II. Konflik Pakistan-India dan perang Arab-Israel membuat negara-negara Muslim baru menyadari kekurangan mereka di bidang sains dan teknologi.
Sejak masa itu, imbuh Aaron, lebih dari enam puluh universitas baru dan sekolah teknik dibuka di banyak negara Islam, namun sayangnya hingga kini tak satupun yang mampu beranjak menjadi berkelas dunia.
Dalam level perguruan tinggi (PT) di dunia Islam, potensi pengembangan ilmu dan program sains sesungguhnya sangat terbuka. Karena sejak didirikan, program ini selalu menyedot sangat banyak minat dan perhatian pelajar Muslim untuk mendalaminya. Ratusan ribu mahasiswa sains pun telah lulus setiap tahunnya.
Namun lagi-lagi masalah klasik masih menggurita. Menurut Aaron, hasil pendidikan mereka cenderung lebih mengesankan aspek kuantitatif daripada kualitatif. Tak heran jika tak satupun perguruan tinggi Islam, apalagi yang fokus dalam kajian sains, dari berbagai belahan dunia mampu menembus World Class Universities (WCU).
Sayangnya dalam kondisi gagalnya PT-PT Islam masuk dalam jajaran utama berbagai ajang WCU dunia, masih ada kalangan kita yang kurang arif menyikapi. Bahkan ada tudingan bahwa kegagalan ini disebabkan adanya “misi” dan kepentingan Barat di balik penetapan rangking WCU.
Benar tidaknya tudingan ini, objektifitas mengakui kegagalan tentu lebih baik daripada melempar tanggungjawab kegagalan menstandarkan institusi mereka ala WCU-WCU di dunia. Menurut mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof Dr Azhar Arsad, pelaku dan pengelola pendidikan tinggi Islam memang masih banyak yang awam terhadap standar, kriteria, mekanisme, maupun tata penilaian yang ditetapkan WCU-WCU dunia.
”Butuh kerja keras dan kesadaran untuk mengintrospeksi diri,” tegas Azhar kepada Majalah Gontor selepas menjadi pembicara dalam dalam satu sesi seminar internasional “Membangun Tradisi Ilmiah antara Universitas-universitas dunia Islam dengan Asia” yang digelar Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor
Prof Dr Isma’il Abdunnaby Syahin, Wakil Rektor Universitas Al-azhar, yang juga menjabat Wakil Ketua Rabhitah Jami’at al-Islamiah (Liga Universitas Islam Dunia) secara objektif mengakui keterbelakangan dunia pendidikan tinggi Islam dalam banyak bidang dibanding kekuatan yang dimiliki Barat. Menurutnya, ada perbedaan tajam antara gairah maupun dukungan dunia pendidikan tinggi di negara-negara Islam dan Barat terhadap pengembangan riset maupun kajian ilmu.
Berdasarkan data, dunia pendidikan tinggi di dunia Islam sementara ini hanya bisa menyisihkan 0,50 persen dari anggaran yang dimiliki untuk kepentingan riset. Sementara di Barat, mereka telah mampu mengalokasi 3-7 persen dari dana pendidikan yang kepentingan yang sama.
Secara potensi, lanjut Syahin, sebenarnya PT Islam di dunia berperan sangat strategis, terlebih PT Islam di belahan Timur. Di wilayah ini, PT Islam jelas terbukti telah mampu mengambil peran besar dalam pembangunan negara dan ekonomi dasar di Asia, baik dalam bidang pengembangan teori maupun SDM ekonomi.
Dengan banyaknya jumlah PT Islam yang kini berdiri, tentu menambah kualitas potensi yang dimiliki. Untuk itu, Syahin menegaskan harus dibudayakan tradisi tabâdul khibrât, pertukaran pengalaman, agar jalinan kerjasama antarPT Islam di berbagai belahan dunia terbangun, dan PT Islam dapat saling mengisi kekurangan yang dimiliki, hingga mampu mengangkat ”keterbelakangan” pendidikan tinggi umat Islam di era modern.
Buah sekularisasi
Dalam konteks Indonesia, kajian sains di Tanah Air tergolong masih ranum. Karena baru sekitar tahun 2000-an PT-PT Islam mulai marak membuka kajian dalam bidang ini. Kesulitan mendasar yang awalnya harus dihadapi adalah dikotomi antara ilmu agama dan umum dalam benak kebanyakan masyarakat Islam Indonesia. Dan belajar ilmu yang benar adalah dalam konteks belajar ilmu agama.
”Kita mencoba mengurangi dikotomi ini. Bahwa untuk mempelajari ilmu, bukan hanya ilmu agama, tapi juga ilmu umum, tapi dengan basis akhlak Islam,” ujar Dr Mahasin, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama (Depag) RI.
Tantangan yang dihadapi Pemerintah, khususnya Departemen Agama saat ini, aku Mahasin, adalah mencari model yang tepat bagi pengembangan pendidikan sains Islam di Tanah Air. Basisnya pemanfaatan objek kajian ilmu-ilmu umum untuk kepentingan Islam dalam bingkai etika Islam.
Untuk sementara ini formula yang ditawarkan Pemerintah berupa pembagian 80% untuk ilmu-ilmu eksakta, seperti yang biasanya dipelajari di perguruan tinggi umum, dan 20% untuk konten keislaman (muhtawayât Islam), seperti filosofi keislaman, etika Islam, dan pemanfaatan ilmu untuk keislaman. ”Yang masih kita cari adalah formula untuk ilmu-ilmu umum non eksakta, seperti psikologi. Kita masih mencari, apakah ada madzhab-madzhab dalam psikologi maupun sosiologi yang relevan dengan Islam,” ujar Mahasin kepada Majalah Gontor.
Sebagai ilmu yang masih terus berkembang pesat di dunia Barat, sains menjadi riskan terkontaminasi gaya pemikiran Barat yang banyak mengesampingkan signifikansi aspek agama. Polemik ”kehalalan” sains untuk dipelajari juga masih terus bergulir di banyak kalangan Islam.
Namun menurut Prof Dr Abdul Fattah al-Bassam, Mufti Syiria, tak selamanya apa yang dihasilkan Barat adalah negatif. Perkembangan, bahkan revolusi teknologi dan sains yang terjadi saat ini sangat berdampak positif bagi kehidupan manusia. Tinggal bagaimana kita memilah aspek-aspek positif dari buah peradaban mereka untuk ditingkatkan manfaatnya bagi kemajuan Islam.
”Tak boleh ada dikotomi antara sains dan Islam, tradisional dan modernitas,” ujar al-Bassam dalam sebuah kesempatan coffee break sesi seminar internasional di ISID.
Miskinnya peradaban Barat dalam aspek ruh dan moralitas, harus dilengkapi oleh umat Islam. Di sinilah pentingnya menanamkan pemahaman dan keyakinan Islam yang benar kepada anak didik sejak dini, agar mereka selamat dari ”gangguan” penyimpangan saat mempelajari ilmu-ilmu sains modern.
Sekularisme hasil kemajuan sains jika sudah menjurus pada pengingkaran Syariat, harus dijauhkan. Tapi bukan berarti umat Islam harus meninggalkan pentingnya pendalaman dan kajian sains. ”Umat Islam harus mampu menyeimbangkan antara moral Islam dan ilmu-ilmu modern. Dan peradaban Barat butuh sentuhan Islam dalam bidang moral agar lebih seimbang demi kepentingan kemanusiaan,” ujar al-Bassam menegaskan.
Untuk membangun pendidikan sains modern yang islami, harus dimulai dengan membangun perspektif sains yang benar dan menjunjung adab Islam. “Butuh mengembangkan perspektif islami terhadap sains, agar sains yang dipelajari tidak menyalahi ajaran Islam,” begitu ungkap Prof Alparslan Acikgenc, Rektor Fatih University, Turki.
Adab Islam meliputi segala aspek ajaran dan moral yang ada dalam Islam. Dan pembelajaran perspektif sains yang islami, patut dimulai dengan membangun worldview Islam yang lurus terhadap sains dan mengembangkan tradisi etika ilmiah yang islami. Pembelajaran ini sejatinya dilakukan secara konsisten sejak masa pendidikan dasar.
Alparslan meragukan efektifitas pewawasan keislaman jika hanya baru dimulai dari tahap pendidikan tinggi. Karena di dunia perguruan tinggi, siswa telah sibuk dengan beban banyaknya materi yang harus mereka pelajari. Dan pembelajaran tentang Islam –atau mewajibkannya- terhadap mahasiswa non kajian Islam di masa pendidikan tinggi justru rentan akan mengganggu konsentrasi ilmiah mereka.
Seharusnya, penanaman worldview Islam telah dimulai sejak dini pada level terendah pendidikan dan pengasuhan. Pendidikan awal di masa kanak-kanak, imbuh Alparslan, dapat diisi dengan pewawasan anak tentang etika dasar Islam agar memahami tujuan dasar penciptaan diri mereka hingga memiliki etika Islam yang memadai untuk mendalami keilmuan lainnya pada tahap selanjutnya.
Misi utama pembelajaran pada masa ini adalah membangun identitas keislaman pada diri anak, dan menanamkan nilai bahwa ilmu apapun yang kelak dipelajarinya harus bermuara pada khidmah untuk umat dan bakti kepada Allah SWT.
Pada tahap sekolah dasar, anak diajarkan pedoman implementasi Islam. Seperti cara ibadah, membaca maupun menghapal al-Qur’an, dan sebagainya. Untuk level pendidikan menengah, siswa sudah bisa dikenalkan dengan pengantar tentang sains. Dan dalam studi di pendidikan tinggi, kajian mendalam tentang sains lantas dikembangkan.
Melihat terlanjur ”keliru” dan tertinggalnya model dan sistem pendidikan lembaga-lembaga Islam dalam mengembangkan atmosfir ilmiah yang islami dewasa ini, Alparslan menilai masih ada waktu untuk mengubahnya secara perlahan. ”Butuh kesabaran meski 10 hingga 20 tahun agar kita bisa benar-benar mengubahnya menjadi islami,” pungkasnya.
Kejayaan Islam masa lalu dalam berbagai bidang, termasuk sains, juga sangat berpotensi menjadi stimulus bagi umat Islam untuk kembali bangkit.
Kejayaan masa lalu, tegas Alparslan, jangan menjadi uforia yang malah melenakan umat Islam untuk terus berada dalam keterbelakangan seperti saat ini. “Kita harus mampu memotivasi diri kita sendiri untuk maju,” pungkasnya. (Ahmad Taufiq/Tata/Salim/MG)
Berdasarkan riset yang dilakukan Pew Forum on Religion and Public Life beberapa waktu lalu, saat ini ada sekitar 1,6 miliar orang Muslim di dunia. Atau setara 23 persen dari total penduduk dunia yang mencapai 6,8 miliar. Dan jumlah ini akan terus meningkat sekitar 35% dalam kurun 20 tahun mendatang. Potensi sumber daya alam dunia Islam juga sangat luar biasa melimpah. Kawasan-kawasan kaya energi, kebanyakan berada di wilayah negara-negara Islam.
Sayangnya, potensi dasar ini belum terberdayakan secara apik, akibat minimnya perhatian pemerintah negara-egara Islam dalam mengembangkan pendidikan maupun kajian ilmiah yang dapat menunjang daya guna limpahan potensi SDM maupun SDA yang ada secara masif.
Menurut Aaron Segal (dalam essai yang dimuat Middle East Quarterly/Juni 1996), perhatian negara-negara Islam akan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, baru mulai mencuat pascaera Perang Dunia II. Konflik Pakistan-India dan perang Arab-Israel membuat negara-negara Muslim baru menyadari kekurangan mereka di bidang sains dan teknologi.
Sejak masa itu, imbuh Aaron, lebih dari enam puluh universitas baru dan sekolah teknik dibuka di banyak negara Islam, namun sayangnya hingga kini tak satupun yang mampu beranjak menjadi berkelas dunia.
Dalam level perguruan tinggi (PT) di dunia Islam, potensi pengembangan ilmu dan program sains sesungguhnya sangat terbuka. Karena sejak didirikan, program ini selalu menyedot sangat banyak minat dan perhatian pelajar Muslim untuk mendalaminya. Ratusan ribu mahasiswa sains pun telah lulus setiap tahunnya.
Namun lagi-lagi masalah klasik masih menggurita. Menurut Aaron, hasil pendidikan mereka cenderung lebih mengesankan aspek kuantitatif daripada kualitatif. Tak heran jika tak satupun perguruan tinggi Islam, apalagi yang fokus dalam kajian sains, dari berbagai belahan dunia mampu menembus World Class Universities (WCU).
Sayangnya dalam kondisi gagalnya PT-PT Islam masuk dalam jajaran utama berbagai ajang WCU dunia, masih ada kalangan kita yang kurang arif menyikapi. Bahkan ada tudingan bahwa kegagalan ini disebabkan adanya “misi” dan kepentingan Barat di balik penetapan rangking WCU.
Benar tidaknya tudingan ini, objektifitas mengakui kegagalan tentu lebih baik daripada melempar tanggungjawab kegagalan menstandarkan institusi mereka ala WCU-WCU di dunia. Menurut mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof Dr Azhar Arsad, pelaku dan pengelola pendidikan tinggi Islam memang masih banyak yang awam terhadap standar, kriteria, mekanisme, maupun tata penilaian yang ditetapkan WCU-WCU dunia.
”Butuh kerja keras dan kesadaran untuk mengintrospeksi diri,” tegas Azhar kepada Majalah Gontor selepas menjadi pembicara dalam dalam satu sesi seminar internasional “Membangun Tradisi Ilmiah antara Universitas-universitas dunia Islam dengan Asia” yang digelar Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor
Prof Dr Isma’il Abdunnaby Syahin, Wakil Rektor Universitas Al-azhar, yang juga menjabat Wakil Ketua Rabhitah Jami’at al-Islamiah (Liga Universitas Islam Dunia) secara objektif mengakui keterbelakangan dunia pendidikan tinggi Islam dalam banyak bidang dibanding kekuatan yang dimiliki Barat. Menurutnya, ada perbedaan tajam antara gairah maupun dukungan dunia pendidikan tinggi di negara-negara Islam dan Barat terhadap pengembangan riset maupun kajian ilmu.
Berdasarkan data, dunia pendidikan tinggi di dunia Islam sementara ini hanya bisa menyisihkan 0,50 persen dari anggaran yang dimiliki untuk kepentingan riset. Sementara di Barat, mereka telah mampu mengalokasi 3-7 persen dari dana pendidikan yang kepentingan yang sama.
Secara potensi, lanjut Syahin, sebenarnya PT Islam di dunia berperan sangat strategis, terlebih PT Islam di belahan Timur. Di wilayah ini, PT Islam jelas terbukti telah mampu mengambil peran besar dalam pembangunan negara dan ekonomi dasar di Asia, baik dalam bidang pengembangan teori maupun SDM ekonomi.
Dengan banyaknya jumlah PT Islam yang kini berdiri, tentu menambah kualitas potensi yang dimiliki. Untuk itu, Syahin menegaskan harus dibudayakan tradisi tabâdul khibrât, pertukaran pengalaman, agar jalinan kerjasama antarPT Islam di berbagai belahan dunia terbangun, dan PT Islam dapat saling mengisi kekurangan yang dimiliki, hingga mampu mengangkat ”keterbelakangan” pendidikan tinggi umat Islam di era modern.
Buah sekularisasi
Dalam konteks Indonesia, kajian sains di Tanah Air tergolong masih ranum. Karena baru sekitar tahun 2000-an PT-PT Islam mulai marak membuka kajian dalam bidang ini. Kesulitan mendasar yang awalnya harus dihadapi adalah dikotomi antara ilmu agama dan umum dalam benak kebanyakan masyarakat Islam Indonesia. Dan belajar ilmu yang benar adalah dalam konteks belajar ilmu agama.
”Kita mencoba mengurangi dikotomi ini. Bahwa untuk mempelajari ilmu, bukan hanya ilmu agama, tapi juga ilmu umum, tapi dengan basis akhlak Islam,” ujar Dr Mahasin, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama (Depag) RI.
Tantangan yang dihadapi Pemerintah, khususnya Departemen Agama saat ini, aku Mahasin, adalah mencari model yang tepat bagi pengembangan pendidikan sains Islam di Tanah Air. Basisnya pemanfaatan objek kajian ilmu-ilmu umum untuk kepentingan Islam dalam bingkai etika Islam.
Untuk sementara ini formula yang ditawarkan Pemerintah berupa pembagian 80% untuk ilmu-ilmu eksakta, seperti yang biasanya dipelajari di perguruan tinggi umum, dan 20% untuk konten keislaman (muhtawayât Islam), seperti filosofi keislaman, etika Islam, dan pemanfaatan ilmu untuk keislaman. ”Yang masih kita cari adalah formula untuk ilmu-ilmu umum non eksakta, seperti psikologi. Kita masih mencari, apakah ada madzhab-madzhab dalam psikologi maupun sosiologi yang relevan dengan Islam,” ujar Mahasin kepada Majalah Gontor.
Sebagai ilmu yang masih terus berkembang pesat di dunia Barat, sains menjadi riskan terkontaminasi gaya pemikiran Barat yang banyak mengesampingkan signifikansi aspek agama. Polemik ”kehalalan” sains untuk dipelajari juga masih terus bergulir di banyak kalangan Islam.
Namun menurut Prof Dr Abdul Fattah al-Bassam, Mufti Syiria, tak selamanya apa yang dihasilkan Barat adalah negatif. Perkembangan, bahkan revolusi teknologi dan sains yang terjadi saat ini sangat berdampak positif bagi kehidupan manusia. Tinggal bagaimana kita memilah aspek-aspek positif dari buah peradaban mereka untuk ditingkatkan manfaatnya bagi kemajuan Islam.
”Tak boleh ada dikotomi antara sains dan Islam, tradisional dan modernitas,” ujar al-Bassam dalam sebuah kesempatan coffee break sesi seminar internasional di ISID.
Miskinnya peradaban Barat dalam aspek ruh dan moralitas, harus dilengkapi oleh umat Islam. Di sinilah pentingnya menanamkan pemahaman dan keyakinan Islam yang benar kepada anak didik sejak dini, agar mereka selamat dari ”gangguan” penyimpangan saat mempelajari ilmu-ilmu sains modern.
Sekularisme hasil kemajuan sains jika sudah menjurus pada pengingkaran Syariat, harus dijauhkan. Tapi bukan berarti umat Islam harus meninggalkan pentingnya pendalaman dan kajian sains. ”Umat Islam harus mampu menyeimbangkan antara moral Islam dan ilmu-ilmu modern. Dan peradaban Barat butuh sentuhan Islam dalam bidang moral agar lebih seimbang demi kepentingan kemanusiaan,” ujar al-Bassam menegaskan.
Untuk membangun pendidikan sains modern yang islami, harus dimulai dengan membangun perspektif sains yang benar dan menjunjung adab Islam. “Butuh mengembangkan perspektif islami terhadap sains, agar sains yang dipelajari tidak menyalahi ajaran Islam,” begitu ungkap Prof Alparslan Acikgenc, Rektor Fatih University, Turki.
Adab Islam meliputi segala aspek ajaran dan moral yang ada dalam Islam. Dan pembelajaran perspektif sains yang islami, patut dimulai dengan membangun worldview Islam yang lurus terhadap sains dan mengembangkan tradisi etika ilmiah yang islami. Pembelajaran ini sejatinya dilakukan secara konsisten sejak masa pendidikan dasar.
Alparslan meragukan efektifitas pewawasan keislaman jika hanya baru dimulai dari tahap pendidikan tinggi. Karena di dunia perguruan tinggi, siswa telah sibuk dengan beban banyaknya materi yang harus mereka pelajari. Dan pembelajaran tentang Islam –atau mewajibkannya- terhadap mahasiswa non kajian Islam di masa pendidikan tinggi justru rentan akan mengganggu konsentrasi ilmiah mereka.
Seharusnya, penanaman worldview Islam telah dimulai sejak dini pada level terendah pendidikan dan pengasuhan. Pendidikan awal di masa kanak-kanak, imbuh Alparslan, dapat diisi dengan pewawasan anak tentang etika dasar Islam agar memahami tujuan dasar penciptaan diri mereka hingga memiliki etika Islam yang memadai untuk mendalami keilmuan lainnya pada tahap selanjutnya.
Misi utama pembelajaran pada masa ini adalah membangun identitas keislaman pada diri anak, dan menanamkan nilai bahwa ilmu apapun yang kelak dipelajarinya harus bermuara pada khidmah untuk umat dan bakti kepada Allah SWT.
Pada tahap sekolah dasar, anak diajarkan pedoman implementasi Islam. Seperti cara ibadah, membaca maupun menghapal al-Qur’an, dan sebagainya. Untuk level pendidikan menengah, siswa sudah bisa dikenalkan dengan pengantar tentang sains. Dan dalam studi di pendidikan tinggi, kajian mendalam tentang sains lantas dikembangkan.
Melihat terlanjur ”keliru” dan tertinggalnya model dan sistem pendidikan lembaga-lembaga Islam dalam mengembangkan atmosfir ilmiah yang islami dewasa ini, Alparslan menilai masih ada waktu untuk mengubahnya secara perlahan. ”Butuh kesabaran meski 10 hingga 20 tahun agar kita bisa benar-benar mengubahnya menjadi islami,” pungkasnya.
Kejayaan Islam masa lalu dalam berbagai bidang, termasuk sains, juga sangat berpotensi menjadi stimulus bagi umat Islam untuk kembali bangkit.
Kejayaan masa lalu, tegas Alparslan, jangan menjadi uforia yang malah melenakan umat Islam untuk terus berada dalam keterbelakangan seperti saat ini. “Kita harus mampu memotivasi diri kita sendiri untuk maju,” pungkasnya. (Ahmad Taufiq/Tata/Salim/MG)
Similar topics
» Kemajuan Sains dan Teknologi Pada Masa Kekhilafahan Islam
» Bohong besar islam bertumbuh paling cepat
» Sains Dalam Al Quran: Terjadinya Siang dan Malam
» NATO bidik Gaddafi, ledakan besar kembali menimpa Tripoli
» Tentara Suriah melancarkan operasi di Jisr al-Shughour
» Bohong besar islam bertumbuh paling cepat
» Sains Dalam Al Quran: Terjadinya Siang dan Malam
» NATO bidik Gaddafi, ledakan besar kembali menimpa Tripoli
» Tentara Suriah melancarkan operasi di Jisr al-Shughour
:: Negara :: Negara Islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik